Kamis, 20 November 2008

TNI AU dan Penerbangan Sipil

Oleh : Prayitno Ramelan- 6 November 2008 -
Sumber : Kompasiana.Com -Dibaca 232 Kali -

ANDA mau ke Yogya, ke Singapore, ke Sydney, mau ketemu His Excellency President Obama nun jauh disana, tidak ada pilihan lain, jalan tercepatnya adalah naik pesawat terbang. Pesawat terbang adalah moda transportasi yang jauh lebih unggul dibandingkan transportasi darat dan laut.

Kini ada pesawat Airbus A-380 yang sungguh besar dan nikmat, semakin banyak uang kita semakin nikmat kita melakukan penerbangan. Sedikit cerita ; kalau naik pesawat itu ada tiga kelas, first class disebut “honey class”, dilayani bak raja, pramugarinya senior, pakai kain panjang, pokoknya ok sekali, semanis madu disini. Business class adalah “money class”, ini kelas dibawahnya, artinya kalau punya uang lebih ya naik kelas ini, gengsi sudah cukuplah. Nah yang paling bawah economic class, kelas ini disebut “monkey class”, sempit, kaki agak susah diluruskan, dalam perjalanan jauh yah harus siap tertekuk seperti monkey kalau “bobok”!

Tapi yang kita bahas bukan itu, ada hal lain yang perlu kita ketahui bersama dan bahkan sering tidak disadari. Begitu kita duduk didalam pesawat, pesawat rolling, dan airborne, sadarkah kita bahwa kita sebenarnya sedang melawan “kodrat”? Manusia ini tidak diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dapat terbang, hanya menginjak bumi saja.

Manusia dapat terbang berkat upaya Wright Bersaudara di Kitty Hawk North Carolina Amerika Serikat yang berhasil menerbangkan sebuah pesawat terbang bermesin. Sejak itu pesawat dipakai baik untuk keperluan transportasi ataupun angkutan manusia. Bisnis penerbangan menjadi bisnis yang menjanjikan dan menarik minat banyak pengusaha.

Dalam beberapa tahun terahir di Indonesia muncul beberapa operator penerbangan yang berlomba-lomba mencoba mengais keuntungan dari demam terbang. Masyarakat yang tadinya hanya menggunakan sarana transportasi darat bus dan kereta api, serta kapal laut kemudian mulai merasakan manfaat jasa transportasi penerbangan. Pada awalnya operator menekan harga ongkos angkut, merangsang mereka yang akan bepergian, diterapkannya low cost, harga bersaing dengan kereta api.

Para pebisnis penerbangan hanya terfokus pada persaingan perebutan penumpang, kadang kurang mengindahkan aturan keamanan dan keselamatan penerbangan. Sebagai akibatnya dalam beberapa tahun terahir kemudian terjadilah kecelakaan demi kecelakaan yang apabila diteliti lebih lanjut merupakan sesuatu hal yang sebenarnya dapat dihindarkan, paling tidak dapat di minimalisir.

Karena pesawat buatan manusia, maka semua persyaratan terbang yang sudah ditetapkan oleh pembuat pesawat haruslah ditaati dengan ketat. Kesalahan sekecil apapun dalam dunia penerbangan tidak dapat ditolerir. Menurut pakar penerbangan Pak Chappy Hakim, mengurus masalah penerbangan tidak dapat biasa-biasa saja.

Indonesia memiliki TNI Angkatan Udara, yang juga merupakan operator. Organisasi Angkatan Udara dibuat demikian telitinya, agar tercapai apa yang disebut zero accident. TNI AU sebagai operator penerbangan militer dilengkapi dengan badan-badan yang tugasnya menjaga, mengamankan dan menyelamatkan agar penerbang dan pesawat terbangnya dapat melaksanakan mission yang pada ujungnya adalah menjaga kedaulatan negara diudara. TNI AU menerapkan road map to zero accident yang meliputi keselamatan ditiap satuan operasional, go and no go item pada alutsista , peningkatan kualitas sumber daya manusia, perampingan tipe pesawat dan accident investigation. Selain itu juga dilakukan outsourcing berupa studi banding dengan Singapore Air Force dan Australian Air Force (keduanya dapat mencapai zero accident setelah 15 dan 20 tahun).

Angkatan Udara sangat disiplin dalam membina baik personil, materiil dan kegiatan penerbangan. Semua kegiatan manajemen diarahkan agar pesawat dan personilnya selalu siap dan mampu untuk melaksanakan tugas yang dipikulkan dipundaknya.
Dibandingkan dengan operator penerbangan sipil, tugas organisasi Angkatan Udara jauh lebih complicated. Peran tempur disamping angkut memerlukan pengorganisasian khusus, berkait dengan kesiapan pesawat, kemampuan penerbang dalam bermanuver, menembak, dog fight dan melawan “G”(grafitasi).

Walaupun sudah dilakukan segala usaha, TNI AU masih harus menghadapi beberapa kasus kecelakaan pesawat.Sementara ini kesimpulannya human error 70%, faktor teknis 20% dan media 10%. Dalam setiap kasus kecelakaan pesawat, kalau dahulu TNI AU hanya mengkaji faktor man, material and media, kini diperluas dengan mission dan management. Dimaksudkan agar pengkajian menjadi lebih luas dan komprehensif.

Nah, bagaimana dengan penerbangan sipil di Indonesia? Dalam setahun terakhir saja terjadi beberapa kecelakaan yang dinilai sangat mengkhawatirkan. Berakibat pesawat berbendera Indonesia di banned oleh Uni Eropa. Beberapa kecelakaan terjadi disimpulkan karena kemampuan manusia dalam mengatasi keadaan emergency sangat rendah, menyebabkan pesawat keluar landasan, tersasar dan bahkan masuk laut. Orang awampun mudah menilai pada beberapa kasus kecelakaan sangat terkait dengan awak pesawat.

Selain itu, ada lagi hal lain yang sangat penting diperhatikan yaitu aspekmaintenance/perawatan pesawat. Beberapa waktu terakhir ini kita dikejutkan dengan berita ada pesawat yang main wheel-nya lepas, ban kempes, ada bagian pesawat yang jatuh. Ini semua menyangkut masalah perawatan pesawat.

Dalam merawat sebuah pesawat, dibutuhkan suatu manajemen logistik yang khusus dan teliti, spekulasi biasa terjadi diwilayah ini. Kebutuhan suku cadang yang sangat mendesak kadang menurunkan faktor safety. Bisnis penerbangan adalah bisnis mengejar target, terpenuhinya kesiapan pesawat. Banyaknya rute yang tidak sebanding dengan jumlah pesawat adalah kerawanan tersendiri. Apabila target tidak terpenuhi maka akan terjadi rangkaian delay dimana-mana, jelas akan mengundang “gerutuan”.

Disadari pembenahan masalah penerbangan bukan hanya dua faktor itu saja, masih banyak faktor lainnya yang saling terkait. Tapi paling tidak faktor manusia (awak pesawat) dan maintenance pesawat harus mendapatkan porsi pengawasan yang lebih ketat tanpa kompromi. Dengan menunda dan bila terjadi down grade kedua hal tersebut, maka baik crew maupun penumpang pesawat harus siap-siap bertemu dengan kodratnya. PRAYITNO RAMELAN, blogger, pengamat intelijen

[b]3 tanggapan untuk “TNI AU dan Penerbangan Sipil” [/b]

yulyanto,
— 6 November 2008 jam 2:26 pm
Waduh, kalau naik Airbus A-380 kayaknya saya cuma mampu dikelas “Monkey” tuh pak!!!….hemmmm….., kira2 berapa yach harga tiket di kelas “Honey”??….
Ga papa dech duduk dikelas “Monkey” tapi kelakuan kayak “Honey”, daripada duduk dikelas “Honey” kelakuannya kayak “Monkey”????…..he….he….he….
BTW, kalo dikelas “Honey” pas ada masalah penerbangan yang mengharuskan pendaratan darurat pasti bisa request mendarat di “Tol-Cikampek” kayak kemarin ya Pak!!!….

prayitno ramelan,
— 6 November 2008 jam 5:57 pm
Yang sudah punya A-380 Singapore (5), Qantas Australia (1), yg memesan Emirates (41) dan Malaysia Airlines. Kalau kita sementara baru menyatakan Terminal 3 Bandara Suta siap menerima pesawat raksasa yg mampu membawa 850 penumpang tersebut. Semoga, suatu saat Yulianto & his wife bisa naik A-380 double size bed, tv 23 inch, private coat closet dan yg jelas ada akses internet, agar dapat terus rajin mengakses Kompasiana….Yg enak naik di Honey class, kelakuan juga kayak “honey”, jadi ber-honey-honey, better than berhoney-monkey. Tapi ingat sehebat apapun itu pswt tetap saja melawan kodrat, makanya jangan lupa banyak2 doa sebelum take off. Tks ya komentnya.

yulyanto,
— 7 November 2008 jam 8:03 am
Insya Allah P’ Pray, Amin….Muantap tuch pa!!….

Tidak ada komentar: