Oleh : Prayitno Ramelan
Ditayangkan di Kompasiana.com - 24 Oktober 2008.
KITA sepakat mengatakan bahwa NKRI sudah final. Artinya kita menghendaki Indonesia tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Setiap upaya memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa dikategorikan sebagai ancaman. Terminologi ancaman terhadap negara adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.
Klasifikasi dan bentuk ancaman terhadap tiap-tiap negara tidak selalu sama. Ancaman bisa berbentuk ancaman militer, teror, spionase, agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan, sabotase, perang saudara dan lain sebagainya.
Penulis beberapa waktu lalu membaca beberapa artikel menarik yang ditulis oleh B.Herry-Priyono, peneliti lepas, dosen sekolah tinggi filsafat ”Driyarkarya”, tentang masalah globalisasi dan neoliberalisme.
Setelah diteliti dan direnungkan lebih lanjut, pengaruh keduanya dinilai berpotensi besar menjadi bahaya dan ancaman yang paling berbahaya bagi bangsa Indonesia. Yang melatar belakangi pemikiran adalah keterkaitan antara pengaruh globalisasi dan neolib dengan pengambilan keputusan. Oleh karena itu diharapkan pada awalnya kita semua mau melihat masalah ini dengan pikiran yang jernih. Semoga perenungan sejenak ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Kini, sadar atau tidak sebenarnya banyak dari kita sudah dikendalikan dengan pola berfikir neoliberalisme. Menurut teori counter intelligence, liberalisme adalah faham yang bersumber dari Barat. Untuk memasuki ruang fikir dan mengendalikan sebuah negara dia tidak memerlukan sarana misalnya sebuah partai politik atau organisasi lainnya. Berbeda dengan faham komunisme yang ”pakem” untuk menguasai negara harus mempunyai partai politik. Dua kekuatan inilah yang akan terus bersaing didunia hingga kapanpun.
Globalisasi merasuk kedalam sendi kehidupan anak bangsa, memberikan inspirasi dan pengaruh, membentuk pribadi, norma dan budaya baru bagi bangsa peniru. Neoliberalisme menanamkan mitos kepada kita bahwa kapitalisme adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah kesulitan perekonomian. Neoliberalisme secara perlahan meracuni kita, berupa pemahaman dimana keuntungan berada diatas segalanya. Manusia diberi harapan, diarahkan, dipengaruhi, motifnya hanya mencari untung diatas dimensi lain kehidupan manusia.
Jadi, instink kita untuk kalkulasi untung rugi menurut seorang kapitalis berada diatas pertimbangan politik, pendidikan, bahkan berelasi dengan orang. Kondisi inilah yang saat ini sedang mengkolonisasi manusia Indonesia. Dimensi ekonomi dalam diri kita itu menguasai baik aspek biologis, aspek sosial, aspek kultural, aspek politik, pendidikan, aspek hukum dan sebagainya.
Kalau kita menghadapi sebuah program misalnya sebuah proyek bersama, seperti keinginan membangun sebuah bangsa, membentuk Indonesia, membentuk komunitas, kepentingan publik, lingkungan sehat, memecahkan kemiskinan. Segala proyek ini tidak mungkin dicapai secara sengaja. Banyak dari kita akan melihat dulu, apakah proyek ini menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan, kita tidak tahu apakah itu akan terjadi atau tidak.
Oleh sebab itu, lingkungan yang sehat, wajib belajar sembilan tahun tidak mungkin bisa lagi dikejar secara sengaja sebagai proyek kolektif. Mengapa? Kalau itu menguntungkan para kapitalis, ya bagus. Tapi kalau tidak terjadi, itu memang bukan tujuan. Tujuan kapitalis neoliberal adalah mencari laba, bukan menciptakan lingkungan yang sehat, bukan menyukseskan wajib belajar dimaksud.
Sementara, bagi para pemain global, mereka tidak perduli apakah Indonesia akan tetap terbentuk sebagai bangsa atau tidak. ”They don’t care”. Kalau terbentuk ya syukur, kalau tidak terbentuk, itu bukan tujuannya. Begitulah kira-kira. Itulah mengapa, bagi para neolib, suatu nasionalisme, patriotisme dan lainnya itu ”rubbish”. Proyek bersama untuk mengentaskan ini dan itu juga rubbish. Seandainyapun pembentukan bangsa Indonesia mereka anggap berguna, tujuannya tidak lain hanya supaya ada pangsa pasar.
Paradigma seperti itu jelas akan sangat mengerikan apabila sudah tertanam dibenak para penyelenggara negara, para elit politik dan para pelaku ekonomi. Bisa dibayangkan kalau orang sudah terkontaminasi. Kalau bekerja, dia hanya berpikir dagang, untung rugi. Pengabdiannya terhadap negara sangat tipis, atau bahkan sudah menguap. Amanah hanya sebuah istilah. Banyak yang menghalalkan cara. Orang itu hanya memikirkan dirinya sendiri, setia kepada kelompoknya, loyalitas kepada negara menjadi urutan yang kesekian. Inilah ancaman internal yang menghancurkan. Karena itu, pikiran korupsi , gratifikasi dan komisi menjadi urutan pertamanya. Korupsi sudah bukan budaya lagi tapi sudah menjadi komoditas. Ini terlihat jelas dari hasil pengungkapan KPK dan dalam beberapa persidangan kasus korupsi.
Para kapitalis dan neolib mendominasi sektor finansial dalam perekonomian dibandingkan sektor riil. Meningkatnya harga minyak dunia dan spekulasi keuangan di AS telah mengguncang ekonomi banyak negara. Jelas, rusaknya lembaga keuangan di Amerika bersumber dari keserakahan para kapitalis disana. Bagi negara emerging market dampaknya beragam. Semua ulah kapitalis dunia dan akibat yang ditimbulkannya sungguh menyulitkan Indonesia. Kebijakan yang kurang tepat, seketika akan dihukum oleh pasar. Akhirnya, langkah yang bersahabat dengan pasar dan kepentingan ekonomi yang akan menjadi pilihan politik para pengambil kebijakan, kadang terpaksa harus mengorbankan kepentingan masyarakat.
Dengan kondisi diatas, sulit rasanya menemukan jalan alternatif. Kita seolah digiring kedalam paradigma dan keyakinan bahwa inilah jalan terbaik yang ada saat ini. Dengan demikian, rute dan pilihan kebijakan yang ditempuh otoritas, tidak akan pernah terlepas dari jalur ”mainstream” yang dilakukan negara-negara adidaya.
Dengan demikian maka jalan menuju kedepan akan menjadi semakin sulit. Meski sulit, bukan berarti jalan itu tidak ada. Langkah pemberantasan korupsi merupakan salah satu terapi yang sangat tepat untuk mengatasi ancaman internal yaitu kerusakan mental.
Lihat saja, masih banyak senyum diantara mereka. Mereka tidak peduli lagi dengan nama baik, rasa malu bukan lagi barang yang tabu. Ini hanyalah sebuah puncak gunung es dilautan luas. Gunung sebenarnya yang besar, dan merupakan ancaman menyeramkan masih tersembunyi dibawah permukaan. Entah kapan para pemimpin kita akan dapat mengatasinya….karena banyak dari kita menyadarinyapun tidak. Sulit memang.
23 Oktober 2008.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar