Oleh : Prayitno Ramelan
10 Oktober 2005
Tanggal 12 Oktober 2005 genap tiga tahun terjadinya serangan bom Bali yang dengan dahsyatnya meluluh lantakkan kawasan sekitar Sari Club dan Paddy’s Club. Bom seberat 1,5 ton yang diledakkan dalam mobil L-300 yang hancur bersama sopir Arnasan alias Jimi serta Isa alias Feri meledak bersama bom di Paddy’s Club menyebabkan korban 202 tewas dan 300 orang cidera. Sebagian besar korban WN Australia dan Negara lainnya. Setelah itu serangan bom bunuh diri terus terjadi dengan interval waktu antara 10-12 bulan, JW Marriot 5 Agustus 2003, 11 tewas dan 152 luka-luka.
10 Oktober 2005
Tanggal 12 Oktober 2005 genap tiga tahun terjadinya serangan bom Bali yang dengan dahsyatnya meluluh lantakkan kawasan sekitar Sari Club dan Paddy’s Club. Bom seberat 1,5 ton yang diledakkan dalam mobil L-300 yang hancur bersama sopir Arnasan alias Jimi serta Isa alias Feri meledak bersama bom di Paddy’s Club menyebabkan korban 202 tewas dan 300 orang cidera. Sebagian besar korban WN Australia dan Negara lainnya. Setelah itu serangan bom bunuh diri terus terjadi dengan interval waktu antara 10-12 bulan, JW Marriot 5 Agustus 2003, 11 tewas dan 152 luka-luka.
Beberapa bom yang kemudian terjadi dan diledakkan di Indonesia, Kedubes Australia Jakarta 9 September 2004, 5 tewas dan ratusan cidera, terakhir bom meledak pada tanggal 1 Oktober 2005 dikawasan wisata Kuta dan Jimbaran Bali dengan korban tewas 23, cidera 102. Serangan bom bunuh diri dengan pola yang sama tersebut kita katakan bersama sebagai sebuah teror yang dilakukan oleh teroris.
Secara umum teror adalah bentuk tindak kejahatan dengan kekerasan yang tidak mengindahkan norma-norma kemanusiaan dengan motif kriminal ataupun politik bertujuan untuk mempengaruhi emosi, kemauan, pandangan, sikap dan tingkah laku pihak lain, bertujuan untuk memenuhi tuntutannya. Lebih spesifik dikatakan oleh William Rodier seorang instruktur ahli dalam incident management, bahwa terorisme adalah suatu symbolic act, bagi teroris tujuan membinasakan sesuatu bukanlah tujuan utama dan biasanya hal itu tidak begitu penting, berapapun korban yang jatuh termasuk dirinya, yang dikehendaki adalah terjadinya suatu perubahan. Dari kedua pendapat tersebut, maka pada serangan teror bom bunuh diri yang terjadi sejak 2002-2005 di Indonesia, ada hal penting yang harus didalami yaitu apa yang ingin mereka pengaruhi dan apa tuntutan dan perubahan yang dikehendaki.
Secara eksplisit hal tersebut tidak pernah mereka sebutkan, para sosiolog, psikolog dan bahkan analis intelijen hingga saat ini secara ilmiah belum dapat menentukan motif dibalik serangan. Teror yang terjadi didunia ini dilakukan pada awalnya dengan pola pembunuhan perorangan, berkembang menjadi pembajakan pesawat, kemudian ditingkatkan dengan serangan bom, yang kemudian disukai para teroris adalah bom bunuh diri, kemajuan teroris yang paling mutakhir diterapkan justru di AS dimana menara kembar WTC runtuh dengan serangan tidak terduga yaitu bom “other explosives”.
Didunia pada saat ini yang sedang terjadi dimana-mana adalah suatu serangan teror, terutama ditujukan kepada AS dan sekutunya. Pada era perang dingin yang berhadapan sebagai musuh adalah Blok Barat (AS dengan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dengan sekutunya). Yang terjadi kemudian didunia setelah runtuhnya Blok Timur adalah peperangan antara Blok AS disatu sisi dengan Blok Teroris dilain sisi. Setelah serangan WTC, pada saat itu Menlu AS yang masih dijabat Colin Powell mengatakan bahwa pemerintah AS akan mengejar dan menghancurkan kekuatan dibalik serangan tersebut, yang disebutnya sebagai “along and bloody war”.
Sementara Presiden George Bush mengatakan sebagai perang pertama pada abad 21. Maka dimulailah gegap gempita saling menyerang antara kedua blok tadi, dimana AS dengan teknologi tinggi berhasil menghancurkan kamp-kamp pelatihan teroris di Afghanistan. Teroris membalas dengan bom bunuh diri yang mengancam warga negara maupun fasilitas AS diseluruh dunia. Di Indonesia yang terjadi adalah bom bunuh diri yang dilakukan di tempat-tempat yang diperkirakan warga asing berada, di Bali sasaran adalah Club-club dan restaurant tempat berkumpulnya orang asing (terutama AS, Australia ), Hotel JW Marriot Kuningan dikenal sebagai hotel milik AS, Kedubes Australia di Rasuna Said adalah sekutu AS.
Apakah benar serangan tersebut dilakukan oleh jaringan teroris internasional yang menyerang blok AS di Indonesia, belum ada suatu pernyataan pasti dari kelompok tersebut. Memang beberapa pelaku diketahui pernah mengikuti pelatihan teroris di Afghanistan, Pakistan ataupun Phillipina Selatan, sementara beberapa pelaku peledakan yang ikut tewas adalah mereka yang di ”spot”/direkrut di Indonesia. Melihat pengorbanan nyawa pelaku, teori perang terbuka kedua blok dapat saja dibenarkan, Wilayah Indonesia dengan segala kekurangan dan kerawanan dibidang “counter terrorist” hanyalah dipinjam sebagai medan perang.
Akan tetapi apakah pernah kita pikirkan bahwa serangan bom bunuh diri dengan sasaran asing di Indonesia tersebut hanyalah sebuah sasaran antara/sasaran penyesatan (desepsi), sementara sasaran ahir yang dituju bukan tidak mungkin sebenarnya justru Indonesia. Kenapa Indonesia menjadi sasaran, siapa yang dituju, apakah pemerintah yang berkuasa?. Didalam teori intelijen disebutkan yang abadi disuatu Negara adalah kepentingan nasional. Dinegara manapun teori ini berlaku. Indonesia apabila memiliki stabilitas politik, ekonomi, keamanan yang baik, cukup sandang pangan, rakyat bersatu padu, negara mana disekelilingnya yang tidak segan dan takut. Sumber daya manusianya yang lebih dari 220 juta, kekayaan alam yang demikian berlimpah apabila semuanya disinergikan dan tertata dengan apik, akan mendudukan Indonesia sebagai ancaman terhadap kepentingan Negara lain.
Oleh karena itu maka serangan terhadap Indonesia tidak ditujukan kepada siapa yang memerintah, yang dituju adalah menempatkan Indonesia didunia internasional sebagai Negara yang tidak aman, memiliki resiko keamanan yang tinggi. Akibatnya jelas akan besar, arus investasi tersendat, arus pariwisata terganggu, kesulitan ekonomi akan meningkat,dilanjutkan dengan krisis politik dan Indonesia akan menjadi Negara yang tidak pernah tenteram, selalu ribut dan ahirnya akan menjadi Negara yang lemah, kalau lemah, bukankah mudah didikte/dikendalikan oleh Negara lain.
Kalau memang benar bahwa tujuannya demikian, maka tindakan teror bom yang terjadi menjadi hal yang sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia. Proses yang mereka lakukan adalah “conditioning”/dalam dunia intelijen disebut sebagai operasi penggalangan. Didalam organisasi teroris, terdapat penyandang dana (principle agent), perencana dan pengendali (agent handler), pendukung (support agent) dan pelaksana lapangan (ecsecutor). Sementara ini beberapa yang sudah berhasil tertangkap oleh Polri dan sudah diajukan kepengadilan adalah para eksekutor (yang masih hidup) dan pendukung.
Dua tokoh kunci perencana dan pengendali (DR Azahari dan Noordin M Top) yang merupakan WN Malaysia sampai saat ini (tiga tahun) belum tertangkap. Siapakah kedua tokoh misterius tersebut, yang bukan orang Indonesia, mampu bersembunyi dimasyarakat kita, apakah keduanya bukan agen Intelijen asing yang sengaja dipenetrasikan untuk tujuan-tujuan seperti tersebut diatas. Apabila keduanya tertangkap kemungkinan baru diketahui siapa si “principle”. Dalam melakukan operasinya di Indonesia, kelompok ini terbukti mempunyai keahlian yang cukup tinggi, kekuatan mereka tidaklah besar, akan tetapi kemampuannya sangat tinggi, yaitu mampu membuat bom mampu melakukan desepsi dari kejaran aparat keamanan, mampu merekrut jaringan dan mampu memberikan dukungan.
Selain itu suatu hal yang sangat perlu diperhitungkan adalah kemampuan mereka mengkondisikan masyarakat pada umumnya, dimana serangan bom dibungkus didalam pesan “hanya ditujukan kepada orang dan fasilitas asing”. Pada ahirnya pola pikir masyarakat diarahkan bahwa mereka tidaklah terancam, teroris di Indonesia bukan musuh masyarakat, dan masyarakat pada ahirnya secara umum menjadi tidak perduli dengan perang mereka. Para teroris tidak ditempatkan sebagai musuh bersama, mereka hanya musuh dan menjadi tanggung jawab aparat keamanan untuk menangkapnya. Bagaimana dengan korban orang Indonesia yang jatuh, mereka mengarahkan agar masyarakat menyimpulkan “orang tersebut sedang sial kebetulan berada ditempat ledakan terjadi”.
Yang lebih parah lagi adalah seperti apa yang dikatakan oleh Psikolog Sartono Mukadis, Kompas 6 Oktober 2005 “Kalau mau jujur, banyak sebenarnya masyarakat yang bersimpati pada perbuatan mereka, ada yang terang-terangan, ada juga yang secara diam-diam, termasuk beberapa elit politik”. Jadi bagaimana kita mau cepat memberantas teroris kalau banyak masyarakat yang ternyata sudah terkondisikan. Dalam kondisi sedemikian berbahayanya, maka sudah saatnya pemerintah menanggulangi ancaman teror bom bunuh diri dengan jauh lebih serius, masyarakat dilibatkan untuk bertindak sebagai early warning dalam mengejar kedua tokoh teroris tersebut, yang terpenting dari semuanya adalah lebih mempersempit ruang gerak mereka.
Dengan tindakan pengejaran, penyelidikan, dan pengamanan yang dilakukan oleh Polri dan Badan Intelijen, kelihatannya ruang gerak mereka mulai terbatas. Bom yang terakhir di Bali beratnya relatif kecil dibandingkan 3 serangan terdahulu, hanya agar efeknya tetap besar mereka memilih meledakkan ditempat yang ramai pengunjung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka mulai sulit menghindari pemeriksaan aparat keamanan apabila membawa bom besar, atau persediaan bahan bom mereka mulai terbatas.
Untuk kemungkinan serangan mendatang, kelihatannya pola mereka dapat saja sama, menyerang warga dan fasilitas asing di Indonesia, baik di Bali, Jakarta, atau ditempat beradanya fasilitas asing di Indonesia, seperti Surabaya, Medan dan Makassar. Pola ini kelihatannya akan mereka pertahankan, karena bagaimanapun mereka menghindari dijadikan musuh masyarakat. Kalau benar analisa kedua bahwa sasaran akhirnya adalah bangsa Indonesia, maka sudah saatnya kita menghilangkan prasangka buruk sesama kita.
Kita yakin apabila Polri, BIN, TNI dan masyarakat bahu-membahu mengejar DR Azahari dan Noordin M Top, dalam waktu yang tidak lama keduanya akan dapat ditangkap, sehingga teka-teki bom bunuh diri ditujukan kepada siapa dapat benar-benar terjawab. Tidak perlu ada yang disalahkan atau saling menyalahkan diantara kita, yang sangat perlu kita sadari bersama adalah kita menghadapi suatu jaringan teroris yang dibentuk dan diorganisir khusus untuk wilayah Indonesia, setiap saat dapat saja meledakkan bom disekitar kita. Dapat kita yakini bahwa ada dalang dengan skenario besar dibelakangnya, yang menurut mantan Kabais TNI Marsdya TNI (Pur) Ian Santoso pola-pola operasi intelijen seperti ini akan sangat sulit dibongkar dan dibuktikan secara tuntas.
Secara umum teror adalah bentuk tindak kejahatan dengan kekerasan yang tidak mengindahkan norma-norma kemanusiaan dengan motif kriminal ataupun politik bertujuan untuk mempengaruhi emosi, kemauan, pandangan, sikap dan tingkah laku pihak lain, bertujuan untuk memenuhi tuntutannya. Lebih spesifik dikatakan oleh William Rodier seorang instruktur ahli dalam incident management, bahwa terorisme adalah suatu symbolic act, bagi teroris tujuan membinasakan sesuatu bukanlah tujuan utama dan biasanya hal itu tidak begitu penting, berapapun korban yang jatuh termasuk dirinya, yang dikehendaki adalah terjadinya suatu perubahan. Dari kedua pendapat tersebut, maka pada serangan teror bom bunuh diri yang terjadi sejak 2002-2005 di Indonesia, ada hal penting yang harus didalami yaitu apa yang ingin mereka pengaruhi dan apa tuntutan dan perubahan yang dikehendaki.
Secara eksplisit hal tersebut tidak pernah mereka sebutkan, para sosiolog, psikolog dan bahkan analis intelijen hingga saat ini secara ilmiah belum dapat menentukan motif dibalik serangan. Teror yang terjadi didunia ini dilakukan pada awalnya dengan pola pembunuhan perorangan, berkembang menjadi pembajakan pesawat, kemudian ditingkatkan dengan serangan bom, yang kemudian disukai para teroris adalah bom bunuh diri, kemajuan teroris yang paling mutakhir diterapkan justru di AS dimana menara kembar WTC runtuh dengan serangan tidak terduga yaitu bom “other explosives”.
Didunia pada saat ini yang sedang terjadi dimana-mana adalah suatu serangan teror, terutama ditujukan kepada AS dan sekutunya. Pada era perang dingin yang berhadapan sebagai musuh adalah Blok Barat (AS dengan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dengan sekutunya). Yang terjadi kemudian didunia setelah runtuhnya Blok Timur adalah peperangan antara Blok AS disatu sisi dengan Blok Teroris dilain sisi. Setelah serangan WTC, pada saat itu Menlu AS yang masih dijabat Colin Powell mengatakan bahwa pemerintah AS akan mengejar dan menghancurkan kekuatan dibalik serangan tersebut, yang disebutnya sebagai “along and bloody war”.
Sementara Presiden George Bush mengatakan sebagai perang pertama pada abad 21. Maka dimulailah gegap gempita saling menyerang antara kedua blok tadi, dimana AS dengan teknologi tinggi berhasil menghancurkan kamp-kamp pelatihan teroris di Afghanistan. Teroris membalas dengan bom bunuh diri yang mengancam warga negara maupun fasilitas AS diseluruh dunia. Di Indonesia yang terjadi adalah bom bunuh diri yang dilakukan di tempat-tempat yang diperkirakan warga asing berada, di Bali sasaran adalah Club-club dan restaurant tempat berkumpulnya orang asing (terutama AS, Australia ), Hotel JW Marriot Kuningan dikenal sebagai hotel milik AS, Kedubes Australia di Rasuna Said adalah sekutu AS.
Apakah benar serangan tersebut dilakukan oleh jaringan teroris internasional yang menyerang blok AS di Indonesia, belum ada suatu pernyataan pasti dari kelompok tersebut. Memang beberapa pelaku diketahui pernah mengikuti pelatihan teroris di Afghanistan, Pakistan ataupun Phillipina Selatan, sementara beberapa pelaku peledakan yang ikut tewas adalah mereka yang di ”spot”/direkrut di Indonesia. Melihat pengorbanan nyawa pelaku, teori perang terbuka kedua blok dapat saja dibenarkan, Wilayah Indonesia dengan segala kekurangan dan kerawanan dibidang “counter terrorist” hanyalah dipinjam sebagai medan perang.
Akan tetapi apakah pernah kita pikirkan bahwa serangan bom bunuh diri dengan sasaran asing di Indonesia tersebut hanyalah sebuah sasaran antara/sasaran penyesatan (desepsi), sementara sasaran ahir yang dituju bukan tidak mungkin sebenarnya justru Indonesia. Kenapa Indonesia menjadi sasaran, siapa yang dituju, apakah pemerintah yang berkuasa?. Didalam teori intelijen disebutkan yang abadi disuatu Negara adalah kepentingan nasional. Dinegara manapun teori ini berlaku. Indonesia apabila memiliki stabilitas politik, ekonomi, keamanan yang baik, cukup sandang pangan, rakyat bersatu padu, negara mana disekelilingnya yang tidak segan dan takut. Sumber daya manusianya yang lebih dari 220 juta, kekayaan alam yang demikian berlimpah apabila semuanya disinergikan dan tertata dengan apik, akan mendudukan Indonesia sebagai ancaman terhadap kepentingan Negara lain.
Oleh karena itu maka serangan terhadap Indonesia tidak ditujukan kepada siapa yang memerintah, yang dituju adalah menempatkan Indonesia didunia internasional sebagai Negara yang tidak aman, memiliki resiko keamanan yang tinggi. Akibatnya jelas akan besar, arus investasi tersendat, arus pariwisata terganggu, kesulitan ekonomi akan meningkat,dilanjutkan dengan krisis politik dan Indonesia akan menjadi Negara yang tidak pernah tenteram, selalu ribut dan ahirnya akan menjadi Negara yang lemah, kalau lemah, bukankah mudah didikte/dikendalikan oleh Negara lain.
Kalau memang benar bahwa tujuannya demikian, maka tindakan teror bom yang terjadi menjadi hal yang sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia. Proses yang mereka lakukan adalah “conditioning”/dalam dunia intelijen disebut sebagai operasi penggalangan. Didalam organisasi teroris, terdapat penyandang dana (principle agent), perencana dan pengendali (agent handler), pendukung (support agent) dan pelaksana lapangan (ecsecutor). Sementara ini beberapa yang sudah berhasil tertangkap oleh Polri dan sudah diajukan kepengadilan adalah para eksekutor (yang masih hidup) dan pendukung.
Dua tokoh kunci perencana dan pengendali (DR Azahari dan Noordin M Top) yang merupakan WN Malaysia sampai saat ini (tiga tahun) belum tertangkap. Siapakah kedua tokoh misterius tersebut, yang bukan orang Indonesia, mampu bersembunyi dimasyarakat kita, apakah keduanya bukan agen Intelijen asing yang sengaja dipenetrasikan untuk tujuan-tujuan seperti tersebut diatas. Apabila keduanya tertangkap kemungkinan baru diketahui siapa si “principle”. Dalam melakukan operasinya di Indonesia, kelompok ini terbukti mempunyai keahlian yang cukup tinggi, kekuatan mereka tidaklah besar, akan tetapi kemampuannya sangat tinggi, yaitu mampu membuat bom mampu melakukan desepsi dari kejaran aparat keamanan, mampu merekrut jaringan dan mampu memberikan dukungan.
Selain itu suatu hal yang sangat perlu diperhitungkan adalah kemampuan mereka mengkondisikan masyarakat pada umumnya, dimana serangan bom dibungkus didalam pesan “hanya ditujukan kepada orang dan fasilitas asing”. Pada ahirnya pola pikir masyarakat diarahkan bahwa mereka tidaklah terancam, teroris di Indonesia bukan musuh masyarakat, dan masyarakat pada ahirnya secara umum menjadi tidak perduli dengan perang mereka. Para teroris tidak ditempatkan sebagai musuh bersama, mereka hanya musuh dan menjadi tanggung jawab aparat keamanan untuk menangkapnya. Bagaimana dengan korban orang Indonesia yang jatuh, mereka mengarahkan agar masyarakat menyimpulkan “orang tersebut sedang sial kebetulan berada ditempat ledakan terjadi”.
Yang lebih parah lagi adalah seperti apa yang dikatakan oleh Psikolog Sartono Mukadis, Kompas 6 Oktober 2005 “Kalau mau jujur, banyak sebenarnya masyarakat yang bersimpati pada perbuatan mereka, ada yang terang-terangan, ada juga yang secara diam-diam, termasuk beberapa elit politik”. Jadi bagaimana kita mau cepat memberantas teroris kalau banyak masyarakat yang ternyata sudah terkondisikan. Dalam kondisi sedemikian berbahayanya, maka sudah saatnya pemerintah menanggulangi ancaman teror bom bunuh diri dengan jauh lebih serius, masyarakat dilibatkan untuk bertindak sebagai early warning dalam mengejar kedua tokoh teroris tersebut, yang terpenting dari semuanya adalah lebih mempersempit ruang gerak mereka.
Dengan tindakan pengejaran, penyelidikan, dan pengamanan yang dilakukan oleh Polri dan Badan Intelijen, kelihatannya ruang gerak mereka mulai terbatas. Bom yang terakhir di Bali beratnya relatif kecil dibandingkan 3 serangan terdahulu, hanya agar efeknya tetap besar mereka memilih meledakkan ditempat yang ramai pengunjung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa mereka mulai sulit menghindari pemeriksaan aparat keamanan apabila membawa bom besar, atau persediaan bahan bom mereka mulai terbatas.
Untuk kemungkinan serangan mendatang, kelihatannya pola mereka dapat saja sama, menyerang warga dan fasilitas asing di Indonesia, baik di Bali, Jakarta, atau ditempat beradanya fasilitas asing di Indonesia, seperti Surabaya, Medan dan Makassar. Pola ini kelihatannya akan mereka pertahankan, karena bagaimanapun mereka menghindari dijadikan musuh masyarakat. Kalau benar analisa kedua bahwa sasaran akhirnya adalah bangsa Indonesia, maka sudah saatnya kita menghilangkan prasangka buruk sesama kita.
Kita yakin apabila Polri, BIN, TNI dan masyarakat bahu-membahu mengejar DR Azahari dan Noordin M Top, dalam waktu yang tidak lama keduanya akan dapat ditangkap, sehingga teka-teki bom bunuh diri ditujukan kepada siapa dapat benar-benar terjawab. Tidak perlu ada yang disalahkan atau saling menyalahkan diantara kita, yang sangat perlu kita sadari bersama adalah kita menghadapi suatu jaringan teroris yang dibentuk dan diorganisir khusus untuk wilayah Indonesia, setiap saat dapat saja meledakkan bom disekitar kita. Dapat kita yakini bahwa ada dalang dengan skenario besar dibelakangnya, yang menurut mantan Kabais TNI Marsdya TNI (Pur) Ian Santoso pola-pola operasi intelijen seperti ini akan sangat sulit dibongkar dan dibuktikan secara tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar