Senin, 01 September 2008

RESIKO SEORANG PIMPINAN NASIONAL

Oleh : Prayitno Ramelan
21 Agustus 2008


Enakkah menjadi seorang pimpinan nasional? Rata-rata orang menilainya sangat enak. Berkuasa, bergaji besar, hidup terjamin, dikawal, tidak pernah kena macet, dihormati, kemana-mana menggunakan mobil dan pesawat khusus. Pokoknya sungguh sangat enak. Jangankan yang bersangkutan, istri, anak, orang tua, mertua, saudaranya, semuanya ikut dihormati. Bahkan sopir dan pembantunyapun ikut pula disegani. Itu sisi enaknya.

Ternyata, selain sisi enak tersebut ada juga sisi tidak enaknya. Sisi tidak enak bahkan bisa berbentuk ancaman yang kadang sama sekali tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Ini yang disebut sebagai resiko jabatan. Gambaran resiko ini kiranya yang perlu diketahui dan direnungkan oleh seseorang sebelum memutuskan memberanikan diri untuk maju pada pilpres 2009. Kini, menjelang pemilu dan pilpres 2009, terlihat beberapa orang yang berambisi untuk menjadi pimpinan nasional (”Presiden”) mulai mempopularkan diri dengan segala cara, dan jelas dengan ongkos yang tidak sedikit.

Suatu berita mengejutkan datang dari Australia, kelompok aksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menuding mantan Perdana Menteri Australia John Howard terlibat kejahatan perang karena mengirim tentara Australia bergabung dalam pasukan koalisi pimpinan AS saat menginvasi Irak pada Maret 2003. Senator Lyn Allison dari Partai Demokrat membenarkan tuduhan tersebut dan mengatakan supaya semua orang mempertanggung jawabkan perbuatannya. John Howard sebagai Perdana Menteri harus bertanggung jawab karena saat itu dia menjadi eksekutif pemerintahan. PM Kevin Rudd juga menyalahkan kebijakan John Howard yang dikatakannya terlalu menurut kepada sekutunya AS. Bahkan kini PM Rudd telah menarik pasukan Australia dari Irak.

Dapat dibayangkan seorang John Howard yang pada saat menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri demikian tegarnya, bersemangat, dada terbusung, selalu mengangkat derajat Australia. Tiba-tiba setelah lengser harus menghadapi tuntutan sebagai penjahat perang di negaranya. Penggalan kisah John Howard ini hanyalah salah satu isu terhangat dan contoh resiko yang harus dihadapi pimpinan nasional sebuah negara.

Contoh lainnya, Saddam Husein yang menjabat sebagai Presiden Irak sejak 1979, kurang apa jasanya kepada rakyat Irak. Upayanya dalam memberantas buta huruf, membangun banyak sekolah, infrastruktur, rumah rakyat, rumah sakit banyak dipuji. Irak mendapat penghargaan dari UNESCO karena dinilai memiliki sistem pemeliharaan kesehatan masyarakat terbaik di Timur Tengah. Tetapi, dengan tindakannya yang kejam, memerintahkan penyerangan ke Iran dan invasi ke Kuwait, keberaniannya menentang AS, menyebabkan pada tahun 2003 Irak diserang oleh pasukan koalisi pimpinan AS. Setelah mengalami kekalahan, Saddam bersembunyi, dan ahirnya tertangkap. Dengan penampilannya yang tua, letih, lusuh, Saddam Husein yang dahulunya demikian gagah perkasa ahirnya berahir tragis digantung rakyatnya.

Nasib buruk juga menimpa Zulfikar Ali Bhutto, yang menjadi Presiden Pakistan pada 1971, Perdana Menteri 1973. Pada tahun 1977 Ali Bhutto walau menang telak pada pemilu, tetapi situasi dan kondisi politik Pakistan justru memburuk. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Zia Ul Haq menetapkan darurat militer. Zulfikar Ali Bhuto ditahan dengan tuduhan KKN dan pelanggaran HAM. Kebijakan sosialisnya dituduh sebagai penyebab hancurnya perekonomian Pakistan. Pada bulan Maret 1978 Ali Bhutto dinyatakan bersalah dan dihukum gantung.

Nasib buruk juga menimpa Zulfikar Ali Bhutto, yang menjadi Presiden Pakistan pada 1971, Perdana Menteri 1973. Pada tahun 1977 Ali Bhutto walau menang telak pada pemilu, tetapi situasi dan kondisi politik Pakistan justru memburuk. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Zia Ul Haq menetapkan darurat militer. Zulfikar Ali Bhuto ditahan dengan tuduhan KKN dan pelanggaran HAM. Kebijakan sosialisnya dituduh sebagai penyebab hancurnya perekonomian Pakistan. Pada bulan Maret 1978 Ali Bhutto dinyatakan bersalah dan dihukum gantung.

Tindakannya yang keras dalam menumpas demonstran mengakibatkan 4000 orang meninggal, yang justru kemudian menyulut demo menjadi lebih besar. Sebagian personel Angkatan Bersenjata akhirnya memihak rakyat. Ceausescu dan istrinya kemudian melarikan diri setelah membunuh Menhan Jenderal Vasile Milea karena menolak perintah menembak rakyat. Keduanya ahirnya ditangkap polisi, diadili dan divonis mati dengan ditembak dikepalanya

Selain beberapa kisah diatas, masih banyak kisah pimpinan nasional yang pada masa atau ahir jabatannya mengalami penderitaan dan juga dihukum mati. Presiden Republik Komunis Demokratik Afghanistan Muhammad Najibullah, dituduh sebagai arsitek pembunuhan ribuan warga Afghanistan sebelum menjadi Presiden. Najibullah ditangkap pasukan Taliban, disiksa, ditembak, mayatnya diseret mobil dan digantung dipinggir jalan, diludahi rakyatnya. Presiden J.F. Kennedy berahir tragis meninggal karena ditembak sniper disamping istrinya. Keluarga presiden Marcos harus mengungsi ke AS karena dikejar rakyatnya.

Di Indonesia, saat Alm Bung Karno berkuasa, siapa yang tidak berlomba mendekat kepadanya, tapi saat jatuh, semua berlomba menjauh. Ironis memang nasib Bung Karno yang berjasa meletakkan sendi-sendi kenegaraan, tapi saat kejatuhannya terbaring lemah, sakit dan terisolir hingga ajal menjemput. Demikian juga Alm Pak Harto saat berkuasa, siapa yang tidak mendekat. Tetapi saat kritis kredibilitasnya hilang dimata rakyat, para pembantu terdekatnya justru yang pertama meletakkan jabatan dan meninggalkannya. Beliau terus dituntut dan kasusnya tidak kunjung selesai hingga akhir hayatnya. Keluarganya terus dipermasalahkan. Tetapi para pembantu yang meninggalkannya aman-aman saja hingga kini, tidak ada tuntutan apapun. Semua menjadi tanggung jawab Pak Harto

Nah, bagaimana kini dengan Presiden SBY? Survei Reform Institute bulan Juni-Juli 2008 menghasilkan data, Megawati memperoleh 19,4 %, SBY 19.07%, dimana dibandingkan survei bulan Februari-Maret 2008, posisi Mega naik 2,6% dari 16,8% dan posisi SBY turun 5,73% dari 24,8%. Sementara kandidat lainnya, Sri Sultan HB-X mendapat 7,12%, Amien Rais (6,14%), Prabowo (3,81%), Gus Dur (3,3%), Wiranto (3,05%), Jusuf Kalla (2,5%), Sutiyoso (1,57%). Walaupun masih cukup waktu untuk memperbaiki citranya, penurunan popularitas SBY terus berlanjut sejak tiga tahun terahir. Walaupun peluang untuk kembali menjadi presiden belum hilang, apakah para “inner circle” sudah menghitung kemungkinan terburuk bila terjadi pergantian pimpinan nasional

Adakah kemungkinan terjadinya penuntutan kepada beliau? Pada era demokrasi model kini, semua sangat mungkin saja terjadi. Kini mencari kesalahan seseorang semudah kita membalikkan telapak tangan. Dengan kemajuan teknologi, sulit sebuah rahasia disembunyikan. Selain itu kini juga sulit mencari orang yang setia, kesetiaan lebih banyak hanya kepada seseorang saat masih berkuasa, begitu sang pemimpin jatuh maka banyak yang berlomba menyelamatkan diri. Ini yang harus diwaspadai dan dihitung. Apakah mereka tetap akan setia menjadi benteng beliau?Atau justru “escape”, cepat-cepat menyelamatkan diri seperti yang terjadi pada era Bung Karno dan Pak Harto. Hal yang wajar didunia politik, yang berfikir dengan dasar kepentingan belaka

Semua yang dilakukan oleh Presiden SBY dalam kewenangannya selama menjadi Presiden kita tahu telah dipikirkan dan diputuskannya demi kebaikan negara. Tapi perlu diingat, keputusan yang terbaik yang dikatakannya untuk kepentingan negara belum tentu dinilai baik oleh masyarakat dan mereka yang terkena dampaknya. Contohnya masalah kenaikan harga BBM. Kebijaksanaan tersebut menumbuhkan rasa antipati a sebagian rakyat kepada SBY, belum lagi lawan-lawan politiknya. Titik rawannya disini, sehingga ada kemungkinan munculnya tuntutan rakyat dikemudian hari. Kini pemimpin di Indonesia harus siap, berani dan ikhlas dengan pemikiran rela berkorban.

Mantan Panglima ABRI Wiranto baru saja bisa bernafas lega dalam berkiprah didunia politik setelah terdapat kata sepakat antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste tentang penyelesaian tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur. Padahal tuduhan pelanggaran HAM terjadi saat tuntutan tugas mengharuskannya melaksanakan tindakan untuk negara dan bangsanya. Itulah sulitnya di Indonesia masa kini. Dengan kata lain nasib seorang mantan pimpinan atau pimpinan nasional apabila menghadapi masalah, akan ditentukan juga oleh pimpinan nasional yang sedang menjabat. Seperti nasib Mantan Panglima ABRI Wiranto telah diselamatkan oleh kebijakan pemerintahan SBY.

Jadi, kesimpulannya, bagi mereka yang akan maju menjadi kandidat Presiden harus benar-benar siap mental, menimbang karakter, kepribadiannya serta niatnya. Apakah benar siap lahir bathin dan mampu untuk mengemban amanah sebagai pimpinan nasional dinegara yang sangat dinamis dan bebas ini, melebihi kebebasan Amerika Serikat yang sistemnya kini kita tiru. Dia harus mendapat dukungan dan perlindungan sebuah Partai politik atau koalisi yang kuat. Tanpa mengukur diri, dan hanya merasa dirinya pantas dan bisa, contoh menyeramkan diatas yang disebut sebagai resiko seorang pimpinan nasional sangat mungkin menghampiri dan akan menjadi mimpi buruk hingga diakhir hayatnya. Mari kita berfikir dan berhitung lagi.

Tidak ada komentar: