Oleh : Prayitno Ramelan
The Body Guard adalah judul film yang dibintangi Kevin Costner seorang pengawal profesional,berani menantang peluru untuk melindungi Whitney Houston. Kevin profesional, berbadan tegap, menguasai ilmu kawal pengawal, melindungi subyek agar selamat dari pembunuhan. Sementara Whitney kadang rewel, kadang macam-macam ulahnya, tapi butuh pengawalan. Akhirnya terjadilah hubungan batiniah keduanya. Terjadi anti klimaks saat akhir cerita, sang pengawal berhenti dan mengatakan pada kekasihnya “good bye my dear, good luck”.
Penulis sangat terinspirasi setelah melihat film tersebut, ada kemiripan dalam hubungan Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Pada pilpres 2004 walau perolehan Partai Demokrat hanya 7,4%, SBY yang menjadi presiden. Demokrat menguasai 57 kursi DPR. Golkar pada pemilu itu memperoleh 21,58% dari 113.462.414 suara yang syah. Menguasai 128 kursi dari keseluruhan 550 kursi.
Kenyataannya, Golkar sebagai partai papan atas pada pemilu 2004 hanya menjadi pendamping dan pengawal Megawati dan PDIP pada pilpres. Sementara Jusuf Kalla yang justru orang Golkar menjadi Wapres tanpa didukung partainya. Ketua DPP Golkar Akbar Tanjung yang berjasa menjaga Golkar saat reformasi, dua kali dinilai salah memposisikan Golkar akhirnya tersingkir dikalahkan JK pada Munas Golkar di Bali 2004. Pragmatisme politik jauh lebih mengemuka daripada urusan dedikasi politik kata pengamat politik.
Ini menunjukkan Golkar sebagai partai papan atas masih belum menguasai “ruh” sistem pilpres secara langsung. Strateginya tidak tepat. Golkar saat itu lebih dikuasai kepentingan ketua umum dan faksi pendukungnya. Realitanya Golkar hanya menjadi pengawal dan pendukung Mega, sementara Jusuf Kalla yang jelas-jelas anggota Golkar berada disisi lainnya. Pengurus DPP terlihat tidak berdaya. Ini disebut politik kepentingan pribadi, bukan kepentingan partai.
Kemudian Golkar menjadi partai besar yang gamang dan agak malu-malu, untung dibawa JK menjadi pendukung pemerintah. Golkar sepakat untuk membayar rasa malunya menjadikan JK ketua umum. Maka duduklah beberapa tokoh Golkar di Kabinet. Fakta-fakta diatas, secara khusus disebut sebagai data masa lalu (”the past”).
Fakta-fakta masa kini (“the present’)
Pada Rapat Pimpinan Nasional IV Golkar di Jakarta Convention Center tanggal dari 17 Oktober, wacana akan bersatunya kembali pasangan SBY-JK pada pilpres 2009 terlihat semakin mengkristal. SBY dengan santun berterima kasih atas kerjasama Golkar dan memuji JK terkesan mengharap kerjasama tetap berlanjiu. JK-pun memuji SBY dan mengatakan SBY pernah jadi Pembina Golkar di Yogya dan Sumatera Utara dari jalur A(ABRI) sebagai salah satu komponen pendukung Golkar. Timbul kesan untuk mengingatkan bahwa SBY bukan orang luar dari Golkar.
Kini di Golkar kembali muncul silang pendapat, sebagian mendukung rencana duet, sebagian tidak setuju. Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar Surya Paloh menyatakan Golkar harus mencalonkan presiden dan wakil presiden dari Golkar sendiri, apapun resikonya. Mereka merasa Golkar hebat, dan kuat, tidak rela sekedar hanya jadi body guard. Mereka ingin Golkar yang jadi “ndoronya”. Di sisi lain Ketua DPP Muladi mengatakan “kita sudah menutup konvensi, tapi SBY pengecualian”, signal yang menutup upaya pengurus.
Survei LSI pada September 2008 menyebutkan hasil survey bila pemilu dilaksanakan hari ini, Golkar akan berada pada posisi kedua dengan 18,5%, PDIP 18,6% ,Partai Demokrat 12,1%, PKS 6,3%, PKB 5,7%, PAN 2,4%, Gerindra 3,2%, Hanura 1,2%.
Data-data tersebut berkaitan dengan RUU Pilpres, yang belum juga disepakati. Golkar sementara masih bertahan diposisi 30% dari jumlah suara, atau 25% dari jumlah kursi. Hasil ini akan menaikkan nilai tawar Golkar terhadap Demokrat atau terhadap Bapak Pembinanya. Ujung-ujungnya nanti kelihatannya adalah urusan posisi di Kabinet.
Nah, bagaimana kedepan, (‘the future”)?. Golkar sejak didirikan pada tahun 1964 lebih dikenal dan berbau partainya tentara, disitu terdapat fraksi ABRI. Golkar dibesarkan oleh ABRI, dimana jalur A adalah jalur resmi ABRI, seperti yang dikatakan JK saat Rapim IV, SBY dahulu saat pangkat Kolonel adalah Pembina Golkar di Yogya dan Sumatera Utara dari jalur A.
Saat itu kepemimpinan dan manajemen di Golkar lebih mirip dengan kepemimpinan tentara, kodalnya jelas, loyalitas diutamakan. Pak Harto dan ABRI-lah yang berjasa membesarkan Golkar, sehingga jaringannya sangat kuat dan tertata. Walaupun Pak Harto dan menyusul ABRI akhirnya disingkirkan Golkar setelah reformasi, tetapi gaya kepemimpinannya tetap dipakai oleh para generasi penerus. Ini justru yang membuat Golkar survive tidak tenggelam saat dihantam gelombang reformasi pada tahun 1998-1999.
Dengan berubahnya sistem politik setelah reformasi, baik pada pemilu maupun pilpres 2004, gaya kepemimpinan Golkar justru menyebabkan kacaunya network Golkar hingga ke grass root. Pada tahun 2004 beberapa keputusan DPP (Ketua Umum) dinilai tidak realistis. Pengurus dianggap tidak menguasai dan tidak bisa membedakan karakter konstituen pemilu dengan pilpres. Ini yang menyebabkan Golkar terpuruk pada pilpres dan yang akhirnya menjatuhkan Akbar Tanjung.
Kini, kelihatannya gaya kepemimpinan JK tidak jauh berbeda, mungkin beberapa pengurus di DPP tetap menginginkan kontrol penuh. Perseteruan kasus Gubernur Maluku Utara yang menimbulkan reaksi keras Fraksinya, dengan mudah dikontrol dan diredam.
Pada Rapimnas IV kerawanan baru muncul, Golkar terbelah menjadi dua kubu, kelompok garis keras jelas-jelas mengatakan tidak setuju kalau Golkar hanya akan jadi Cawapres saja. Beberapa tokoh kuat Golkar menginginkan Golkar harus lebih berani bertarung sendiri, mereka tidak rela hanya jadi “korps leher”(istilah popular di TNI bagi orang kedua). Ini menunjukkan wacana duet belum disosialisasikan kepada tokoh-tokohnya maupun DPD.
Faksi realis pendukung JK kiranya berpendapat elektabilitas JK sebagai capres rendah, maka duet dengan SBY dinilai paling menguntungkan. Ini masalah Golkar paling krusial yang harus diatasi segera. Konflik dan pemberontakan pengurus bisa berimbas kepada perolehan hasil pemilu.
Ungkapan Presiden SBY yang tidak terlalu khawatir dengan RUU Pilpres walaupun dengan syarat 30% pun, mengindikasikan memang sudah terjadi kesepakatan dengan JK. Gabungan keduanya diperkirakan akan mampu memenuhi syarat minimal pada pilpres. Kalau toh terjadi kekurangan suara bisa didapat dari PKB yang kelihatannya sudah terbina saat menggempur Gus Dur.
Dengan demikian maka kedepan Golkar diperkirakan masih akan menjadi “body guard”-nya SBY dan Partai Demokrat. Antara Kevin Costner dan Whitney Houston telah terjalin hubungan mesra, kesamaan pengertian dan kesesuaian pandangan. Hanya kadang ungkapan pengurus Demokrat sering seperti Whitney Houston yang tidak mengenakkan pengawalnya yang handal dan hebat.
Jadi, akhir ceritanya tidak sama?. Yah, kita lihat saja nanti, apa Golkar terus jadi pengawal setia, atau seperti yang dikatakan Costner “good bye”. Masih cukup waktu untuk menghitung. Politik sering sulit diraba, karena hati orang juga sulit diraba. Yang pasti mereka akan mengukur semuanya dari kepentingan masing-masing, baik kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Mudah-mudahan saja diantaranya tetap ada yang masih memikirkan kepentingan bangsa, negara dan rakyat kita. Semoga.
19 Oktober 2008
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
punten, maaf, permisi...
bapak suka film yang dibintangi atau bintang filmnya nih???
ok pak!
saya suka kedua-duanya tu bunda, kevin costner saya suka sekali, juga whitney houston, do kisah bodyguardnya, terima kasih sudah berkunjungh ya, Tolong kalau mau lihat artikel2 saya yg baru di www.kompasiana.com dari blognya Koran Kompas, saya jd guest blogger. salam kenal.Pray
Posting Komentar