Oleh : Prayitno Ramelan, Analis Lembaga Indset
Sumber : SINDO - 22/05/2008
Potret Indonesia beberapa waktu terakhir adalah gambaran sebuah bangsa yang sedang dirundung kemalangan dan kesulitan. Berita paling panas adalah rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Katanya, guna menyelamatkan APBN,terpaksa pemerintah harus menaikkan harga salah satu kebutuhan vital itu. Kalau tidak, negara ini akan collaps. Sebagai dampak dari pemberitaan tentang rencana kebijakan itu, harga-harga pun mulai merambat naik. Kemudian muncullah demonstrasi di mana-mana sebagai ekses pengumuman tadi. Bentrok terjadi antara polisi dengan demonstran. Maklum ada pendemo yang terlalu bersemangat hingga membuat polisi marah.
Yang mengherankan, masih ada pandangan negatif pejabat kepada para pendemo tersebut. Banyak yang lupa bahwa zaman sudah berubah, sekarang zaman demokrasi.Demokrasi kebebasan, bahkan ada yang menyebut demokrasi liberal.Apa pun namanya, rakyat tidak mau seenaknya diperlakukan karena negara ini kepunyaan bersama. Bukan kepunyaan mereka, para elite. Mereka yang duduk di pemerintahan suka lupa bahwa hanya sementara menduduki kursi yang empuk itu.
Hebat dengan mobil sedan yang mulus, gaji besar, dikawal dengan jip pakai sirine.Bahkan ada yang ke hajatan pengantin pun dikawal,tamu lainnya disuruh minggir. Lupa bahwa yang menggaji mereka negara dan uangnya sebagian dari rakyat juga. Padahal sebenarnya mereka juga rakyat biasa yang kebetulan saja karena nasibnya baik menjabat sebagai menteri atau apalah.
Itulah orang kita, kalau sudah menjabat, rasanya seumur hidup dia akan memegang jabatan itu.Banyak yang kemudian berubah, lupa kepada teman,sangat sulit ditemui. Katanya harus melalui prosedur protokoler dan sekuriti. Kemudian, tiba-tiba ada pertandingan bulu tangkis di negeri ini, memperebutkan Piala Thomas dan Uber.Rakyat Jakarta dan sekitarnya yang mewakili rakyat Indonesia, tuamuda, besar-kecil, artis, pejabat, orang kaya,orang miskin bersatu padu membela tim Indonesia.
Mereka rela antre dari subuh untuk mendapat tiket menonton pertandingan tim kebanggaannya yang akan berlaga pada sore hari. Untuk apa? Mereka yang berkumpul di Istora Senayan bersatu padu membela sesuatu yang bisa mereka banggakan. Bergemuruh, bersemangat, dengan teriakan dan pekikan ”Indonesia!” Sejenak mereka lupa polemik rencana kenaikan harga BBM, lupa demonstrasi, lupa kenaikan harga sembako,lupa harus membayar sekolah, lupa kesulitan hidup.
Penonton yang ada di rumah pun tidak terasa emosinya terbawa dengan semangat yang menggelora itu. Lalu yang terjadi, kedua tim kebanggaan mereka kalah. Biasanya di sini kalau tim yang dibela kalah akan timbul kekacauan. Motor rusak dibakar, kaca-kaca toko dipecah,atau mobil dilempari batu.Tapi ini hal itu tidak terjadi.Mereka mengatakan rela dan menerima kekalahan timnya.
Semuanya menyambut tim dengan semangat dan kebanggaan.Tidak perlu jadi juara,yang penting pemuda dan pemudi itu dinilai sudah menunjukkan semangat luar biasa membela Merah Putih, membela nama bangsa dan negara yang mereka cintai bersama. Terus kita patut merenung lebih dari situasi ini.Yang dapat dilihat di sini adalah gabungan antara kerinduan membela sesuatu yang sudah lama mereka idamkan dan gejolak semangat juang yang ada di dalam dada.
Semangat itu tidak hanya ada di dada orang tertentu. Semangat itu ada di dada suporter tua, muda, dewasa,laki, perempuan. Semangat membela Merah Putih! Setelah perhelatan akbar ini selesai, apakah semangat itu masih besar? Kelihatannya semangat juang tadi kembali akan meredup. Mereka akan kembali kepada rutinitas kehidupan, kembali harus berjuang hidup, menjalani tantangan rencana kenaikan BBM,kelangkaan gas,kenaikan harga sembako.
Mereka tentu akan mencari lagi siapa dan apa sebenarnya sosok idola yang akan mereka dukung dan siapa yang akan didudukkan pada pihak yang berseberangan. Jelas, sementara ini pemerintah dengan kebijakan BBM berada di sisi lain dari rakyat. Pemerintah dinilai hanya memikirkan kesuksesannya menjaga sesuatu yang disebut penyelamatan APBN.Rakyat pun tidak tahu apa itu.
Pemerintah justru dinilai tidak memikirkan kewajibannya membela rakyat yang semakin sulit ini. Kenapa itu harus terjadi? Di Istora pada final Uber Cup tampak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahumembahu bersama rakyatnya dengan semangat yang menggelora mendukung tim yang berjuang demi negaranya.Walau belum berhasil karena memang lawan lebih kuat, semua menerima dengan ikhlas. Presiden ikhlas, rakyat ikhlas menghadapi kekalahan tim kita.
Nah, kenapa semangat kebersamaan atau semangat juang itu tidak diteruskan? Kini yang terjadi sang Presiden justru terus didemonstrasi oleh rakyatnya, baik dari mahasiswa maupun ibu-ibu.Apakah rencana kenaikan BBM ini sudah dipikirkan akibatnya? Kenapa pemerintah bersikukuh menerapkan kebijakannya yang sangat tidak populer dan bertentangan dengan kehendak rakyat? Apakah benar tidak ada jalan lain? Pemerintah patut untuk bisa membaca bahwa semangat juang bangsa ini masih demikian besarnya. Pemerintah yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yodhoyono harusnya mendengar keluhan rakyat dan bersatu dengan rakyat itu.
Bukan justru berada di sisi yang berseberangan.Kalau penolakan rakyat masih bersifat sporadis memang bisa diterima.Namun jika penolakan sudah meluas, melibatkan tokoh-tokoh nasional, tokohtokoh organisasi agama,tokoh partai, elemen mahasiswa, bahkan organisasi massa, maka potensi gejolak peretak kesatuan akan muncul. Jadi, inilah saat yang sangat tepat bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk mengambil keputusan merakyat.
Bersama-sama rakyat mengatasi kesulitan negara dan juga kesulitan rakyat yang memilihnya.Apa pun risikonya harus diterima bersama seperti kekalahan di Istora itu. Yang perlu diingat,kedua presiden terdahulu tak bisa mempertahankan tampuk kekuasaannya karena keputusan yang diambilnya kurang tepat. Mari Bapak Presiden berjuang bersama rakyat seperti di Istora itu! Rakyat akan mencintai pemimpin dan menjaganya selama pemimpin juga mencintai rakyat dan menjaganya.(*)
Kamis, 11 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar