Senin, 01 September 2008

HARGA SEBUAH KEBEBASAN

Oleh : Prayitno Ramelan
Jakarta, 2 November 2007

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengalami pasang surut penerapan Demokrasi. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi dalam empat masa yaitu, masa Republik Indonesia I (Demokrasi Parlementer), masa Republik Indonesia II (Demokrasi Terpimpin), masa Republik Indonesia III (Demokrasi Pancasila/Demokrasi Konstitusionil) dan masa Republik Indonesia IV (Reformasi Demokrasi).

Masalah yang dihadapi adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka-ragam pola budayanya dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi, membina kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah berkisar pada menyusun suatu sistim politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional dengan partisipasi rakyat, seraya menghindarkan timbulnya diktatur, baik bersifat perorangan, partai atau militer (Prof Miriam Budiardjo).

Dengan jatuhnya pemerintahan Pak Harto, mulai tahun 1998 menggelindinglah keinginan kuat dilakukannya reformasi/perubahan termasuk reformasi penerapan nilai-nilai Demokrasi. Maka mulai saat itulah kita kembali memasuki masa transisi. Sistemnya sama hanya lebih murni dalam pelaksanaan, dapat dikatakan inilah masa demokrasi liberal. Kekuasaan ditangan rakyat, kekuasaan pemerintah dibatasi agar tidak sewenang-wenang.

Oleh karenanya mulailah timbul masalah sedikit demi sedikit. Hal serupa juga terjadi dinegara manapun dalam masa transisi. Transisi terjadi dibidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hak asasi manusia dan banyak lainnya. Babak baru dimulai sejak tahun 2004 dengan pelaksanaan pemilu dan pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung. Oleh karenanya pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi. Demokrasi yang menurut asal kata berarti ”rakyat berkuasa” atau government or rule by the people.

Asal kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law adalah perlindungan konstitusionil (menjamin hak-hak individu), pemilu yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan dan badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Dibelakang itu semua, kita harus tahu bahwa sebenarnya negara-negara Barat selalu berusaha membujuk masyarakat lain untuk mengadopsi ide-ide Barat tentang demokrasi dan hak asasi. Pemerintahan demokratis yang modern berasal dari Barat.

Ketika berkembang dimasyarakat non Barat, hal ini biasanya merupakan produk dari kolonialisme atau pemaksaan dari Barat (Samuel P. Hutington). Dengan adanya reformasi demokrasi maka masyarakat mulai sadar bahwa kekuasaan ditangan rakyat. Disinilah mulai timbul masalah, kebebasan ditiupkan kepada masyarakat kita yang mayoritas pendidikannya belum memadai untuk suatu tatanan demokrasi seperti yang dimaksud para elit.

Sangat mudah saat ini melihat potret kebebasan. Diblokirnya jalan tol, beberapa proyek dirusak, melakukan sweeping, menduduki kantor pemerintah, menyerang aparat keamanan, menyerbu kantor polisi karena ada kawannya yang ditangkap dan segala macam bentuk kebebasan lainnya yang kadang kita semua heran dan tidak mengerti, seperti membakar tempatnya bekerja. Suatu yang fatal adalah dirusak dan dibakarnya sebuah mesjid karena jamaahnya dianggap tidak sefaham. Mesjid yang selama ini sangat dihormati sebagai tempat suci umat Islam dalam beribadah kepada Allah. Yang salah orang atau mesjidnya, mereka tidak perduli, pokoknya dihancurkan.

Dilain sisi banyak pejabat yang tidak tenang bekerja, salah sedikit didemo, diprotes, kantornya diserang, diduduki. Masyarakat tidak pusing, siapapun bisa didemo, bahkan ada yang mulai berani merebut senjata api aparat keamanan. Semuanya ini terjadi karena sebenarnya masyarakat bawah yang tadinya dikekang kemudian dibebaskan karena sistem menghendaki demikian, mereka memutuskan dan berbuat tanpa arahan dan pengetahuan politik yang memadai. Kebanyakan orang tidak mau berbuat sesuatu untuk memperbaiki, takut dibilang tidak reformis.

Dilain sisi rakyat juga tidak salah karena kurang faham saja dan tidak pernah mendapat pendidikan politik. Ini tanggung jawab siapa? Pemerintah atau Partai Politik?. Sekarang kita lihat bahayanya. Masyarakat berani berbuat dan bertindak anarkhis karena melihat contoh. Mereka melihat suatu kejadian ditempat lain terutama dari media elektronik yang sudah dapat menjangkau sampai kepedesaan, bagaimana kebebasan demokrasi membenarkan tindakannya. Semakin hari semakin banyak contoh kebebasan.

Mereka juga melihat contoh dari negara lain seperti kejadian di Myanmar, Pakistan, Bangladesh, Korea Selatan, rakyat bersatu padu dan tidak takut menentang sesuatu yang tidak disenanginya. Melibas apapun yang menjadi penghalangnya. Dalam kasus pilkada dibeberapa daerah, potensi keributan kerap mewarnai hasil pilkada. Apabila jagonya kalah, maka pendukungnya tidak puas lalu timbul keributan.

Kenapa pada saat pemilu dan pilpres 2004 keadaan aman-aman saja?. Pada saat itu rakyat belum sadar akan sebuah arti kebebasan, belum mempunyai contoh. Dengan berjalannya waktu, sampai tahun 2009 masih tersisa waktu tidak sampi dua tahun lagi. Contoh kasus akan semakin banyak, akan semakin piawailah penerapan kebebasan. Pemilu 2009 adalah justru ujian bagi bangsa Indonesia yang sepakat mereformasi. Keributan Pilkada hanyalah tingkat sektoral, sehingga mudah teratasi.

Tetapi dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden, yang akan terlibat dalam pemilu dan pilpres dapat mencapai jumlah 150 juta jiwa. Apabila kebebasan kini tidak didudukkan pada porsi yang benar, masyarakat/konstituen tidak diberi penjelasan dan pendidikan politik yang benar, kita tidak dapat membayangkan bila terjadi benturan dan gesekan tingkat bawah dengan skala nasional. Perlu diingat bersama kalau masyarakat kita masih sangat rentan dan mudah dikondisikan menjadi fanatis dan anarkhis.

Seperti kasus G30S/PKI, berapa juta jiwa yang menjadi korban, juga kasus Poso, kasus Ambon, kasus Kalimantan, korban sudah banyak yang berjatuhan. Pada dasarnya konflik tingkat bawah adalah sesuatu hal yang cukup menakutkan, terlebih apabila unsur fanatisme dan frustrasi menjadi satu. Selain itu yang juga perlu disadari ada negara dan kelompok tertentu yang tidak ingin Indonesia menjadi negara yang kuat dan mapan. Walau tidak sampai dijadikan sebuah negara gagal, Indonesia akan selalu diusahakan jadi negara yang lemah. Negara yang lemah mudah disetir, ditipu, dikendalikan, mudah dirampok dan sumber daya alam diangkut dengan harga murah.

Kita akan selalu disibukkan untuk menyelesaikan masalah internal dengan keributan yang silih berganti. Intinya dibuat tidak pernah tenang sehingga tidak dapat berkonsentrasi dalam membangun bangsa dan negara ini. Masalah kebebasan juga dapat menjadi sasaran, diciptakan sedikit demi sedikit mulai 2005, kondisi masyarakat dimatangkan dan akan terakumulasi pada tahun 2009, karena saat itulah terjadi persaingan tingkat nasional.

Kalau terjadi gesekan, benturan dan konflik, yang rugi kita semua. Yang kasihan ya rakyat juga. Demokrasi di Indonesia akan dapat tercederai, pemilu bisa terganggu, pemilihan pimpinan nasional terganggu. Ini akan bisa mengakibatkan terganggunya kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memulihkannya jelas dibutuhkan waktu yang tidak pendek, masa transisi kembali akan bertambah panjang.

Oleh karena itu sebaiknya kita berfikir ”worst condition”, maksudnya agar sama-sama waspada apabila terjadi, kita tidak terkena unsur pendadakan. Atau ini sebaiknya diantisipasi sebelumnya. Kalau didiamkan saja dan itu terjadi, maka harga sebuah kebebasan akan menjadi sangat mahal sekali.

Tidak ada komentar: