Minggu, 25 Januari 2009

Ancaman Tiga Kematian Bagi Manusia

Oleh : Prayitno Ramelan - 23 Januari 2009 - Dibaca 1879 Kali -

Kamis pagi penulis bermain Golf di Rancamaya, Bogor bersama para pegolf senior dalam acara pertemuan bulanan Club Golf ASGA. Pemain yang berjumlah 167 orang rata-rata sudah berumur diatas 55 tahun,karena itulah syaratnya menjadi pemain kelas senior. Pada saat bermain hujan mendadak turun, para pemain meneduh di shelter, terjadilah obrolan antar pemain-pemain senior tadi.

Yang ikut berdiskusi bermacam-macam kalangan, ada yang mantan jenderal marsekal, laksamana, ada mantan menteri, mantan dirjen, mantan jaksa tinggi, mantan Hakim, pengusaha besar, profesor, pokoknya segala macam kalangan dengan berbagai disiplin ilmu ada disitu.
Topik diskusi adalah tentang kematian, bagus juga dibahas, karena kalau orang sudah menjadi tua maka dia harus berfikir tentang persiapan menghadapi kematiannya, dicabut ruhnya. Saat diskusi ada salah satu golfer yang menyampaikan garis besar tentang kematian bagi manusia. Manusia didalam hidupnya akan menghadapi tiga macam ancaman kematian, yaitu ancaman kematian psikologis, ancaman kematian biologis dan kematian sebenarnya dimana ruh meninggalkan tubuhnya. Dari informasi tersebut penulis mencoba menterjemahkan dan mengulasnya menjadi artikel ini.

Kematian psikologis, adalah suatu kondisi dimana seseorang dalam hidupnya sudah tidak mempunyai semangat hidup, tidak mempunyai gairah. Secara psikologis dia merasa bahwa hidupnya sudah tidak mempuyai arti bagi siapapun, tidak berguna. Dia merasa sudah tidak dihargai, baik didalam keluarganya, dipergaulan dan dipekerjaan. Intinya dia sudah jenuh menghadapi hidup. Hal ini bisa terjadi kepada siapapun, tidak melihat umur, bisa terjadi pada orang yang sangat muda ataupun yang sudah tua. Atau bisa juga terjadi kepada orang yang mempunyai banyak persoalan, dimana dia tidak mempunyai jalan keluar dari persoalannya, maka diapun akan mengalami kematian psikologis tadi. Biasanya bagi orang yang imannya tidak kuat akan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Bagi mereka yang mengalami kematian psikologis, pada umumnya sudah tidak dapat berprestasi dalam hal apapun.
Kematian Biologis, adalah suatu kondisi dimana seseorang masih dalam keadaan hidup, tetapi kondisi fisiknya membuatnya dia tidak berdaya, hidupnya banyak tergantung kepada bantuan orang lain ataupun alat-alat kedokteran. Kondisi tersebut disebabkan karena yang bersangkutan mengalami kecelakaan, terserang penyakit berat, terserang stroke, terserang kelumpuhan, kebutaan. Kondisi ini jelas terasa sangat menyiksa seseorang, khususnya dalam masalah kejiwaan.

Kematian yang sebenarnya, yaitu kematian dimana ruh seseorang meninggalkan tubuhnya. Kematian ini adalah abadi, karena tubuh yang sudah tidak bernyawa tadi sudah tidak ada gunanya, kemudian dikubur, dikremasi atau dibakar.
Bagaimana menyikapi ancaman tiga kematian tadi?. Untuk menghindari kematian psikologis, manusia sebaiknya harus menjaga ritme kehidupan, menjaga perasaan, menjaga hubungan yang harmonis dikeluarga, dipergaulan, dikantor. Semangat harus tetap terjaga, dia harus lebih terbuka. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri, dia harus bergaul, mempunyai teman, sahabat. Dalam sebuah pernikahan suami seharusnya menghargai, mencintai dan menempatkan istrinya pada porsi yang sepantasnya.

Demikian juga sebaliknya, istripun harus memperlakukan suami seperti suaminya memperlakukan dirinya. Kebutuhan rasa aman dan nyaman sangat didambakan seorang wanita. Wanita mahluk yang membutuhkan kasih sayang, cinta dan belaian kasih yang diwujudkan. Sampai dimasa tuapun manusia membutuhkan rasa bahwa dia adalah mahluk yang berguna. Dengan demikian maka kejenuhan hidup sebagai awal dari kematian psikologis, kecil kemungkinan akan menyerangnya.

Kematian biologis kadang sulit diramalkan. Serangan penyakit berat dan kecelakaan adalah awal dari kematian biologis. Oleh karena itu maka manusia didalam hidupnya harus terus waspada, hati-hati. Penyakit berat tidak datang secara mendadak, biasanya terjadi karena akumulasi beberapa penyakit yang dipandang ringan. Manusia harus waspada terhadap makanan, pola hidup, serangan stress, semuanya bisa menjadi penyebab kematian biologis tadi. Banyak manusia karena kesibukannya menganggap ringan gangguan kesehatannya, kecukupan istirahat dan pentingnya olah raga, menghindari sesuatu yang bisa merusak tubuhnya seperti “merokok”. Dengan menjaga semua ini paling tidak kematian biologis akan dapat terhindarkan.

Kematian yang sebenarnya adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia, bila telah sampai waktunya kemanapun akan bersembunyi, malaikat pencabut nyawa pasti akan datang menghampirinya. Dihari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungan jawab atas semua yang telah dilakukannya didunia. Oleh karena itu semasa hidup manusia seharusnya sadar bahwa dia harus berbuat baik, menjauhi pikiran jahat, selalu meningkatkan amal dan ibadah. Dengan demikian hidupnya akan tenang dan pasrah dalam menghadapi kematian yang abadi.

Jadi kesimpulannya semasa hidup manusia harus menjaga baik jasmani maupun rohaninya, menjaga ahlaknya, menjaga pola hidup yang baik, menata pikirannya, menjaga semangatnya. Jangan mengikuti nafsu dan ambisi saja, untuk apa jadi pejabat atau tokoh apabila sudah tua, kalau nanti harus menghadapi dua kematian awal tadi sebelum menghadapi kematian yang sebenarnya. Semoga tulisan ringan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Amin

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana.
Share on Facebook

59 tanggapan untuk “Ancaman Tiga Kematian Bagi Manusia”

isabel,
— 23 Januari 2009 jam 3:11 am
Bapak yang terhormat, saya sangat berterima kasih atas nasehat dan obrolan bapak2 tentang kematian ini,saya rasa banyak orang tentu mengalami hal kematian psikologis karna terlalu banyak tekanan dalam hidup ini,sayapun pernah mengalaminya dan masukan dari bapak ini sangat membantu orang yang mau membacanya dan menyadarinya,semoga Tuhan memberkati dan mendengar doa kita smua.Amin
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 5:08 am
Isabel, terima kasih atas tanggapannya. Memang orang tua terlebih kalau sudah kakek-kakek seperti kami ini. salah satu yang bisa diberikan kepada anak, keturunan dan juga kepada masyarakat adalah sedikit peringatan dan nasehat bagaimana mensikapi dan menjalani hidup. Walau bukan ahli ilmu2 yang mengkhususkandiri dalam kehidupan, tetapi orang tua memiliki pengalaman yang sering banyak gunanya bagi yang muda. Saya sangat menghargai kejujuran anda yang mengakui pernak mengalaminya…dan yang patut anda syukuri kalau bisa meloloskan diri dari ancaman tersebut. Harapan saya sama seperti anda, mengingatkan bahwa semakin lama tekanan hidup akan semakin berat…kita harus mampu mengatasinya. Begitu ya Isabel Tanamal…saya sangat sependapat…”doa” itulah yang perlu kita kerjakan terus selama hidup apapun agama yang kita anut. Salam Isabel…tetap tabah.Salam>Pray
R.Ngt.Anastasia Ririen Pramudyawati,
— 23 Januari 2009 jam 5:13 am
..maturnuwun sanget, Bapak..Pengkategorian yang sungguh pas..
karena hakekat setiap diri yang (pasti) terdiri atas raga..sukma.. dan ketergantungan mutlaknya pada Kuasa Sang Khalik.Tiga centre point menyatu yang acapkali tidak utuh dimasukkan ke kotak peduli sebagian pribadi.Perhatian penuh pada aspek raga.. abaikan sukma ..lupa Sang Khalik. Bisa juga sebaliknya.Yang berbuntut Disharmoni diri.
Tiga centre point di atas musti ada, dihargai penuh sang diri, agar tercipta Harmoni yang utuh, di diri.. demi Hidup & Kehidupan.
‘nuwun
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 5:20 am
@Bu Dokter Anastasia, terima kasih tanggapannya, iya betul kadang manusia dalam hidupnya kadang lupa menjaga raganya, kadang lupa menjaga sukmanya , sering lupa dengan sang penciptanya…yang anda sebut disharmoni. Dunia hanyalah sebuah panggung sandiwara yang apbila kita tidak waspada kita tidak menjadi manusia yang seutuhnya tetapi hanya sebagai pemain sandiwara saja…hanya dikuasai nafsu egonya. Begitu ya>Salam.
Chappy Hakim,
— 23 Januari 2009 jam 5:44 am
Wah, mengerikan sekali tuh analisis ?! Tapi kalau golf di rancamaya, ajak-ajak dong !Wassalam,CH
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 5:48 am
Pak Chappy, wah pagi-pagi sudah membaca kompasiana nih pak, saya juga kaget waktu kemarin ngobrol-ngobrol enteng dengan para Golfer itu, yang memberi tahu tentang kematian adalah Pak Mardi Gaharu, kemudian saya coba ulas. sebagai sedikit sumbangan kepada masyarakat. Saya tadi malam membuat artikel ini…memang ngeri juga ya. Golf ASGA tiap bulan dilaksanakan, next month I will inform you deh…home base di Rancamaya. Kata Bang Mardi olah raga bagi orang2 tua yang cocok adalah jalan kaki, tetapi akan lebih sempurna lagi golf, karena golf adalah penggabungan antara fisik dan otak….badan sehat, memperpanjang kemungkinan terserang pikun…Begitu ya Pak.Salam>Pray.
Kusdiyono,
— 23 Januari 2009 jam 7:29 am
Salam hormat Pak…Kalo seseorang mengalami kematian biologis, tidak tertutup kemungkinan ia juga akan mengalami kematian psikologis, yang pada akhirnya menjadi kematian yang sebenarnya. Betul tidak, kira-kira pendapa saya ini.Mohon ijin, jika suatu saat artikel Bapak saya letakkan di blog saya ?
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 7:42 am
Mas Kusdiyono, salam hangat dipagi yang cerah ini. Memang bisa juga seseorang yang karena mengalami kematian biologis kemudian semangat hidupnya hilang, dia tidak mempunyai harapan, dan dia juga mengalami kematian psikologis. Tetapi ada juga seseorang yang walaupun mengalami kematian biologis dan tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi dengan tekadnya, keimanan dan dukungan keluarga, sahabat tetap kuat secara psikologis. Dia mengalami kematian biologis tidak bisa berbuat apa-apa sebagai layaknya manusia normal, akan tetapi dia masih bisa memberikan petuah, nasehat kepada anak keturunannya. Jadi tidak otomatis keduanya menyatu Mas. Tentang artikel2 saya yang akan diletakkan ke Blognya, monggo Mas Kus, begitu artikel sudah diposting di kompasiana, berarti sudah menjadi milik publik juga. Beberapa artikel saya juga sudah diposting dibeberapa blog, ada juga yg situsnya PKS (karena saya membahas PKS). Berarti apa yg saya tulis ada menfaatnya bagi masyarakat ataupun organisasi, yah namanya sampun sepuh Mas, diusia senja ini hanya inilah sedikit sumbangan pemikiran saya. Begitu ya.Salam>Pray.
wijaya Kusumah,
— 23 Januari 2009 jam 7:51 am
Terima kasih pak atas pencerahannya. Saya menjadi lebih siap menghadapi kematian. Karena itu saya harus hidup untuk dapat membahagiakan orang lain dalam berbuat kebajikan.Sehingga ketika ajal menjemput, amal kebaikan kitalah yang akan menghampirinya. Salam.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 8:05 am
Pak Wijaya Kusumah, terima kasih tanggapannya Pak Guru. Syukur Alhamdulillah ungkapannya, memang kadang kita sangat takut menghadapi kematian itu, banyak misteri didalamnya, terlebih karena merasa qolbu ini masih terasa sangat kotor. Memang yang utama sebagai seorang muslim kita harus “beriman dan beramal soleh” begitu kan Pak Guru?.Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita ya Pak, dosa kedua orang tua kita, juga dosa kaum muslimin dan muslimat yang telah mendahului.Amin…Salam>Pray.
Rahardjo,
— 23 Januari 2009 jam 8:19 am
Pak Pray yang saya hormat, terima kasih sekali artikelnya saya sungguh sangat terharu malah sampai “mbrebes mili” membacanya karena saya juga sudah kepala 6 apa yang bapak ulas sangat mengena, seisi rumah sudah saya suruh baca dan akan saya diskusikan dengan teman2 yang masih dikantor, terimakasih dan salam juga untuk Pak Mardi Gaharu.Kalau ketemu digolf salam juga untuk Slamet Yes Prihatin No (mantan Dirjen ranahan), itu sohib saya Pak!
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 8:44 am
Mas Rahardjo, wah kok dalam sekali dan halus perasaannya…tapi ya itulah Mas, kalau sudah tua kita tidak usah macam-macam kali ya…menjaga jasmani ini sebagai tempat ruh kita bersemayam, kalau “wadak” ini tidak kita jaga, maka ruh jelas akan tidak betah lama-lama bersemayam didalamnya. Syukur kalau tulisan ini bermanfaat, memang yang pertama mengatakan Pak Mardi Gaharu itu, kemarin juga main satu flight dengan saya…kemudian tadi malam saya renungkan, saya ulas, maka jadilah artikel ini. Ok, nanti saya sampaikan salam kepada Bang Mardi (my best friend) dan kalau ketemu akan saya sampaikan salam untuk Marsda TNI (Pur) Slamet Prihatino yang mantan Dirjen Ranahan Dephan…sohib ya. Ok Mas Rahardjo.Salam>Pray.
Pesan Sponsor : “Stop Merokok Sangat Berbahaya” itulah salah satu artikel saya dalam blog kompasiana ini yang sangat erat berkait dengan artikel ini…..Maaf nij para perokok, kapan mau sadar???
Deddy Rosadi,
— 23 Januari 2009 jam 9:01 am
Selamat pagi pak pray,Artikelnya menyentuh sekali. Seperti kontra, antara golf sebagai simbol kemapanan dan kesenangan tapi topik bahasan kematian. Saya di usia 30an ini berpikir apakah itu juga bisa menimpa saya. bagaimana jika tujuan-tujuan hidup kita belum tercapai, tapi kematian itu sudah datang.Semoga jalan kita selalu di rahmati-Nya. Amin.Salam hormat untuk Pak RT saya.Wassalam.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 9:18 am
Dedy Rosady, terima kasih tanggapannya, baru ini ada warga RT yang muncul menanggapi artikel saya. Iya betul, golf bagi saya adalah sebuah sarana, sarana olahraga, melatih otak agar tidak pikun dan menyenangkan hati, sehingga menjadi rilex. Kan sekarag masih muda ya…jalan masih panjang, saya almost 62 yrs old. Tapi seperti yang saya tulis diatas, kita harus hati-hati dan waspada dalam hidup ini, karena ancaman bisa menyerang siapa saja tanpa batas umur. Oleh karena itu kalau kita sudah bisa berfikir, kita harus menentukan hidup kita mau kita apakan, mau dibuat hitam ya jadi hitam, mau merah, jadi merah, biru ya jadi biru. Pilihan bekerja, berkeluarga , pola hidup semuanya terserah kepada kita. Makin “smart” kita, wawasan luas maka Insyaallah kita akan bisa meminimalisir bahaya- bahaya tadi. Begitu ya Dedy, salam utk keluarga.Salam>Pray.
yulyanto,
— 23 Januari 2009 jam 9:26 am
Ada satu lagi yang ketinggalan Pa’ Pray, “MATI SURI”……percaya gak percaya sich…he…he…..
Salam Blogger,http://www.yulyanto.com
Dibawah ini adalah artikel yang saya ambil dari salah satu BLOG mengenai “Religi”:URL: http://bulir.blogspot.com/2006/10/pengalaman-mati-suri.html
Friday, October 13, 2006Pengalaman Mati Suri
Kesaksian Warga Bengkalis yang Mati Suri dalam Temu Alumni ESQ”Menyaksikan Orang Disiksa dan Ingin Kembali ke Dunia”Laporan Idris Ahmad - Pekanbaru
Pengalaman mati suri seperti yang dialami Aslina, telah pula dirasakan banyak orang. Seorang peneliti dan meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Virginia Dr Raymond A Moody pernah meneliti fenomena ini. Hasilnya orang mati suri rata-rata memiliki pengalaman yang hampir sama. Masuk lorong waktu dan ingin dikembalikan ke dunia.
Berikut catatan Riau Pos yang turut serta mendengarkan kesaksian Aslina dalam temu Alumni ESQ (emotional, spiritual, quotient) Ahad (24/9) di Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru.
Catatan ini dilengkapi pula dengan penjelasan instruktur ESQ Legisan Sugimin yang mengutip Al-Quran yang menjelaskan orang yang mati itu ingin dikembalikan ke dunia, serta penelusuran melalui internet tentang Dr Raymond.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui perihal Dr Raymond dapat membuka situs http://www.lifeafterlife.com dan hasil penelitian Raymond tentang mati suri dapat dibaca di buku Life After Life.
Aslina adalah warga Bengkalis yang mati suri 24 Agustus 2006 lalu. Gadis berusia sekitar 25 tahun itu memberikan kesaksian saat nyawanya dicabut dan apa yang disaksikan ruhnya saat mati suri.
Sebelum Aslina memberi kesaksian, pamannya Rustam Effendi memberikan penjelasan pembuka. Aslina berasal dari keluarga sederhana, ia telah yatim. Sejak kecil cobaan telah datang kepada dirinya.
Pada umur tujuh tahun tubuhnya terbakar api sehingga harus menjalani dua kali operasi. Menjelang usia SMA ia termakan racun. Tersebab itu ia menderita selama tiga tahun. Pada umur 20 tahun ia terkena gondok (hipertiroid). Gondok tersebut menyebabkan beberapa kerusakan pada jantung dan matanya. Karena penyakit gondok itu maka Jumat, 24 Agustus 2006 Aslina menjalani check-up atas gondoknya di Rumah Sakit Mahkota Medical Center (MMC) Melaka Malaysia . Hasil pemeriksaan menyatakan penyakitnya di ambang batas sehingga belum bisa dioperasi.
”Kalau dioperasi maka akan terjadi pendarahan,” jelas Rustam. Oleh karena itu Aslina hanya diberi obat. Namun kondisinya tetap lemah. Malamnya Aslina gelisah luar biasa, dan terpaksa pamannya membawa Aslina kembali ke Mahkota sekitar pukul 12 malam itu. Ia dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD), saat itu detak jantungnya dan napasnya sesak. Lalu ia dibawa ke luar UGD masuk ke ruang perawatan. ”Aslina seperti orang ombak (menjelang sakratulmaut, red). Lalu saya ajarkan kalimat thoyyibah dan syahadat. Setelah itu dalam pandangan saya Aslina menghembuskan nafas terakhir,” ungkapnya. Usai Rustam memberi pengantar, lalu Aslina memberikan kesaksiaanya.
”Mati adalah pasti. Kita ini calon-calon mayat, calon penghuni kubur,” begitu ia mengawali kesaksiaanya setelah meminta seluruh hadirin yang memenuhi Grand Ball Room Hotel Mutiara Merdeka Pekanbaru tersebut membacakan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. Tak lupa ia juga menasehati jamaah untuk memantapkan iman, amal dan ketakwaan sebelum mati datang. ”Saya telah merasakan mati,” ujar anak yatim itu. Hadirin terpaku mendengar kesaksian itu. Sungguh, lanjutya, terlalu sakit mati itu.
Diceritakan, rasa sakit ketika nyawa dicabut itu seperti sakitnya kulit hewan ditarik dari daging, dikoyak. Bahkan lebih sakit lagi. ”Terasa malaikat mencabut (nyawa, red) dari kaki kanan saya,” tambahnya. Di saat itu ia sempat diajarkan oleh pamannya kalimat thoyibah. ”Saat di ujung napas, saya berzikir,” ujarnya. ”Sungguh sakitnya, Pak, Bu,” ulangnya di hadapan lebih dari 300 alumni ESQ Pekanbaru.
Diungkapkan, ketika ruhnya telah tercabut dari jasad, ia menyaksikan di sekelilingnya ada dokter, pamannya dan ia juga melihat jasadnya yang terbujur. Setelah itu datang dua malaikat serba putih mengucapkan Assalaimualaikum kepada ruh Aslina. ”Malaikat itu besar, kalau memanggil, jantung rasanya mau copot, gemetar,” ujar Aslina mencerita pengalaman matinya. Lalu malaikat itu bertanya: ‘’siapa Tuhanmu, apa agamamu, dimana kiblatmu dan siapa nama orangtuamu.” Ruh Aslina menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Lalu ia dibawa ke alam barzah. ”Tak ada teman kecuali amal,” tambah Aslina yang Ahad malam itu berpakaian serba hijau. Seperti pengakuan pamannya, Aslina bukan seorang pendakwah, tapi malam itu ia tampil memberikan kesaksian bagaikan seorang muballighah. Di alam barzah ia melihat seseorang ditemani oleh sosok yang mukanya berkudis, badan berbulu dan mengeluarkan bau busuk. Mungkin sosok itulah adalah amal buruk dari orang tersebut.
Aslina melanjutkan. ”Bapak, Ibu, ingatlah mati,” sekali lagi ia mengajak hadirin untuk bertaubat dan beramal sebelum ajal menjemput. Di alam barzah, ia melanjutkan kesaksiannya, ruh Aslina dipimpin oleh dua orang malaikat. Saat itu ia ingin sekali berjumpa dengan ayahnya. Lalu ia memanggil malaikat itu dengan ”Ayah”. ”Wahai ayah bisakah saya bertemu dengan ayah saya,” tanyanya. Lalu muncullah satu sosok. Ruh Aslina tak mengenal sosok yang berusia antara 17-20 tahun itu. Sebab ayahnya meninggal saat berusia 65 tahun. Ternyata memang benar, sosok muda itu adalah ayahnya. Ruh Aslina mengucapkan salam ke ayahnya dan berkata: ”Wahai ayah, janji saya telah sampai.” Mendengar itu ayah saya saya menangis.Lalu ayahnya berkata kepada Aslina. ”Pulanglah ke rumah, kasihan adik-adikmu.” ruh Aslina pun menjawab. ”Saya tak bisa pulang, karena janji telah sampai”. Usai menceritakan dialog itu, Aslina mengingatkan kembali kepada hadirin bahwa alam barzah dan akhirat itu benar-benar ada.
”Alam barzah, akhirat, surga dan neraka itu betul ada. Akhirat adalah kekal,” ujarnya bak seorang pendakwah. Setelah dialog antara ruh Aslina dan ayahnya. Ayahnya tersebut menunduk. Lalu dua malaikat memimpinnya kembali, ia bertemu dengan perempuan yang beramal shaleh yang mukanya bercahaya dan wangi. Lalu ruh Aslina dibawa kursi yang empuk dan didudukkan di kursi tersebut, di sebelahnya terdapat seorang perempuan yang menutup aurat, wajahnya cantik. Ruh Aslina bertanya kepada perempuan itu. ”Siapa kamu?” lalu perempuan itu menjawab.”Akulah (amal) kamu.”
Selanjutnya ia dibawa bersama dua malaikat dan amalnya berjalan menelurusi lorong waktu melihat penderitaan manusia yang disiksa. Di sana ia melihat seorang laki-laki yang memikul besi seberat 500 ton, tangannya dirantai ke bahu, pakaiannya koyak-koyak dan baunya menjijikkan. Ruh Aslina bertanya kepada amalnya.”Siapa manusia ini?” Amal Aslina menjawab orang tersebut ketika hidupnya suka membunuh orang. Lalu dilihatnya orang yang yang kulit dan dagingnya lepas. Ruh Aslina bertanya lagi ke amalnya tentang orang tersebut. Amalnya mengatakan bahwa manusia tersebut tidak pernah shalat bahkan tak bisa mengucapkan dunia kalimat syahadat ketika di dunia. Selanjutnya tampak pula oleh ruh Aslina manusia yang dihujamkan besi ke tubuhnya. Ternyata orang itu adalah manusia yang suka berzina. Tampak juga orang saling bunuh, manusia itu ketika hidup suka bertengkar dan mengancam orang lain.
Dilihatkan juga pada ruh Aslina, orang yang ditusuk dengan 80 tusukan, setiap tusukan terdapat 80 mata pisau yang tembus ke dadanya, lalu berlumuran darah, orang tersebut menjerit dan tidak ada yang menolongnya. Ruh Aslina bertanya pada amalnya. Dan dijawab orang tersebut adalah orang juga suka membunuh. Tampak pula orang berkepala babi dan berbadan babi. Orang tersebut adalah orang yang suka berguru pada babi. Ada pula orang yang dihempaskan ke tanah lalu dibunuh. Orang tersebut adalah anak yang durhaka dan tidak mau memelihara orang tuanya ketika di dunia. Perjalanan menelusuri lorong waktu terus berlanjut. Sampailah ruh Aslina di malam yang gelap, kelam dan sangat pekat sehingga dua malaikat dan amalnya yang ada disisinya tak tampak. Tiba-tiba muncul suara orang mengucap : Subnallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar. Tiba-tiba ada yang mengalungkan sesuatu di lehernya. Kalungan itu ternyata tasbih yang memiliki biji 99 butir.
Perjalanan berlanjut. Ia nampak tepak tembaga yang sisi-sisinya mengeluarkan cahaya, di belakang tepak itu terdapat gambar kakbah. Di dalam tepak terdapat batangan emas. Ruh Aslina bertanya pada amalnya tentang tepak itu. Amalnya menjawab tepak tersebut adalah husnul khatimah. (Husnul khatimah secara literlek berarti akhir yang baik. Yakni keadaan dimana manusia pada akhir hayatnya dalam keadaan (berbuat) baik,red). Selanjutnya ruh Aslina mendengarkan azan seperti azan di Mekkah. Ia pun mengatakan kepada amalnya. ”Saya mau shalat.” Lalu dua malaikat yang memimpinnya melepaskan tangan ruh Aslina. ”Saya pun bertayamum, saya shalat seperti orang-orang di dunia shalat,” ungkap Aslina.
Selanjutnya ia kembali dipimpin untuk melihat Masjid Nabawi. Lalu diperlihatkan pula kepada ruh Aslina, makam Nabi Muhammad SAW. Dimakam tersebut batangan-batangan emas di dalam tepak ”husnul khatimah” itu mengeluarkan cahaya terang. Berikutnya ia melihat cahaya seperti matahari tapi agak kecil. Cahaya itu pun bicara kepada ruh Aslina. ”Tolong kau sampaikan kepada umat, untuk bersujud di hadapan Allah.”Selanjutnya ruh Aslina menyaksikan miliaran manusia dari berbagai abad berkumpul di satu lapangan yang sangat luas. Ruh Aslina hanya berjarak sekitar lima meter dari kumpulan manusia itu. Kumpulan manusia itu berkata. ”Cepatlah kiamat, aku tak tahan lagi di sini Ya Allah.” Manusia-manusia itu juga memohon. ”Tolong kembalikan aku ke dunia, aku mau beramal.”Begitulah di antara cerita Aslina terhadap apa yang dilihat ruhnya saat ia mati suri. Dalam kesaksiaannya ia senantiasa mengajak hadirin yang datang pada pertemuan alumni ESQ itu untuk bertaubat dan beramal shaleh serta tidak melanggar aturan Allah.
Setelah kesaksian Aslina, instruktur Pelatihan ESQ Legisan Sugimin yang telah mendapat lisensi dari Ary Ginanjar (pengarang buku sekaligus penemu metode Pelatihan ESQ) menjelaskan bahwa fenomena mati suri dan apa yang disaksikan oleh orang yang mati suri pernah diteliti ilmuan Barat.
Legisan mengemukakan pula, mungkin di antara alumni ESQ yang hadir pada Ahad (24/9) malam itu ada yang tidak percaya atau ragu terhadap kesaksian Aslina. Tapi yang jelas, lanjutnya, rata-rata orang yang mati suri merasakan dan melihat hal yang hampir sama. ”Apa yang disampaikan Aslina, mungkin bukti yang ditunjukkan Allah kepada kita semua,” ujarnya.Legisan menjelaskan penelitian oleh Dr Raymond A Moody Jr tentang mati suri. Raymond mengemukakan orang mati suri itu dibawa masuk ke lorong waktu, di sana ia melihat rekaman seluruh apa yang telah ia lakukan selama hidupnya. Dan diakhir pengakuan orang mati suri itu berkata: ”Dan aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya.”
Menanggapi kesaksian Aslina yang melihat orang-orang berteriak ingin dikembalikan ke dunia dan ingin beramal serta penelitian Raymond yang menyebutkan ”aku ingin agar aku dapat kembali dan membatalkan semuanya,” Legisan mengutip ayat Al-Quran Surat Al-Mu’muninun (23) ayat 99-100: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata:”Ya, Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).”(99). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.(100).
Sebagai penguat dalil agar manusia bertaubat, dikutipkan juga Quran Surat Az-Zumar ayat 39: ”Dan kembalilah kamu kepada Tuhan-Mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”Usai pertemuan alumni itu, Aslina meminta nasehat dari Legisan. Intruktur ESQ itu menyarankan agar Aslina senatiasa berdakwah dan menyampaikan kesaksiaannya saat mati suri kepada masyarakat agar mereka bertaubat dan senantiasa mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Setelah acara, banyak di antara alumni yang bersimpati dan ingin membantu pengobatan sakit gondoknya. Para hadirinpun menyempat diri untuk berfoto bersama Aslina. Semoga pembaca dapat mengambil pelajaran dari kesaksiaan Aslina.***
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 9:43 am
Yulyanto, kemana saja kok tdak ada kabarnya…yg ada di Face Book terus. Terima kasih tanggapan dan artikel tentang mati suri itu….memeng kasus itu ada dan terjadi, tetapi hanya beberapa oang saja yang mengalaminya ya Yul. Memang menakutkan membaca yang disampaikan oleh Aslina. Semuanya diskusi disini bukan untuk menaku-nakuti, tetapi untuk memberikan kesadaran bagi para pembaca, yah barangkali sibuk tidak sempat merawat tubuh dan jiwanya, atau juga mungkin lupa ya. Ok deh Yul, sekalilagi terima kasih…saya tidak mengomentari artikel tersebut…serem. Salam>Pray.
chia tanuwidjaja,
— 23 Januari 2009 jam 9:57 am
menyentuh sekali apa yang bapak tulis.kadang manusia sampai menjadi serigala bagi manusia yang lain demi mengumpulkan harta benda, sampai kebanyakan bingung mo nyimpen duitnya dimana.padahal ketika ajal datang, harta benda tidak bisa dibawa, cuma kafan doang, kalo dikremasi, malah tinggal abu doang…
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 10:11 am
Chia…terima kasih telah memberikan tangapan. Itulah manusia, kita heran ya dengan besarnya ambisi dan nafsu mengenai harta itu. Kan ada hukum “bosen”, begitu kebutuhan primernya terpenuhi maka kebutuhan sekundernya akan menjadi kebutuhan primer…begitu seterusnya. Nah…jadi kapan puasnya ya Chia???Justru didalam hidup manusia harus banyak membaca, hingga wawasannya bertambah, kalau tidak ya dia akan tetap maju terus, menggapai sesuatu dengan nafsu yang tak terkira…akhirnya dia akan terjerumus sendiri menuju kekematian 1,2 atau 3 tadi. Ok deh, pengingatan kafan itupun sering hanya disambut dengan senyum…tapi itulah manusia. Yang penting ya Chia, perlu diketahui….”Penyesalan tempatnya tidak pernah dimuka, tetapi selalu dibelakang”. Begitu ya.Salam>Pray.
Amir,
— 23 Januari 2009 jam 10:17 am
Bapak yang saya hormati, Terima kasih atas artikelnyasemoga ini bisa membuat kita semua jadi lebih baik ‘karena kematian adalah tujuan akhir kita’
WassalamAmir
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 10:24 am
Mas Amir, terima kasih juga sudah menanggapi. Memang tujuan dibuatnya artikel ini hanyalah agar pembaca kembali mengingat apa arti kematian itu. Disaat dinegara kita sedang dirundung malang, malang karena nampak mulai lunturnya rasa saling menghormati, saling menghargai, masih besarnya nafsu untuk kepentingan pribadi, kelompok, bahkan yang sering membuat prihatin dilakukan dengan menghalalkan cara. Memang semua akan berakhir diujung perjalanan hidup sebagai tujuan akhir seperti yang anda katakan…kematian. Salam hangat>Pray.
viant,
— 23 Januari 2009 jam 11:02 am
pembagian ilmu yang bagus pak Pray, menyadarkan kita.., tapi berapa lama kita sanggup “sadar” akan itu semua (yang ada dalam artikel), memang manusia tempatnya lupa (tapi ada juga yg menyebutkan lupa koq terus-terusan), tapi itulah kenyataan, seperti saya pernah diajarkan “rasakanlah sesuatu dengan hatimu dan lakukanlah sesuatu dengan otakmu, jangan kau balik atau kau tukar2 diantara keduanya, karena itu menyebabkan kau menjadi tidak tunduk dan patuh kepada Tuhan-Mu”, dan beberapa tahun belakangan ini baru saya mengerti apa maksudnya, inilah hidup.. nyata dan bukan sinetron, bollywood atau hollywood, tapi kita lebih sering setiap hari melihat itu semua (sinetron, bollywood dan hollywood) dikehidupan nyata keseharian kita, semoga di setiap keseharian kita (terutama bagi saya pribadi) selalu teringat apa yang namanya mati.. (terima kasih pak Pray telah mengingatkan saya kembali..)
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 11:14 am
Viant, terima kasih telah menanggapi. sangat bersyukurlah apabila manusia sudah memahami apa arti sebuah kehidupan dan untuk apa dia hidup. Kadang seseorang hingga tuapun tidak mengerti dan dia terus mencarinya. Kemudian banyak dari mereka yang tersesat dan berbuat semaunya, tergelincir….disinilah peran agama dan petuah dari orang tua, guru dan para sesepuh itu.Semoga terus menyadarinya ya Viant, dan semoga sukses.Salam>Pray.
Pepih Nugraha,
— 23 Januari 2009 jam 11:30 am
Terima kasih Pak Pray ulasannya yang bermakna dalam. jadi, kematian psikologis dan kematian biologis sebenarnya masih bisa diperbaiki, Ya Pak. Kadang pada kematian biologis, saya pernah baca orang yang sekian tahun koma, ternyata bisa hidup kembali. Kematian ruh meninggalkan raga yang tidak terelakkan. Namanya kematian, tiga-tiganya memang menyeramkan, cuman yang kematian psikologis itu kita sendiri yang bisa mengobatinya, kematian biologis barangkali bisa sembuh karena adanya Tangan Tuhan lewat dokter, dan kematian saat ruh meninggalkan raga tidak ada obatnya (kita pasti mengalaminya). Sebuah artikel yang menggugah…
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 12:44 pm
Mas Pepih, memang kalau kita amati dua kematian tersebut kadang ada yang bisa diperbaiki seperti kisah yang disampaikan oleh penanggap Isabel. Betul juga kematian biologis tanpa campur tangan Tuhan akan sulit diperbaiki secanggih apapun ilmu kedokteran itu. Menurut pendapat saya, sebaiknya manusia berusaha secara preventif dalam menghadapi ancaman kematian tadi, sehingga bisa meminimalisir kematian psikologis dan biologis. Kalau kematian sebenarnya tindakan yang terbaik adalah, sebelum maut menjemput manusia sebaiknya selalu berbuat baik, dalam Islam “beriman dan beramal soleh”, begitu bukan?. Kemarin sebelum menuliskannya, agak lama juga saya merenungkannya, karena selama ini kita hanya tahu kalau kematian adalah kejadian seseorang ditinggalkan oleh ruhnya. Terima kasih.Salam>Pray
nuni,
— 23 Januari 2009 jam 1:04 pm
Selamat siang Pak Pray,
Terima kasih kembali diingatkan akan kematian. Jadi ingat harus semakin rajin menabung amal untuk bekal pulang pak, mumpung masih diberi kesempatan.sekitar 2 minggu ini saya sempat “mati psikologis” karena dikejar-kejar pembimbing untuk menyelsaikan proposal penelitian (hehehe….). Untung akhirnya mulai kemarin sudah hidup lagi karena sudah selesai dan sudah diterima pembimbing jadi bisa kembali bertemu kompasiana.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 1:23 pm
Nuni, terima kasih sudah memberikan tanggapan. Iya betul kita nabung mumpung masih bisa. Wah, kok dikejar pembimbing bisa mati psikologis, padahal jawabnya mudah saja, “sabar, saya sedang usahakan”…tapi mana mau tahu ya pembimbing itu ya Nuni. Pantas sudah agak lama kok menghilang dari kompasiana dan FB. Syukur kalau proposal penelitiannya sudah beres, saya ikut mendoakan, semoga lancar proses programnya dan saya ikut bangga nanti kalau Nuni jadi Doktor…jangan lupa “learn to Relax and Enjoy Life”. Itu pesannya Pak Chappy. Salam>Pray.
adhy,
— 23 Januari 2009 jam 1:29 pm
ternyata Om Pray tidak hanya jago mengamati politik, tp juga mengamati kehidupan…
salam hormat
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 1:41 pm
Adhy, yah sebagai orang tua bisanya tutur, kan disini kita tujuannya sharing idea, memberikan apa yg terbaik untuk masyarakat, mengingatkan, kan sudah almost 62 nih Adhy, termasuk kegiatan amal…terima kasih ya.Salam>Pray
aramichi,
— 23 Januari 2009 jam 1:53 pm
Yth bapak Prayitno Ramelan
Hidup memang tidak pernah sederhana ya pak, kematian juga menyangkut orang yang ditinggalkan, orang yang merasa kehilangan karena orang yang dicintainya mengalami kematian baik psikologis, biologis maupun kematian yang sebenarnya. Sampai batas tertentu manusia bisa berusaha tapi akan sampai batasnya manusia hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. Seperti bapak bilang kita harus berbuat baik agar bisa tenang dan pasrah menghadapi kematian.Jadi yang terpenting bukan hanya kematian tapi bagaimana kita mengisi kehidupan dan mencari makna hidup. Ketika hidup kita isi dengan membahagiakan dan memberi kepada orang lain, hidup menjadi bermakna tapi ketika hidup kita isi dengan menyusahkan dan menyengsarakan orang lain hidup kita menjadi hina.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 2:07 pm
Mas Aramichi, iya memang ternyata hidup tidak sederhana. Benar dalam hidup harus mempunyai arti, bermanfaat bagi orang lain, bermanfaat bagi masyarakat dan bermanfaat bagi bangsa dan negaranya. Bukan sebaliknya seperti yang anda katakan…kita akan menjadi hina. Begitu ya.Salam>Pray.
Darmanto,
— 23 Januari 2009 jam 3:45 pm
Terima kasih buat artikel pak Pray yang menarik & mengingatkan kepada semua orang bahwa siapapun juga pada akhirnya nanti pasti akan menghadap keharibaan Sang Khalik, hanya tinggal waktunya saja yang belum kita ketahui kapan datangnya, dan karenanya dalam menunggu tibanya malaikatul maut menjemput roh kita sepatutnyalah kita mengisi dengan amal dan ibadah yang bermanfaat buat diri kita maupun masyarakat.
Kematian psikologis tidak seharusnya terjadi dan dialami oleh seseorang apabila dia memiliki keimanan. Dalam hidup kita janganlah selalu melihat keatas, sehingga nantinya akan membuat kita merasa rendah diri dan merasa hidup kita tidak berarti karena tidak mampu mencapai yang orang lain dapatkan (diatas). Hendaknya kita bersyukur atas segala karunia berlimpah yang telah diberikan oleh Allah SWT dan melihat kebawah karena masih banyak orang lain yang mungkin keadaannya lebih menderita dan sepatutnya kita saling berbagi dengan mereka.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 3:47 pm
as Darmanto, terima kasih tanggapannya. Iya benar kita harus melihat kebawah, tidak keatas, karena banyak orang yang masih susah. Dan betul kita harus mensyukuri nikmat yang diberika oleh Tuhan kepada kita. Tetap mau berbagi kepada sesamanya ya.Salam>Pray.
nuni,
— 23 Januari 2009 jam 3:49 pm
“mati psikologisnya” dalam tanda kutip koq pak jadi belum yang sebenarnya. Karena saya nyusun proposal koq nggak selesai-selesai padahal penelitian sudah jalan jadi ada beban moral sama pembimbing. Maklum sekolahnya disambi kerja pak jadi disana dioyak-oyak pembimbing disini dioyak-oyak bossss. Alhamdulillah beban sudah lepas, jadi sekarang sudah “hidup” lagi. Sesuai saran Pak Pray mumpung long week end mau relax sesaat pak. Terima kasih.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 3:50 pm
Iya, kok Nuni, I know…maksudnya sementara offline dulu dari kompasiana ya. Benar itu, sangat perlu relaxation, saat long week end, kan agak lama dari Sabtu sampai Senin…Have a nice long week end. Salam>Pray.
iskandarjet,
— 23 Januari 2009 jam 3:57 pm
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [QS. al-A'la (87) : 17]
Sedikit mengomentari kategori kematian psikologis yang bisa dialami oleh siapapun, mulai dari orang kaya, orang miskin, orang sehat, orang renta. Kematian ini boleh saja diawali dengan post power syndrom, di saat seseorang merasa kehilangan kekuasaan, keterkenalan, kesibukan dan ritme hidup yang dulu dijalaninya di usia produktif.
Begitu pensiun, dia seperti orang yang dicerabut dari jalan tol yang ramai dan dinamis, dan dipaksa masuk ke tempat sepi menanti datangnya akhir hayat. Mulai dari titik inilah hidupnya mulai goyah dan kehilangan arah. Tidak ada target yang harus dicapai, tidak ada perencanaan yang harus disusun panjang, tidak ada tekanan terstruktur dari atasan. Artinya, dia merasa tidak ada lagi alasan untuk terus menghirup napas di bumi ini.
Tapi kondisi seperti ini tidak berlaku bagi orang yang memahami betul (dalam bahasa agama disebut mengimani, meyakini) akan hadirnya Hari Akhir. Tidak berlaku bagi mereka yang mengejar kebahagiaan Akhirat lebih dari kesenangan dunia yang fana. Setiap orang beragama memang tahu ada hari kiamat, tapi tidak semua orang meresapi dan mengimaninya dengan benar.
Sekedar memberi contoh, ibu saya merupakan salah seorang yang bisa membebaskan dari kematian psikologis. Di usianya yang menjelang 70 tahun, tidak ada gairah hidup yang surut dan tidak ada kata istirahat atau berkurangnya aktifitas. Tetap ada semangat dalam hidupnya. Semangat untuk meraih kebahagiaan akhirat. Kesungguhan untuk bisa menikmati manisnya balasan Allah yang akan diberikan kepada ummat-Nya.
Ibu saya senang bercerita, semata-mata untuk memberikan tauladan bagi anaknya. Sehari saja dia bangun lewat dari jam 3, esok paginya dia pasti mengeluh. Waktunya untuk beribadah malam jadi berkurang. Apalagi kalau badannya kurang sehat, dia langsung sedih karena tidak bisa lagi menikmati ibadah harian. Siangnya dia mengisi waktu luang dengan membaca, mengajar dan aktifitas sosial lainnya.
Jadi beruntunglah orang yang diberi umur panjang, namun dikurangi dari kesibukan dunia. Dia bisa melampiaskan kerinduannya kepada Allah dengan beribadah dan bersedekah. Karena sesungguhnya kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Wallahu a’lam.
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 4:06 pm
Iskandar, Terima kasih telah memberikan tanggapan. Apa yg disampaikan jelas melengkapi apa yang sudah terekam dalam artikel tersebut, inilah sukanya apabila sebuah artikel juga ditanggapi oleh penulis sesama, pasti ada tambahan wawasan, sekaligus dengan contoh2nya, salam untuk ibunya ya…Ibu saya juga masih fresh dan masih hebat walau sudah berumur 87 tahun,…terima kasih sekali lagi.Salam>Pray.
yulyanto,
— 23 Januari 2009 jam 4:10 pm
Alhamdulillah, kabar saya baik Pa’ Pray,
Memang sudah agak jarang posting di Kompasiana nech pak!…, biasalah Pak, “Blogger Kelas Pekerja”, lagi sibuk sama kerjaan…
Tapi, saya masih tetap konsisten “Nge-Blog” disini kok, sekedar berbagi dengan para “Blogger Kompasiana” yang semakin hari semakin bertambah dan tulisannya pun makin seru dan berkelas…..
Meskipun dah jarang posting, setiap hari pasti saya sempetin untuk mampir di salah satu “Rumah Maya” saya ini pak!….. Sudah cocok hawanya, dan sangat bersahabat auranya…….
BTW, Pa’ Pray sudah mulai menjadi “Seleb Blog Kompasiana” nech, banyak penggemarnya, terbukti dari banyaknya komentar yang masuk pada hampir semua tulisan yang bapak sharing…..
Luar biasa dan selamat pak, gak sia-sia usaha Bapak menggagas “Public Blogger” ini…….
Salam Blogger,YULYANTO*…dah gak sabar menghadiri “Kopdar Kompasiana”…, tuk ketemu Pa’ Pray…. he…he….*
Blogging at:http://www.yulyanto.comhttp://www.kompasiana.comhttp://mybusinessblogging.com/stock-market/http://mybusinessblogging.com/indonesia-business/
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 5:02 pm
Iya betul Yul, jangan kalahkan urusan pekerjaan, itu pokoknya, blog ini adalah hobinya kan…nah kalau saya dibalik…blog ini “main” saya, kalau kerja adalah hobi…he,he,he payah ni orang tua satu ya Yul. Betul kita akui bahwa public blogger itu banyak yang “hebat-hebat”, ada dokter, profesor, ada ahli ekonomi, sosial, kemanusiaan, budaya, semuanya menampilkan informasi dan sangat penting untuk diketahui masyarakat penggemar kompasiana. Kini yang dikenalkan Mas Pepih dengan Citizen Journalism juga makin menambah wawasan kita. Disamping itu para journalis dan guest blogger juga muncul dan semakin menempatkan kompasiana sebagai “indie media” yang patut diperhitungkan. Memang ampuh Mas Pepih dan para admin atau pengelola Kompasiana ini. Mendatang wadah ini benar bisa diharapkan sebagai tempat panambah wawasan, pencerahan ang santun dan semakin terpelajar. Pembaca semakin banyak, rating yang terekam di Alexis semakin membaik. Persahabatan semakin mengkristal bagi penulis dan penanggap, keduanya berinteraksi hingga artikel menjadi semakin lengkap. Banyak pembaca yang mengatakan bahwa mereka juga punya hobi membaca tanggapan2 yang beraneka ragam. Alhamdulillah kalau artikel-artikel saya banyak yang menanggapi, artinya kan banyak dari kita yang “care” terhadap masalah yang saya angkat. Ok, walau Yulyanto adalah sahabat virtual saya, kita kan belum pernah bertemu, tapi kita seperti sudah mengenal lama. Terima kasih ya…Salam juga untuk your wife>Pray.
nda ndot,
— 23 Januari 2009 jam 5:48 pm
Sore pak Prayit,
sekedar menambahkan saja. kalau pak Pray berbicara tentang kematian saya akan bicara soal hidup. tentang orang2 yang tidak akan pernah mati.orang2 yang demikian adalah orang yang begitu besar jasa2nya dan karya2nya yang bermanfaat untuk orang banyak. orang2 ini akan terus dikenang, namanya akan selalu hidup meski jasadnya telah terkubur sekian puluh tahun. oleh karena itu, selalu berbagi ilmu, pengalaman, tetap berkarya dan memberikan sumbangsih baik tenaga, pikiran atau karya2 lain untuk kemaslahatan merupakan jalan untuk kita untuk tetap hidup…
soal golf, kata temen saya yang golfer, beliau bilang golf itu untuk mengalahkan diri sendiri, mengendalikan emosi dan belajar respect kepada partner main kita (beliau tidak menyebut lawan main). selain mengajari kami swing yang benar, beliau juga mengajarkan etika dan tata krama selama bermain golf. wah ternyata ada juga yah filosofinya.
tapi buat saya next time aja deh buat golf. travelling, martial art dan fotografi cukup lah buat second life sementara ini..sekedar untuk menyeimbangkan hidup..have a good week end pak..
Prayitno Ramelan,
— 23 Januari 2009 jam 6:52 pm
Nda-Ndot, terima kasih Mas tanggapannya. Betul itu, selama kita hidup maka kita juga harus memikirkan nanti kalau kita mati apa yang ditinggalkan???Harimau mati meningalkan belang,gajah mati meninggalkan gading, nah kalau blogger mati yang ditinggalkan adalah karya tulis yang terekam di sebuah atau beberapa blog, menyebar kemana-mana. Justru itulah Nda ndot, saya bersemangat menulis agar ada kenangan untuk masa nantinya entah kapan?Sebuah karya yang dibuat dengan kejujuran…itu saja kok.Wah untuk second lifenya hebat tuh…travelling, martial art dan fotografi. Sama ya kita sependapat bahwa hidup harus diseimbangkan agar kita bisa menikmati hidup itu…Have a good week end juga ya…3 hari ni. Salam>Pray
Novrita,
— 24 Januari 2009 jam 12:04 am
Wah…. rame nih forum pak Pray, padahal yang dibahas bukan tentang politik yang notabene adalah spesialisasi pak Pray (kalau yang ini saya sih yang mengkategorikan demikian..)Banyak comment yang masuk semakin menambah bobot artikel ini.
Menjelang usia tahun ke -62 bukan berarti meredup, tapi semakin semangat. Itu hal yang patut kita contoh.
Kematian memang tidak harus dipersiapkan oleh yang sepuh saja, tapi oleh kita semua di setiap angkatan usia. Kematian bisa menimpa kita kapan saja. Untuk itulah kita semestinya terus meningkatkan kualitas ibadah kita selagi kita masih hidup dan ‘hidup’sebagai bekal nantinya.
Terima kasih pak Pray…. untuk bisa mengemas dan menyajikan artikel pencerahan ini.Pasti Dewo akan semakin bangga .akan Eyang Kakung nya… Btw, it’s 24 january 2009 … It’s Dewo birthday pak…
Prayitno Ramelan,
— 24 Januari 2009 jam 1:30 am
Terima kasih banyak ya Novrita atas tanggapannya, wah sampai lewat tengah malam masih menyempatkan diri menanggapi. Maaf tadi saya pulang sudah ngantuk sekali, maklum kalau Jumat malam kan seperti biasa “learn to relax and enjoy life”…MEOK istilahnya Pak Chappy, Makan Enak Omong Kosong…sambil gabung dengan komunitas Jazz, saya coba menyanyikan lagunya Chrisye(Alm) yang dinyanyikan oleh Ariel Peterpan itu…dengan irama Bosas, wah pada heran kok Ariel jadi tua dan gemuk. Terus karena tidak PeDe minta didukung Caroline ex Dewa Dewi …lengkap deh tu lagu. Inilah bukti bahwa karya seseorang semasa hidup akan terus dikenang, seperti karya-karya dari Chrisye itu. Lho kok menenggapi arikel kematian larinya ke Jazz…?? Iya benar Novri, manusia harus mikir kalau suatu saat dia akan mati juga, dan mengingat semua agama mengajarkan agar kita harus berbuat baik dan beribadah semasa hidup (tidak ada kan Agama yang mengajarkan kita agar berbuat jahat), maka kita ya harus berbuat baik. Oleh karena di Face Book saya juga menulis tentang kematian itu, baca note saya? “Peluklah Ibumu dan ciumlah dia semasa masih bisa, karena suatu saat nanti dia akan meninggalkanmu”…itu kalimat saya dapat dari acara Pak Mario Teguh. Btw, terima kasih ucapan ultah untuk my grandson, he is 3 years old to day. Salam Hangat dan Selamat Berlibur.>Pray.
palawija,
— 24 Januari 2009 jam 4:01 am
Terima kasih pak Pray telah menambah wawasan qt sbg manusia sayangnya belum ada orang yang berpengalaman mati yang sebenarnya bukan mati suri ya jadi tidak bisa diceriterakan sebenarnya yang penting kita tahu bahwa Tuhan penyayang umatnya spt lagunya Titik Puspa, kita dikandung ibu 9 bln dan lahir ke dunia kita tidak ingat/merasa sakit atau tidak senang atau tidak pada waktu itu baik selama dlm kandungan maupun saat lahir dan menangis kita tidak tahu juga arti tangisan yang sebenarnya, demikian juga klo kita mati nantinya bagaimana hanya Tuhanlah yang maha tahu .
Prayitno Ramelan,
— 24 Januari 2009 jam 7:10 am
Mas Palawija…iya benar, cerita mati suri memang sudah beberapa tertulis, seperti kisah yang diposting Yulyanto diatas, tapi kalau yang mati benaran dan hidup lagi saya juga belum pernah membacanya. Dan emmang itu hanya menjadi rahasia dan Tuhanlah yang maha Tahu. Jadi Mas, ya sudah kita jalankan saja perintah ibadah dan menjauhi larangan2 dari agama yg kita anut, terus berdoa, selama hidup harus berbuat baik, membersihkan hati, menolong mereka yang susah, beramal, mencintai keluarganya, santun, tidak memfitnah, berbakti kepada bangsa dan negara…dan banyak lagi ya kalau mau disebut. Intinya jadi orang baik, kira-kira begitu ya. Begitu ya Mas.Salam Hangat>Pray.
Kepada para teman, sahabat yang merayakan, Selamat Tahun Baru Imlek 2560/2009, “GONG XI FAT CHOI”, semoga semua sukses dan berhasil usahanya dan Rukun keluarganya. Salam Hangat…Prayitno Ramelan
TITAH SOEBAJOE,
— 24 Januari 2009 jam 7:23 am
Saya seneng Cak, sampeyan nulis segala macem, mulai politik sampai mati. Tapi yang saya heran itu banyak orang berbicara mati, tapi belum pernah mengalami mati. Lha yang sudah mati tidak pernah mau bicara pengalamannya. Kenapa itu Cak. He,he,he, sepuarne Cak
Prayitno Ramelan,
— 24 Januari 2009 jam 10:39 am
Mas Bajoe….iya ini iseng buat sharing idea saja, kan memang mati itu rahasia kan ya, yang banyak disiskusikan banyak orang yg belum pernah mati, ada beberapa mati suri, menakuitkan ya cak, coba baca postingannya Yulyanto itu dalam tanggapannya diartikel ini…menakutkan sekali. Kalau sudah tua.lama2 memang takut juga ya..tapi benernya kalau orang mati kan tidak urut umur kan ya…kita pasrah saja deh…..Selamat liburan ya.
Darmanto,
— 24 Januari 2009 jam 2:26 pm
Semalam Kick Andy di Metro TV membahas tentang kematian juga, dimana dibahas mengenai seseorang yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya sudah ‘divonis’ tidak akan berumur panjang lagi oleh dokter. Yang sangat menarik adalah mereka tetap semangat dan berjuang untuk tetap hidup hingga ajal menjemput dan dalam sisa hidup yang masih ada mereka melakukan sesuatu untuk dapat terus dikenang oleh yang masih hidup….sangat menarik & inspiratif sekali.
Prayitno Ramelan,
— 24 Januari 2009 jam 10:49 pm
Itu sebuah contoh kepasrahan yang luar biasa ya Mas Darmanto, biasanya kalau seseorangmendapat vonis tentang sisa umur maka langsung akan “down”, panik, tidak tahu harus bagaimana, umumnya semangatnya akan drop, tidak ada gairah, stres berat hingga depresi, tapi ada orang-orang tertentu yang dengan pasrah bisa menerimanya. Ini yang harus kita kagumi, tekanan yang dialami sebenarnya jauh lebih berat dibandingkan dengan mereka yang mengalami kejenuhan atau tekanan ekonomi, tapi karena imannya kurang kuat, kadang yang sudah divonis tidak akan berumur panjang jauh lebih tenang dan mampu semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Begitu ya. Salam>Pray.
yulyanto,
— 24 Januari 2009 jam 11:07 pm
Okay Pa’ Pray…
Suatu hari nanti saya juga berharap bisa seperti P’Pray, blog utamanya, kerja hobby-nya…. he…he…he… semoga…
Oh iya, happy birthday buat Grandson-nya ya pa, dan salam juga buat keluarga…..
Keep Blogging http://www.yulyanto.com
Prayitno Ramelan,
— 25 Januari 2009 jam 6:14 am
Yul, kalau sudah tua kan tidak harus kerja nine to five terus, wah capek deh…saya sudah 35 tahun begitu…kemana-kemana lagi tugasnya, nah disaat usia senja ini kerjanya Golf, Ngeblog, dan hobinya kerja sedikit2. Dan terima kasih ucapan birthday untuk my grandson Dewo. Salam juga untuk keluarga ya Yul. Pray.
Julius Cesar Hassan,
— 30 Januari 2009 jam 8:07 pm
Selamat Malam Pak Pray,Terima kasih atas artikel yang sangat menyentuh ini,Untuk menghadapi Kematian disarankan Bagi Umat Islam agar mendatangi Orang yang Wafat / Meninggal,sebagai peringatan bagi yang Hidup, bahwa Ia akan seperti itu.Jika kita Mati suatu hari kelak, jangan Lupa yang akan dihisab ALLAH adalah NIAT Kita. Jika kita Melakukan sesuatu, Apakah yang menjadi NIAT Kita ? Kalau Niat nya Baik, itu Belum Cukup, Apakah juga dilakukan secara Baik dan inipun Belum Cukup, Apakah Dengan Menggunakan kata – kata yang Baik pula. Jika semuanya ini sudah Baik, maka InsyaAllah akan mendatangkan Hal –hal yang Baik pula, jadi Tidak Usah Takut selama Kita masih Hidup….., Kesempatannya selalu Tersedia. Walaupun Kita tidak Tahu kapan Malaikat Maut akan menjemput Kita.Allah bukanlah Zat yang senang menghukum hambanya, yang menghukum hamba allah atau kita adalah perbuatan – perbuatan Buruk yang kita lakukan sendiri pada saat kita Hidup di Dunia ini. Semoga jika kita harus menghadap yang Maha Kuasa alias Mati nanti dalam Keadaan Baik dan dikenang sebagai Orang Baik. Aaammmiiieeennn…
Prayitno Ramelan,
— 30 Januari 2009 jam 11:09 pm
Mas Julius, terima kasih telah menanggapi dan memberikan pendapatnya. Saya sependapat, kalau kita “melayat” orang meninggal, seharusnya kita disadarkan bahwa siapapun juga hanya tinggal menunggu waktu dan giliran ya. Dan terima kasih tentang penjelasannya, jelas akan bermanfaat bagi kita yang membaca. Kita swemua memang kalau bisa meninggal dalam keadaan baik, meninggalkan suatu kebaikan yang bermanfaat bagi yang ditinggakan. Begitu ya…Salam>Pray.
Julius Cesar Hassan,
— 31 Januari 2009 jam 9:51 am
Jika kita sebagai Hamba Allah, mendapatkan atau dipertemukan dengan Peristiwa yang Kurang Baik / Tidak Baik, Kita perlu berpikir sejenak bahwa Peristiwa ini terjadi karena ada salah satu dari 3 Hal diatas yang Belum Baik , ( Niat – Cara Cara– Kata Kata )…..
Apakah dengan Peristiwa – Peristiwa Di Dunia saat ini, termasuk Peristiwa diTanah Air Kita ( Wabah Penyakit, Gunung Meletus , Gempa sampai dengan Tsunami, Pertikaian antara kelompok Ras, Suku dan Agama ), berhubungan dengan 3 Hal – Hal Baik diatas ? Hanya Allah Yang tahu…..
Marilah mulai saat ini, Kita sebagai anggota masyarakat untuk berintrospeksi, demi Hidup dan Kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara yang lebih Baik, lebih Aman dan lebih Sejahtera.
Prayitno Ramelan,
— 31 Januari 2009 jam 11:42 pm
Julius, bagus pendapatnya tentang Niat, cara dan kata…..awalnya ada dihati, pelaksanannya dipikirkan oleh otak…mulutlah yang menheluarkan kata-kata…ada nasehat “hati-hatilah dengan mulutmu, karena mulutmu adalah harimaumu, apabila tidak hati2 maka harimau itu akan memakanmu”…karena itu dalam berkampanye para elit agar menjaga dan mengendalikan mulutnya…begitu ya.>salam.Pray
evy,
— 18 Februari 2009 jam 2:18 am
saya senang sekali bisa membaca tulisnnya, saat ini memang saya sedang mengalami ancaman yang diberikan oleh satu keluarga karena sakit hati ( menurutnya ) saya sangat shock apalagi sudah menyebutkan anak - anak saya. akhirnya saya berpasrah saja kepada yang maha kuasa, dan saya terus melakukan apa yang ada di dalam tulisan ini. semoga saya mendapatkan apa yang saya inginkan yaitu dapat mengahdapi ancaman ini dengan legowo, boleh takut tapi bukan ketakutan, boleh santai tapi tidak lengah, tetap waspada bukan curiga dan tetep berdo’a. terimakasih pak…
Prayitno Ramelan,
— 18 Februari 2009 jam 5:04 am
Mbak Evy, terima kasih dengan tanggapannya. Saya faham anda sebagai seorang wanita telah shock mendapat tekanan berupa ancaman dari sebuah keluarga karena sakit hati. Manusia itu didalam hidupnya akan sellalu mendapat ujian dan cobaan, kini tinggal terserah bagaimana dia mensikapi semuanya itu. Selain itu hal yang terpenting adalah bagaimana anda mengambil keputusan, kini dalam menghadapi ancaman, hadapi masalah itu, dudukan dulu hati anda pada posisi jangan takut. Anda didunia ini takutlah pada Tuhan, jangan pada manusia. Kan Evy tinggal dinegara hukum jadi orang tidak bisa berbuat semaunya, mengancam, mau berbuat kekerasan, tinggal lapor polisi. Kalau bisa anda cari keluarga yg sangat berpengaruh, minta dia menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah. Langkah yg anda lakukan dalam menghadapi ancaman itu sudah benar, tidak usah tertekan batin itu, yg rugi diri sendiri, tidak usah terlalu membenci, yg rugi kan juga diri sendiri, mereka yg dibenci enak2 tidur, kita yg membenci membawa gambaran orang itu setiap saat. Begitu ya Evy, tetap bersemangat!! Jangan lupa terus berdoa.Semoga bermanfaat. Salam>Pray
taufik,
— 2 April 2009 jam 8:36 am
assalamu ‘alaikum, innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun “sesungguhnya kita berasal dari tuhan dan akan kembali ke tuhan”bagi orang yang sudah syahadatain/menyaksikan wujud tuhan ruhnya akan moksa/ kembali ke tuhan tetapi bagi orang yang belum syahadatain ruhnya akan gentayangan/ menjadi jin makanya bijaksana sekali orang jawa dahulu selalu menyajikan sesuguhan apa yang disukai orang yang sudah meninggal dari keluarganya agar supaya bisa kembali berkumpul walaupun sudah berbeda wujud dan tidak gentayangan kesana kemari dan keluarganya selalu berdo’a agar bisa segera dibangkitkan kembali dan tidak berlama lama dialam barzakh.terimakasih dan wassalamu ‘alaikum
Prayitno Ramelan,
— 2 April 2009 jam 12:30 pm
Mas Taufik, Walaaikumsalam, terima kasih tanggapannya. Terima kasih juga informasinya itu, mudah2an kalau dipanggil nanti ruh kita sudah syahadatain ya, sehingga akan kembali kepada Tuhan. Dan memang keluarga yang ditinggalkan sebaiknya selalu mendoakan mereka yang telah mendahului. Salam ya>Pray
Vicky Laurentina,
— 25 April 2009 jam 8:09 am
Mati roh, tidak bisa dicegah. Roh yang pergi tidak bisa kembali lagi.Mati biologis, menjengkelkan. Nyawa masih ada, tapi badan tidak berfungsi. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa supaya berlanjut jadi mati roh sesegera mungkin.Mati psikologis, hanya layak dikasihani, tapi tidak perlu terus diratapi. Kalau badan masih berfungsi, bisa jadi alat untuk mengembalikan jiwa yang sedih, karena otak masih bisa diprogram untuk berpikir positif.Jangan mati..! (kalau Tuhan memang belum mau kita mati roh..)

1 komentar:

sma mekar arum mengatakan...

Pa pray artikel ini sangat mencerahkan bagi saya yang umumnya masih dalam tahap tumbuh dewasa.sehingga dengan tutur cerita tentang kematian ini menambah pelajaran juga bagi saya.terus terang saya masih labil dalam menghadapi setiap masalah yang ada sehingga menimbulkan rasa putus asa yang sangat dalam dan bisa dibilang masuk kedalam kriteria kematian fisikologis.dengan membaca artikel ini saya jadi mengerti bahwa semasa hidup manusia tidak boleh putus asa dan harus tetep menjaga ahlak agar tidak ditakut takuti oleh kematian.


terimakasih pak pray


salam rukmana kompasianer