Oleh : Prayitno Ramelan
2 Desember 2007
Kasus korupsi terdiri dari beberapa tingkatan, kecil, sedang dan besar. Selain korupsi yang kecil dan sedang, masyarakat berharap korupsi besar diutamakan dan dituntaskan, agar uang Negara yang jumlahnya sangat besar dapat segera kembali kenegara. Digunakan untuk mensejahterakan rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, perbaikan transportasi dan banyak lainnya.
Kalau ada indikasi korupsi, ada laporan, bukti, maunya segera ditangkap dan diadili. Jangankan untuk kasus yang besar atau sangat besar, untuk kasus korupsi yang sedang saja tidak semudah itu. Jalannya panjang dan berliku. Indonesia adalah Negara hukum, menganut faham demokrasi. Jadi tidak bisa main tangkap saja, harus sesuai dengan aturan, praduga tidak bersalah, harus ada proses yang jelas.
Dalam demokrasi modern, hak asasi manusia menjadi bagian penting yang harus dijamin dan dilindungi disuatu negara. Lihat saja sejarah Timor Timur, lepasnya wilayah tersebut awalnya dikarenakan isu pelanggaran hak asasi manusia yang disuarakan Negara Barat. Posisi Indonesia menjadi lemah, dibawah tekanan internasional mau tidak mau harus melaksanakan referendum dan kalah. Lepaslah Timor Timur yang telah memakan biaya dan jiwa prajurit yang sangat besar.
Hingga kini kasus korupsi yang sangat besar dan menonjol di Indonesia adalah kasus BLBI yang menyebabkan kerugian sangat besar. Kasus lain yang juga ramai dan banyak menimbulkan kerugian negara adalah illegal logging (pembalakan liar). Dalam kedua kasus ini terindikasi adanya tindak pidana korupsi yang besar. Kasus BLBI akhir-akhir ini banyak menuang protes dan kritikan, setelah tim 35 Kejaksaan Agung bekerja selama 100 hari lebih, hasilnya dinilai belum nyata
Para obligor yang terlibat belum ditetapkan sebagai tersangka, ini yang membuat pesimis beberapa aktivis anti korupsi, pengamat korupsi dan wakil rakyat di DPR. Demikian juga kasus pembalakan liar, menjadi topik yang ramai diperdebatkan dan dipertentangkan dengan divonis bebasnya terdakwa Adelin Lis. Secara terbuka Mabes Polri menyebutkan adanya intervensi Menteri Kehutanan dalam pengadilan kasus tersebut. Bisa dimengerti kalau Polri kesal, pengejaran tersangka memakan energi yang sangat besar, mengejar hingga ke Beijing, begitu tertangkap,diadili, dengan mudahnya bebas.
Ada apa sebenarnya ini?. Kini, hal yang tadinya tabu dibicarakan menjadi sangat transparan. Debat terbuka di media elektronik menjadi biasa. Sebagai orang Timur kita sebenarnya agak miris juga menontonnya. Kewibawaan seorang Menteri yang juga pemimpin disebuah Departemen kelihatannya bukan hal yang penting lagi di Republik ini, bisa dihina, dicerca, ditertawakan dan dipermalukan dimuka publik. Yah semua ini mungkin harus kita jalani, pasang surut dinamika dalam sebuah sistem demokrasi yang kita sepakati bersama yaitu demokrasi modern. Di Republik ini kini harus dilakukan pembahasan panjang untuk mencari suatu kata sepakat. Oleh karena itu kiranya perlu kita lihat yang ada dibelakang kasus korupsi besar yang menyusahkan ini.
Pada kasus BLBI, mereka yang terlibat BLBI adalah kelompok hegemoni elit dan beberapa pelindung baik dari kalangan politik maupun mereka yang masih aktif menjabat. Jadi bertapa kuatnya posisi mereka ini, kalau terdesak dengan mudah lari dan menghilang keluar negeri. Ada yang dengan senang hati mau menampung mereka beserta uang korupsinya tanpa mempermasalahkan yang dibawa itu uang halal atau haram. Dengan posisi diatas, maka bargaining power para pengemplang BLBI menjadi sangat kuat.
Barter dengan DCA
Pemerintah mengadakan pembicaraan kerjasama dengan Singapura untuk mengembalikan mereka yang terindikasi korupsi dan uang korupsi yang disimpan di Singapura. Menukar dengan Defence Cooperation Agreement, yaitu kerjasama pertahanan yang memberi akses AB Singapura menggunakan wilayah Indonesia sebagai tempat latihan perangnya. DCA banyak menuang protes baik dari masyarakat, elit politik, sesepuh TNI yang mengatakan Singapura jauh lebih diuntungkan. Memang harus dimengerti kalau nilai tawar Singapura jelas lebih kuat. Selama ini Singapura mengadakan latihan penerbang tempurnya di Australia dan Amerika Serikat (pesawat tempur F-16 Singapura ada yang dititipkan di AS).
Kerjasama pertahanan dengan kedua Negara tersebut selama ini tidak ada masalah apapun, hanya letaknya jauh, biaya jauh lebih mahal dibandingkan bila dilaksanakan didaerah kepulauan Natuna dan sekitarnya. Latihan diwilayah Indonesia secara geografis dekat dengan negaranya, selain lebih menghemat anggaran, dinilai lebih mendekati realita dalam sistem pertahanannya. Sementara Indonesia sangat tergantung dengan kebaikan hati dan niat baik Singapura, karena banyaknya uang haram yang disimpan di sana.
Dengan kondisi tersebut maka nilai tawar Singapura jelas lebih tinggi dan wajar mereka akan meminta akses yang lebih banyak lagi. Tanpa DCA pun latihan sistem pertahanan mereka tidak menjadi masalah, selama ini sudah ada kerjasama latihan bersama TNI. Singapura adalah Negara yang tidak besar tetapi pintar dan cerdik, pedagang. DCA hanya diprotes orang Indonesia saja yang merasa dirugikan, sementara orang Singapura terlihat tenang-tenang saja minum kopi di Orchard Road.
Mereka mempercayakan sepenuhnya segala sesuatunya kepada pemerintahnya yang terbukti mampu melindungi dan mensejahterakan mereka. Sementara disini semua ikut membahas, mengoreksi pemerintah, pada intinya agak kurang percaya. Hal yang serupa juga terjadi pada kasus illegal logging, jelas ada kaitan erat antara kelompok hegemoni elit dengan perlindungan politis dan Negara lain. Kelihatannya dengan pola Mafia dan Faksionalisme yang terorganisir, dengan kekayaan ratusan milyar bahkan trilyunan, tersangka pembalak hutan tidak sulit untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Kedua contoh kasus diatas haruslah dituntaskan, agar pemerintah dinilai masyarakat konsisten dan serius dalam memerangi korupsi. Selain itu beberapa kasus besar lain yang terindikasi korupsi juga menjadi pekerjaan rumah dalam sisa Pemerintahan SBY/JK 18 bulan kedepan. Kredibilitas pemerintah akan diuji, yang dihadapi adalah raksasa yang dibelakangnya ada raja raksasa. Berat memang!.
2 Desember 2007
Kasus korupsi terdiri dari beberapa tingkatan, kecil, sedang dan besar. Selain korupsi yang kecil dan sedang, masyarakat berharap korupsi besar diutamakan dan dituntaskan, agar uang Negara yang jumlahnya sangat besar dapat segera kembali kenegara. Digunakan untuk mensejahterakan rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, perbaikan transportasi dan banyak lainnya.
Kalau ada indikasi korupsi, ada laporan, bukti, maunya segera ditangkap dan diadili. Jangankan untuk kasus yang besar atau sangat besar, untuk kasus korupsi yang sedang saja tidak semudah itu. Jalannya panjang dan berliku. Indonesia adalah Negara hukum, menganut faham demokrasi. Jadi tidak bisa main tangkap saja, harus sesuai dengan aturan, praduga tidak bersalah, harus ada proses yang jelas.
Dalam demokrasi modern, hak asasi manusia menjadi bagian penting yang harus dijamin dan dilindungi disuatu negara. Lihat saja sejarah Timor Timur, lepasnya wilayah tersebut awalnya dikarenakan isu pelanggaran hak asasi manusia yang disuarakan Negara Barat. Posisi Indonesia menjadi lemah, dibawah tekanan internasional mau tidak mau harus melaksanakan referendum dan kalah. Lepaslah Timor Timur yang telah memakan biaya dan jiwa prajurit yang sangat besar.
Hingga kini kasus korupsi yang sangat besar dan menonjol di Indonesia adalah kasus BLBI yang menyebabkan kerugian sangat besar. Kasus lain yang juga ramai dan banyak menimbulkan kerugian negara adalah illegal logging (pembalakan liar). Dalam kedua kasus ini terindikasi adanya tindak pidana korupsi yang besar. Kasus BLBI akhir-akhir ini banyak menuang protes dan kritikan, setelah tim 35 Kejaksaan Agung bekerja selama 100 hari lebih, hasilnya dinilai belum nyata
Para obligor yang terlibat belum ditetapkan sebagai tersangka, ini yang membuat pesimis beberapa aktivis anti korupsi, pengamat korupsi dan wakil rakyat di DPR. Demikian juga kasus pembalakan liar, menjadi topik yang ramai diperdebatkan dan dipertentangkan dengan divonis bebasnya terdakwa Adelin Lis. Secara terbuka Mabes Polri menyebutkan adanya intervensi Menteri Kehutanan dalam pengadilan kasus tersebut. Bisa dimengerti kalau Polri kesal, pengejaran tersangka memakan energi yang sangat besar, mengejar hingga ke Beijing, begitu tertangkap,diadili, dengan mudahnya bebas.
Ada apa sebenarnya ini?. Kini, hal yang tadinya tabu dibicarakan menjadi sangat transparan. Debat terbuka di media elektronik menjadi biasa. Sebagai orang Timur kita sebenarnya agak miris juga menontonnya. Kewibawaan seorang Menteri yang juga pemimpin disebuah Departemen kelihatannya bukan hal yang penting lagi di Republik ini, bisa dihina, dicerca, ditertawakan dan dipermalukan dimuka publik. Yah semua ini mungkin harus kita jalani, pasang surut dinamika dalam sebuah sistem demokrasi yang kita sepakati bersama yaitu demokrasi modern. Di Republik ini kini harus dilakukan pembahasan panjang untuk mencari suatu kata sepakat. Oleh karena itu kiranya perlu kita lihat yang ada dibelakang kasus korupsi besar yang menyusahkan ini.
Pada kasus BLBI, mereka yang terlibat BLBI adalah kelompok hegemoni elit dan beberapa pelindung baik dari kalangan politik maupun mereka yang masih aktif menjabat. Jadi bertapa kuatnya posisi mereka ini, kalau terdesak dengan mudah lari dan menghilang keluar negeri. Ada yang dengan senang hati mau menampung mereka beserta uang korupsinya tanpa mempermasalahkan yang dibawa itu uang halal atau haram. Dengan posisi diatas, maka bargaining power para pengemplang BLBI menjadi sangat kuat.
Barter dengan DCA
Pemerintah mengadakan pembicaraan kerjasama dengan Singapura untuk mengembalikan mereka yang terindikasi korupsi dan uang korupsi yang disimpan di Singapura. Menukar dengan Defence Cooperation Agreement, yaitu kerjasama pertahanan yang memberi akses AB Singapura menggunakan wilayah Indonesia sebagai tempat latihan perangnya. DCA banyak menuang protes baik dari masyarakat, elit politik, sesepuh TNI yang mengatakan Singapura jauh lebih diuntungkan. Memang harus dimengerti kalau nilai tawar Singapura jelas lebih kuat. Selama ini Singapura mengadakan latihan penerbang tempurnya di Australia dan Amerika Serikat (pesawat tempur F-16 Singapura ada yang dititipkan di AS).
Kerjasama pertahanan dengan kedua Negara tersebut selama ini tidak ada masalah apapun, hanya letaknya jauh, biaya jauh lebih mahal dibandingkan bila dilaksanakan didaerah kepulauan Natuna dan sekitarnya. Latihan diwilayah Indonesia secara geografis dekat dengan negaranya, selain lebih menghemat anggaran, dinilai lebih mendekati realita dalam sistem pertahanannya. Sementara Indonesia sangat tergantung dengan kebaikan hati dan niat baik Singapura, karena banyaknya uang haram yang disimpan di sana.
Dengan kondisi tersebut maka nilai tawar Singapura jelas lebih tinggi dan wajar mereka akan meminta akses yang lebih banyak lagi. Tanpa DCA pun latihan sistem pertahanan mereka tidak menjadi masalah, selama ini sudah ada kerjasama latihan bersama TNI. Singapura adalah Negara yang tidak besar tetapi pintar dan cerdik, pedagang. DCA hanya diprotes orang Indonesia saja yang merasa dirugikan, sementara orang Singapura terlihat tenang-tenang saja minum kopi di Orchard Road.
Mereka mempercayakan sepenuhnya segala sesuatunya kepada pemerintahnya yang terbukti mampu melindungi dan mensejahterakan mereka. Sementara disini semua ikut membahas, mengoreksi pemerintah, pada intinya agak kurang percaya. Hal yang serupa juga terjadi pada kasus illegal logging, jelas ada kaitan erat antara kelompok hegemoni elit dengan perlindungan politis dan Negara lain. Kelihatannya dengan pola Mafia dan Faksionalisme yang terorganisir, dengan kekayaan ratusan milyar bahkan trilyunan, tersangka pembalak hutan tidak sulit untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Kedua contoh kasus diatas haruslah dituntaskan, agar pemerintah dinilai masyarakat konsisten dan serius dalam memerangi korupsi. Selain itu beberapa kasus besar lain yang terindikasi korupsi juga menjadi pekerjaan rumah dalam sisa Pemerintahan SBY/JK 18 bulan kedepan. Kredibilitas pemerintah akan diuji, yang dihadapi adalah raksasa yang dibelakangnya ada raja raksasa. Berat memang!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar