Sabtu, 10 Januari 2009

Incumbent Harus Hati-Hati, PDIP Dan Mega Sangat Serius.


Oleh Prayitno Ramelan - 9 Januari 2009 - Dibaca 760 Kali -

Hingga kini banyak pengamat, elit politik, lembaga survei memperkirakan bahwa yang akan bertarung memperebutkan kedudukan sebagai pimpinan nasional pada pilpres 2009 adalah SBY dan Megawati. SBY adalah incumbent, masih menduduki jabatan sebagai presiden RI, sementara Mega adalah penantangnya dan partainya PDIP tetap konsisten menjadi oposisi pemerintah. Kalau diamati, maka popularitas atau elektabilitas keduanya turun naiknya selalu berbanding terbalik. Artinya kalau SBY menjadi lebih populer maka popularitas Mega pasti turun, juga sebaliknya bila SBY kurang populer maka Mega akan menjadi lebih populer.
Dari pendapat beberapa elit politik dan pengamat, dikaitkan dengan UU pilpres, maka nanti dalam pilpres 2009 kelihatannya yang akan bersaing hanya ada tiga pasangan capres-cawapres.

Persyaratan 20% kursi DPR atau 25% suara Nasional untuk pengajuan calon, baik sendiri maupun berkoalisi dirasa sangat berat. Hingga kini yang diperkirakan akan maju baru SBY dan Megawati. Untuk calon ketiga hingga kini belum dapat ditentukan, kekuatan parpol masih remang-remang menunggu hingga didapatnya hasil pemilu legislatif. Oleh karenanya maka dalam pembahasan ini hanya akan dilakukan terhadap kedua calon unggulan tersebut.
Dari peta kekuatan, SBY mempunyai kekuatan sebagai incumbent yang memegang kekuasaan, tiap kebijakan yng dinilai positif oleh masyarakat secara otomatis akan menaikkan elektabilitasnya. Tapi demikian juga sebaliknya, apabila terdapat kebijakan yang dinilai rakyat memberatkan, merugikan maka elektabilitasnya juga otomatis akan turun. Popularitas SBY masih cukup tinggi, beberapa aspek rasional yang dinilai positif mencakup kepuasan atas kinerja pemerintah, kondisi politik, keamanan, penegakan hukum, ekonomi nasional, program pemberantasan korupsi, program sosial meliputi bantuan langsung tunai, dana biaya operasional sekolah, dan penurunan harga bahan bakar minyak. Sementara Megawati sebagai oposan hanya menyampaikan serangan kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyat, seperti naiknya harga BBM, tingginya harga sembako.

Sebagai incumbent SBY telah mampu menciptakan sebuah opini dimana dia dan Partai Demokrat adalah suatu kesatuan, artinya setiap kebijakan positif yang diambilnya juga terkesan di masyarakat adalah kebijakan dari partainya. Bahkan Golkar yang direpresentasikan JK serta beberapa menteri di kabinet dalam beberapa waktu terakhir tidak mendapat penghargaan masyarakat, terlihat dari hasil beberapa lembaga survei, elektabilitas Golkar merosot dan berada dibawah partai demokrat. Dilain sisi Mega jauh lebih menyatu dengan konstituennya yang disebut “wong cilik”. Kemampuan Demokrat yang menggunakan sektor periklanan lewat media massa juga mampu diimbangi oleh PDIP.

Bagaimana dengan kerawanan SBY? Seperti telah diungkap oleh penulis pada beberapa artikel terdahulu, kerawanan SBY terutama karena dia menjadi patron, “pusat” segala-galanya dari Demokrat. Begitu nanti SBY mendapat gempuran, atau timbul masalah serius yang berkaitan dengan kondisi negara, maka otomatis elektabilitas keduanya akan turun. Sementara Mega dilain sisi tidak punya beban tanggung jawab atas pemerintahan, serangan terhadap Mega selama ini lebih diarahkan terhadap kekurang mampuannya. Beberapa saat yang lalu Mega telah berani membuktikan dan angkat bicara pada acara Kick Andy, yang oleh banyak pihak dipuji dengan kekaguman.

Posisi SBY di Partai Demokrat adalah Ketua Dewan Pembina, kedua SBY terikat pada aturan sebagai presiden menyebabkan gerakannya menjadi terbatas, kunjungan lebih bersifat formal, berbeda dengan Megawati yang bebas menyapa konstituen hingga ke pelosok-pelosok tanah air. Mega sejak tahun 2007 telah aktif melakukan safari keliling, diantaranya ke Sumatera, pada bulan November 2008 safari keliling Jawa, bahkan juga sampai ke daerah kasus lumpur Lapindo Sidoarjo. Yang terakhir pada tanggal 6-9 Januari 2009 Mega melakukan safari ke KTI (Kawasan Timur Indonesia), yaitu Makassar, Manado, Sorong, Timika dengan tema “Silaturahmi dan Tali Kasih Mama Mega ke Indonesia Timur”.

Dengan melihat beberapa fakta diatas, terlihat bahwa PDIP dan Megawati sangat serius dalam upayanya mencoba merebut kembali posisinya sebagai parpol pemenang pemilu dan sekaligus menjadikan capres Megawati menjadi presiden. Memang banyak pihak meremehkan Megawati, tetapi perlu diingat bahwa kini capres yang terkuat pada posisi kedua hingga saat ini adalah Megawati, begitu SBY tergelincir atau popularitasnya menurun maka posisi teratas akan diduduki oleh Megawati.

Pembangunan hubungan batiniah antara parpol, capres dengan konstituen sebaiknya dilakukan dengan dua jalan yaitu iklan dan kunjungan. Setelah iklan ditebar, maka konstituen harus didatangi, tidak bisa hanya dari kejauhan, rakyat ingin lebih disapa, ingin lebih diperhatikan oleh para calon pemimpinnya. Rakyat menginginkan pemimpinnya mendengar apa keluhan dan kesulitan mereka. Dan hal ini tidak bisa hanya dilakukan dalam waktu sekejab, dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena yang harus disentuh adalah hati manusia. Dalam kondisi masa kini, dimana rakyat lebih “melek” politik, mereka akan sangat mendengar siapa yang mendatangi mereka. Apabila pemilih tradisional tidak dijaga, mereka akan lari ketempat lain.
Popularitas SBY tinggi karena sebagai incumbent yang mampu memberikan kesejahteraan, sementara elektabilitas Mega sebagai kompetitor yang kuat tidak didapat begitu saja, tetapi melalui sebuah usaha yang cukup lama dikerjakan. PDIP tanpa disadari telah selangkah lebih maju, pada akhir bulan Januari ini kelihatannya hanya PDIP yang berani mengumumkan pasangan capres-cawapres. Oleh karena itu SBY dan Partai Demokrat memang harus mewaspadainya. Partai Demokrat jangan terlalu percaya diri dan terjebak dalam kemelut yang kemungkinan akan terjadi dengan partner koalisinya Golkar. Pertanyaannya apakah Golkar akan tetap setia menjadi partner koalisi?. Perlu diingat dalam tubuh Golkarpun sudah terdapat kekuatan yang menginginkan bersatunya Golkar dengan PDIP. Kalau Golkar melepaskan diri dan pindah, bukankah Demokrat akan agak melemah?.

Seperti permainan catur, hati-hati dengan langkah kuda, sekali di “schak mat” maka ratunya tidak bisa geser dan akan tumbang. Dengan meng-”underestimate” PDIP dan Mega, sejarah 2004 dapat saja terulang, saat itu SBY yang tidak diunggulkan justru yang menjadi presiden. Bisa saja ini terjadi pada Mega. Maaf pak, ini hanya pendapat blogger tua di Kompasiana…mungkin ada salahnya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana.

function fbs_click() {u=location.href;t=document.title;window.open('http://www.facebook.com/sharer.php?u='+encodeURIComponent(u)+'&t='+encodeURIComponent(t),'sharer','toolbar=0,status=0,width=626,height=436');return false;}
html .fb_share_link { padding:2px 0 0 20px; height:16px; background:url(http://b.static.ak.fbcdn.net/images/share/facebook_share_icon.gif?2:26981) no-repeat top left; }
Share on Facebook

20 tanggapan untuk “Incumbent Harus Hati-Hati, PDIP Dan Mega Sangat Serius.”

ojodumeh,
— 9 Januari 2009 jam 5:27 pm
memang analaisa seperti itu perlu dicermati dan kemungkinan bisa menjadi tolok ukur dalam menjalankan misi - misi berikut guna mencapai suatu keberhasilan dimasa yang akan datang, jangan sampai terlena karena sebagai incrumben. Justru harus lebih maju kedepan dibanding dengan yang lain, akan tetapi tetap harus fairplay. dengan itikad baik dan adil.
aramichi,
— 9 Januari 2009 jam 6:05 pm
Yth pak Prayitno Ramelan
Saya setuju dengan pendapat om, memang saingan paling kuat dari sby itu megawati. Megawati dan PDIP punya pendukung fanatik istilahnya pejah gesang nderek Bung Karno, nah pendukung fanatik BK ini melihat personifikasi BK pada diri Megawati, kenapa hanya Mega saya juga kurang mengerti. Tetapi kalau kita lihat dari sejarah PDIP berakar pada PNI yang sudah berurat berakar di seluruh penjuru tanah air basisnya terutama di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur daerah mataraman dan surabaya, Bali, Lampung dan Indonesia Timur. Memang orang bilang politik aliran seperti yang dicetuskan oleh Cliford Geertz sudah kadaluarsa tetapi ternyata politik aliran tetap eksis sampai sekarang meskipun terjadi pergeseran2. Daerah Jawa Tengah dan bali seperti tidak bisa diutak utik seberapapun kuatnya SBY di masa lalu dan sekarang.
Dengan kondisi seperti tersebut sebenarnya modal Mega sudah ada tinggal perlu dipertajam kelebihannya dan ditutupi kekurangannya. Saya tidak melakukan survei tapi saya banyak mendengar obrolan di masyarakat bahwa kekecewaan yang besar itu terjadi pada kasus penjualan Indosat ini bukan masalah benar atau salah tapi begitu persepsi masyarakat yang saya tangkap, kadang kadang persepsi memang lebih penting dari realitas. Sosok Taufik Kiemas juga menjadi sorotan di masyarakat sekali lagi ini masalah persepsi dan persepsi masyarakat adalah negatif. Kemudian kesalahan yang fatal pada pemilu 2004 adalah slogan “coblos moncong putih ” slogan yang berupa instruksi padahal masyarakat tidak semuanya suka diperintah seperti itu, mungkin untuk kelompok masyarakat tertentu cocok tapi masyarakat yang lain butuh alasan kenapa harus mencoblos moncong putih, apa yang akan dia dapatkan kalau memilih moncong putih, hal ini yang alpa disampaikan seharusnya selain instruksi juga ada persuasi, mengajak.
Mengenai sembako murah yang ditawarkan sekarang juga saya tidak melihat PDIP menjelaskan bagaimana cara mencapainya, kalau saya lihat kenapa sembako itu mahal ya karena sistem perdagangannya memang tidak efisien buktinya inflasi di indonesia selalu tinggi kalau inflasi tinggi berarti kan sistemnya tidak efisien. Jadi bukan hanya masalah external ( internasional ) saja tapi internalnya juga bermasalah. Hal ini yang tidak dijelaskan bagian bagian mana yang akan diberantas untuk mencapai tujuan tersebut. Kemunculan intelektual dari PDIP juga sekarang agak kurang tidak seperti ketika jaman pak Kwik, saya pernah ngobrol2 dengan sopir taksi ternyata dulu dia memilih PDIP karena di PDIP ada pak Kwik yang dianggapnya cerdas. Jadi saya kira intelektualitas itu bisa menarik pemilih disamping tentu saja artis2, nah tinggal harus diteliti lebih efektif mana intelektualitas atau selebritas.
Tapi kalau menurut perspektif saya SBY vs Mega ini masih rame kansnya saya lihat 50-50 tergantung wapresnya siapa dulu. Kalau SBY- JK duel sama Megabuwono saya kira akan rame nih….
timur,
— 9 Januari 2009 jam 6:33 pm
Jari jemari ini sangat tajam bisa memecahbelah apa saja yang tersirat maupun tersurat, saya rasa tidak ada hubungannya antara yang baik2 untuk demokrat dan yang jelek2 untuk golkar sehingga popularitasnya menurun, itu terlalu dipotilisir.Saya dan keluarga tetap coblos golkar namun untuk presiden 2009-2014 tetap SBY-JK. untuk presiden 2014-2019 JK-Anas Urbaningrum……….Insyaallah.
Abuga,
— 9 Januari 2009 jam 6:58 pm
Karakter masyarakat kita itu masih aneh. Masyarakat yang lupa sejarah dan peristiwa masa lalu apalagi mau belajar dari mereka. Ini karena sebagian besar komposisi masyarakat kita masih sibuk bergulat dengan kehidupan hari ini. Persis ungkapan yesterday was history today is gift and tomorrow we don’t know. May be yes may be no ha…….. ha……..Contoh gamblangnya begini kalau saat ini susah makan terus ada orang yang ngasih beras ya memuji kepada yang ngasih beras. Tidak perlu ingat bahwa yang membuat kita tidak bisa makan karena sawah kita dijual oleh orang yang memberi kita beras sat ini. Kira - kira begitu Pak Pray.
Gambaran di atas juga berlaku pada partai politik kita yang suka berpikir pada saat pemilu saja. Idealnya sebagai partai besar golkar berani unjuk gigi dengan capres dan cawapres. Padahal dia punya banyak tokoh mumpuni. Nah karena berpikir sesaat saja maka impian kader dan konstituennya buyar. mereka berpikir bahwa golkar tidak gentelmen. Saya senang fenomena ini dengan demikian tenggelamnya golakr tdk memerlukan waktu lama lagi. Alangkah indahnya jika JK-Buwono tampil dari Golkar. Nah misalnya kalah saat ini kalah namanya masih harum di mata konstituiennya dan ini modal pemilu 2014. Kata Cak Nun “kudu jembar pikirane….kudu padhang rembulane…”
Mega memang kuda hitam apalagi kalau dia bisa dan mau merangkul Prabowo sebagai cawapres. Nah Prabowo ini diproyeksikan Pilpres 2014 dari PDIP. Bisa saja nanti Gerindra buyar karena tidak punya suara yg significant semua dukungan Prabowo menjadi milik PDIP. Kalau saat ini PDIP akan sulit mengegolkan jagonya melawan incumbent satu ini. Jadi harusnya berpikir setelah bu Mega itu siapa?? Krena ada 2014 bu Mega sudah tua dan itulah pertarungan yang sebenarnya ‘the road to istana merdeka’.
SBY memang oye saat ini. Lihat tampangnya saja ibu2 kesengsem jadi magnitnya luar biasa. Apalagi sebagai incumbent dia masih mempunyai membuat kebijakan yang populis. Bila dia berpadu dengan mbak Ani wa jos tenan.
Jika itung2an saya di atas benar Insya Allah kita akan memulai kehidupan demokrasi dengan parpol yang elektabilitasnya tinggi karena memang eligible dan kredible di mata rakyat. Parpol sekarang tak ubahnya pedagang sapi jadi bagi rakyat yg tidak berkepentingan mendingan golput. Wong sama saja setali tiga uang ujung2nya koalisi dan bagi - bagi posisi.
Ini itung2an wong ndeso lho Pak Pray nah terus gimana nasib Pak Wiranto, Rizal Ramli dan Bang Yos??
Salam
lemontea,
— 9 Januari 2009 jam 7:05 pm
Sebenarnya saya kecewa dengan Ibu Mega ketika ia menjadi presiden. Tapi setelah saya melihat komitmen partainya untuk menjadi oposisi dalam pemerintahan pusat, kekecewaan itu terobati. Tidak gampang lho berperan sebagai oposisi itu, tapi PDIP menjalankannya dengan baik, tidak haus akan uang dan kekuasaan dalam pemerintahan pusat. Saya akan memilih PDIP dan Ibu Mega di pemilu yang akan berlangsung ini.
uyungs,
— 9 Januari 2009 jam 8:02 pm
Menurut survei Kompas, yg diharapkan rakyat adalah capres generasi yg lebih muda. Hanya karena pilihan jawaban pada angketnya mungkin tdk mencantumkan nama2 tadi, akhirnya kembali pilihan jatuh pd SBY, Mega, Prabowo, Wiranto,Sultan, Amin dst. Dari data survei juga, mereka yg undecided kurang lebih mencapai 40 sd 50 persen. Sy kira golput akan berkisar pada angka 20-an persen, jadi masih tersisa 20-30 persen swing voters yang patut diperhitungkan oleh para tim sukses capres.
Saya pribadi sangat terkesan dg peran dan prestasi JK dalam pemerintahan koalisi ini, namun sy juga tidak tahu persisnya kenapa elektabilitasnya kok menurut survei kurang begitu mengesankan. Apakah kedekatannya dg Bakrie (dalam 2 peristiwa setidaknya: kasus lumpur Lapindo dan kasus suspensi BUMI) turut berperan dalam kecenderungan preferensi masyarakat?Namun kalau menurut analisa saya, justru positioning atau sikap Golkar yang kurang jelas dalam hal penegakan hukum, pemberantasan korupsi/KKN, reformasi birokrasi-lah yang akan terus menggerus kepercayaan masyarakat thd partai Golkar.
Jadi SBY mungkin sudah waktunya pula menimbang2 cawapres alternatif, seperti Sultan (meski kemarin ada insiden tak mengenakkan), Sutrisno Bachir, Hidayat Nur Wahid atau bahkan Sri Mulyani yang mampu mengerek kinerja ekonomi pemerintahan SBY-JK serta cukup sukses mencegah keadaan yang lebih buruk di tengah2 ancaman krisis global. Rakyat cukup menaruh perhatian pada kasus heboh BUMI Resources dan sangat apresiatif dg ketegasan dan sikapnya yang tidak ‘ngeman jabatan. Masalah popularitas dan pencitraan mbak Ani yang belum merata bergaung sampai ke pelosok2 negeri bisa disiasati dengan gencarnya iklan teve dll. Justru akan mwnjadi rival berat bagi SBY kalau Sutrisno Bachir atau Hidayat Nur Wahid (siapa pun capres yg dimunculkan oleh poros partai2 menengah) kalau Sri Mulyani dirangkul sebagai cawapresnya.
Berbeda dg pilcaleg yg lebih ideologis, pilcapres lebih diwarnai oleh sentimen masyarakat yg terbentuk oleh konteks ancaman krisis global dan harapan masyarakat terhadap terwujudnya visi Indonesia 2030 yang kadung populer. Situasi mirip2 pilcapres Amerika bisa saja terulang kembali di sini, kalau parpol2 menengah cukup cerdas membaca sentimen masyarakat pemilih. Yaitu memunculkan calon muda yg cukup kompeten, lumayan teruji dlm msalah kenegaraan dan piawai mengemas pesan2 perubahan dalam tawaran politiknya, serta bisa dipercaya omongandan janji2nya. Akankah itu harus menunggu tahun 2014? bisa saja itu terjadi dalam pemilu tahun ini! Beberapa clue-nya adalah ’sukses’ Dede Yusuf di Jabar, Khofifah (lumayan sukses) di Jatim, Dicky Chandra di Garut, Rustriningsih di Jateng, dst. Maaf Pak Pray, obrolan warung kopinya, itung2 buat obat ngantuk
Ranto Ferry,
— 9 Januari 2009 jam 10:58 pm
Apapun pilihannya …… tetep SBY FOR THE PRESIDENT 2009-2014
fadli,
— 9 Januari 2009 jam 11:11 pm
Kalau kita melihat pada tahun 2004. dimana survei 1 tahun sebelum pemilu sudah menunjukkan kemenangan SBY dibandingkan Mega. Jelas jika kita lihat kondisi sekarang masih cukup jauh buat Mega utk mengejar apalagi survei rata-rata di January masih mengunggulkan SBY lebih dari 15%. Tetapi, bagi tim partai demokrat tetap harus hati2, pemilih Indonesia terkadang pelupa. Prestasi yg sudah dibuat bertahun-tahun akan bisa hilang dalam waktu singkat. Sebaliknya, prestasi buruk orang akan terlupa dalam waktu singkat. Kondisi yg harus diawasi adalah ekonomi karena acuan utama pemilih menurut 1 survei. Harga BBM misalnya jika sampai dinaikkan maka akan memberikan kesan yg buruk dalam tahun ini. Untuk mengatasi ini, saya membaca adanya kelebihan dana dari tahun 2008 sebesar 50 trilyun. Sebaiknya, dana ini digunakan sebagai buntalan untuk mengatasi pergerakan BBM. Jika tidak ada kejadian atau kebijakan kontroversial kemungkinan besar SBY di 2009.
Relax,
— 9 Januari 2009 jam 11:59 pm
Klo aq udah punya pilihan.Yg jelas aq gamau pilih calon presiden yg skr jdi mantan presiden yg waktu pemerintahanya bnyak menjual aset negara.Kabinetnya bnyk yg korupsi bagi2 uang,kurang tegas.Yg ku pilih clon presiden yg sehat jasmani rohani.Tdi cuma main komentar dan merem melek.
prayitno ramelan,
— 10 Januari 2009 jam 12:09 am
@Ojodumeh, terima kasih atas tanggapannya, pokok bahasan dan analisa-analisa yang berada dijalur netral saat ini dirasa sangat diperlukan, agar kita bersama terbiasa mengikuti perkembangan dunia perpolitikan menjelang akan dilaksanakannya pesta demokrasi dinegara kita tercinta. Saya setuju, harus fair, yang penting semuanya demi kemajuan bangsa ini. Salam>Pray.
@Aramichi, saya suka kalau anda menanggapi, bagus menambah lengkap topik bahasan, rajin baca ya?Kalau orang suka dengan masalah politik, harus suka membaca masalah politik, dan perkembangan yg ada. Saya memang khusus mengangkat topik PDIP dan Partai Demokrat, karena ini dua parpol nasionalis yang segmennya luas, sehingga peluang menangnya juga besar. Khusus pemilih dari kalangan minoritas, saya melihat dua hari yang lalu dibahas di Metro TV bahwa PDIP merupakan pilihan pertama dari golongan minoritas, pilihan kedua adalah Partai Demokrat. Jadi memang kedua parpol ini bertanding dengan pola yang sama. Hanya PDIP saya pandang lebih luwes dan menggigit, karena Ketua Umum Parpolnya yang turun langsung ke Masyarakat bawah, sedang di Demokrat, SBY bukan Ketua Umum, tapi Ketua Dewan Pembina, sehingga kalau disandingkan PDIP akan jauh lebih unggul dalam persaingan dilapangan. Dilain sisi SBY tidak bisa mendekati konstituen saat ini karena jabatannya sebagai presiden yang harus berdiri disemua golongan. Nah, hal-hal yang sepertinya sederhana, kecil seperti ini biasanya kurang diperhatikan, tapi nanti pada saatnya akan mempunyai efek yang besar saat pemilu ataupun pilpres. Saya hargai perspektif anda bahwa kans SBY-JK masih sama, dan tergantung siapa cawapresnya….kembali PDIP menurut saya lebih confident akan menentukan cawapresnya Mega pada akhir Januari. Hal prinsip yang akan lebih menguntungkan dalam mensosialisasikan. Demikian Aramichi.Salam>pray.
@Mas Timur, terima kasih pendapatnya. Justru akhir-akhir ini diantara elit parpol Demokrat, Golkar serta beberapa parpol pendukung pemerintah saling mengklaim bahwa keberhasilan pemerintah karena disebabkan dukungan parpol-parpol tersebut. Hal ini wajar, karena mendekati pemilu, masing-masing parpol harus menunjukkan apa kinerja mereka yang dinilai membawa kebaikan bagi rakyat. Dengan tidak terasa mulai timbul persaingan diantara parpol2 tersebut, termasuk antara Golkar dan Demokrat. Yang perlu diingat bahwa parpol penguasa adalah Partai Demokrat, Golkar adalah parpol pendukung, yang kadang-kadang justru memprotes pemerintah. Kasus Pilkada Maluku Utara adalah contoh yang jelas. Terlebih ditubuh Golkar kini terdapat Faksi Surya Paloh yang menginginkan Golkar bergabung dengan PDIP, belum lagi ada kelompok muda dengan Yuddy Chrisnandy, ada lagi pendukung Sri Sultan, Marwah Daud, Fadel, Ginanjar. Ini semua merupakan kemelut diinternal Golkar yang menjadi pekerjaan rumah JK. Demikian ya Mas Timur, saya mencoba mengingatkan dan membuka sebuah pandangan saja, intinya didalam kita berpartai semuanya berawal dari sebuah kepentingan ini yg menjadi pegangan, tidak ada koalisi yang abadi, yang mutlak adalah kepentingan partai itu sendiri. Saya menghargai keyakinan Mas Timur yang akan tetap memilih Golkar, dan semoga saja seperti yg anda harapkan bahwa SBY akan tetap bersama dengan JK. Saya hanya memberikan analisa “worst condition” kepada Partai Demokrat, istilahnya agar tidak terkena pendadakan apabila hal itu memang terjadi. Begitu ya Mas Timur.Berbahagialah Golkar mempunyai pemilih setia seperti anda. Salam>Pray.
@Abuga, apa kabar?. Tanggapan-tanggapan anda itu bagus-bagus, mengalir enak…kenapa kok tidak membuat artikel, tentang Doha, ATP, Gulf sport atau apa saja, kan menarik. Nah kalau ungkapan anda “yesterday was history, today is gift and tomorrow we don’t know”, maka saya juga punya ungkapan nih “tomorrow not today hear the lazy people say”. Kalau anda berkaitan dengan beras dan sawah…maka saya mengungkapkan bahwa banyak dari kita itu yang malas, bagaimana besok aja deh, kira2 begitu. Nah seperti yg anda katakan terkait denganpemilu, banyak yang malas dan tidak peduli dengan pesta demokrasi ini. Oleh karenanya saya sangat hormat kepada para penanggap tulisan saya, kok ternyata masih ada yang peduli ya….?Seperti yang anda katakan, Golkar ini sayang, ini tidak mempunyai tokoh kuat sebagai capres, terkesan hanya mau jadi cawapres saja. Saya pada tulisan terdahulu saya uga mengutarakan kalau Mega lebih baik mengambil Prabowo sebagai cawapresnya….SBY yang mantan Jenderal, harus diimbangi dengan Jenderal juga, kalau Mega mengambil sipil, maka rakyat bisa menilai kalah “bobot”. Sementara begitu dulu ya Abu.Salam>Pray.
@Lemontea…wah beruntung PDIP mendapat pendukung baru nih. Memang masyarakat bersimpati kepada parpol atau Capres dengan banyak cara…diantaranya seperti yang terjadi pada Lemontea, simpati kepada konsisten sebagai oposisi. Salam deh Lemontea.>Pray.
@Mas Uyung, terima kasih pendapatnya. Kadang hasil survei tidak sesuai dengan keinginan. Untuk Golput kelihatannya akan lebih besar dari 20%, bahkan ada yang memprkirakan bisa mencapai 50%, kecuali seperti di AS, kharisma Obama telah meningkatkan jumlah pemilih yang tadinya Golput. Mudah2an di Indonesia juga para Golput juga berfikir lebih poitif, kalau bukan kita yang menyukseskan pesta demokrasi itu, terus siapa lagi kan?. Tentag SBY, semua kebijakan Partai Demokrat tentang pilpres akan ditentukan kelihatannya bulan Mei 2009, setelah ada hasil pemilu. Kok sepertinya “mepet” ya, tapi saya kira hal ini sudah diperhitungkan. Kalau untuk tahun 2009, kelihatanya masih berat calon muda akan muncul, karena kemungkinan koalisi alternatif, para capres yang akan muncul ya masih yang tua-tua. Ada beberapa misalnya Amin Rais, Sutrisno Bahir, Wiranto, Prabowo, Sri Sultan, Sutiyoso, Din Syamsudin, Hidayat Nur Wahid, yah paling-paling yang itu-itu juga ya…agak beda dengan Pilkada yang persyaratannya ringan. Bayangkan parpol-parpol harus berkoalisi untuk memenuhu syarat 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Saya kira begitu ya Uyung.Obrolan warung kopi kita ini enak bukan, karena kita berdiskusi dengan santun…jadi nyaman kan.Salam>Pray,
Novrita,
— 10 Januari 2009 jam 11:08 pm
Kelebihan sebagai incumbent adalah jika memang membuat kebijakan yang populis akan segera di respon positf, namun sebaliknya jika kebijakannya dianggap kurang sesuai dengan harapan rakyat tentu saja akan langsung drop.. Begitu juga sebagai pesaing terberat (kalau bisa dibilang seperti itu), Megawati dengan posisi sebagai ketua umum dan sentral PDIP bisa memanfaatkan sisi kelemahan incumbent.Jika kita hanya berbicara tentang SBY versus Megawati..(dengan asumsi bahwa untuk sementara yang lain dikesampingkan dulu), memang keduanya harus memainkan strategi yang cantik. Terlalu menohok kelemahan pesaing akan menampilkan kesan tidak bisa kooperatif dan kurang dewasa. Namun memanfaatkan celah kelemahan adalah suatu manuver yang bisa langsung mengena. Jadi musti pintar melemparkan kritik sebagai bagian untuk mempromosikan diri serta menawarkan solusi demi menghadirkan simpati.Gerak SBY kelihatannya lebih enak karena apapun kebijakannya akan langsung diserap dan direspon, tapi ya itu sedikit saja salah maka respon publik langsung menghujam. Selama ini menurut saya SBY cukup hati-hati dan berhitung dalam setiap kebijakannya, terlebih menjelang pemilu ini. Beliau cukup sadar bahwa saat ini adalah sebagai presiden RI.Megawati sebenarnya lebih enak, karena apapun yang dilakukan atau statement yang diikeluarkan, adalah seratus persen sebagai ketua umum PDIP. Beliau boleh dan sah mengenakan atribut PDIP. Sedangkan SBY untuk saat ini adalah seorang presiden RI, yang tidak bisa setiap saat mengeluarkan statement atau bertindak membawa bendera Partai Demokrat.
Ketika masing-masing bisa memahami posisi dan tahu batas-batas kepantasan, tentu pertarungan akan semakin seru. Dan disinilah pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia, ketika para tokoh utama dari panggung demokrasi berlaga secara ’sportif’.Wah..pak Pray.. bahasa perumpaaan saya apa tidak terlalu amburadul nih..? Saya sekedar menyampaikan komentar yang ada saja sih.. Mohon dikoreksi ya..
prayitno ramelan,
— 11 Januari 2009 jam 5:32 am
Novrita, terima kasih tanggapannya, memang menarik kompetisi antara keduanya, karena yg satunya presiden, yg satunya mantan presiden. Yang satunya mempunyai fasilitas yang satunya tidak punya. Megawati bebas bergerak dan membawa bendera partai, sementara SBY tidak bebas karena masih menjadi presiden. Jadi itulah kondisi dunia perpolitikan di negara kita. Memang sebaiknya seseorang kalau duduk atau menjabat sebagai presiden atau wakil presiden sebaiknya melepaskan jabatan di parpolnya. Bagus istilah yg disampaikan, kalu masing2 memahami posisi dan tahu batas2 kepantasan….Jadi kita tunggu perkembangan politik lebih lanjut yang saya kira akan semakin ramai dan bersemangat ya. Salam.Pray
mahendra,
— 11 Januari 2009 jam 9:49 am
selamat pagi pak pray,wah dari kemarin persaingan yg seru baru 2 orang ini ya? terus yang lain belum ada kabarnya ya? pak rizal ramli itu kayaknya kok terkesan di dzalimi? dijadikan tersangka atas demo rusuh menuntut penurunan bbm, wah jangan-jangan nanti malah jadi kuda hitam juga nich, bisa melonjak tuh popularitasnya. saya juga percaya kemampuan beliau untuk menjadi capres, beliau sepertinya memiliki visi n misi yang cemerlang. mudah2an saja bisa maju jadi capres. kalo cuma 2 orang itu saja mending enggak dech,,,udah pernah semua. apakah begitu pak pray??salam.
Prayitno Ramelan,
— 11 Januari 2009 jam 11:48 am
Mas Mahendra, maaf baru balas nih, dari td pg sibuk terus…maklum sbg ketua Er-Te dikomplek harus buat acara temu warga, meningkatkan rasa kekeluargaan, agar tercipta rasa saling menghormati dan memperhatikan, maklum di ibukota banyak yg tidak saling mengenal…individualis gitu kan. Nah ke pokok bahasan, Rizal Ramli ya bisa saja maju, hanya keberanian dan keyakinan saja rasanya kurang cukup kali ya, saya pikir pemilu dan pilpres masa kini sangat berat, baik bagi caleg maupun capres-cawapres. Semakin maju dan diatur UU-nya oleh partai besar. Jadi nanti yang kemungkinan akan sukses, caleg yang terkenal atau yg punya uang….dia tinggal di Ibukota tapi nyalegnya nun jauh disana, bagaimana mau dipilih, rakyat saja tidak kenal. Yg untung ya artis2 itu sudah “beken” dan punya penggemar, seperti Eko Patrio mungkin akan masuk ke parlemen. Demikian juga untuk capres, Rizal itu sulit melawan SBY atau Mega, ia harus didukung aturan yg 20% atau 25% itu, partai apa yg bisa diyakinkan?Karena parpol2 juga mempunyai calon sendiri kan. Tapi bisa saja nanti ada capres alternatif (entah siapa) kira2 akan terlihat setelah ada hasil pemilu legislatif. Amin Rais mengatakan siap maju melalui poros penyelamat bangsa, terus siapa yg mau dukung? Hidayat Nur Wahid sudah punya elektabilitas, tapi PKS mau koalisi dengan siapa?Sri Sultan yg elektabilitasnya cukup tinggi, apakah Golkar mau mendukungnya?Wiranto?Prabowo?Din Syamsuddin?Sutrisno Bahir?Jadi gambaran capres ketiga harus nunggu ya Mas. Kalau parpol2 menengah berfikir sudah koalisi saja dengan yg kuat, maka kelihatannya hanya akan ada dua capres. Sangat mungkin kasus Pilkada DKI bisa terulang, mayoritas parpol bergabung disatu sisi, dan ada dua atau tiga parpol menjadi kompetitornya. Demikian Mas Mahendra perkiraan saya. Mau tidak mau, suka tidak suka bisa terjadi seperti itu. Nanti di 2014 baru ramai dengan para calon yg muda2, rame tuh. Rasanya jd ingin cepat2 pemilu nih…Salam ya. Pray.
ibas,
— 11 Januari 2009 jam 12:20 pm
Selamat Siang pak Pray,Senang sekali membaca ulasan-ulasan anda, mungkin saya agak melenceng dari apa yang di bahas anda saat ini.Saya hanya tergelitik mengenai keputusan MK tentang calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menggunakan suara terbanyak. Kalau bisa Pak Pray ulas secara mendalam mengenai keputusan ini, dampak apa saja yang mungkin terjadi pada masa depan perpolitikan kita. Saya jadi berpikir, dengan keputusan ini maka di masa yang akan datang jumlah partai politik di Indonesia akan lebih sedikit, karena orang tidak lagi perlu mengejar nomor urut dan saya kira fungsi DPD sudah tidak perlu lagi, toh anggota DPR RI yang terpilih berdasarkan suara terbanyak sudah merupakan presentasi masyarakat di daerah. Karena tidak mungkin seseorang terpilih menjadi anggota DPR RI apabila tidak mempunyai basis masa yang luas di daerah pemilihannya seperti masa lalu.Salam.
Prayitno Ramelan,
— 11 Januari 2009 jam 5:30 pm
Mas Ibas, entah umur anda berapa saya pangggil Mas saja ya, karena sy sudah simbah2 nih, biasanya kalau memanggil anak terkecilpun dengan tambahan Mas. Saya kira anda juga bukan putranya pak SBY yg terkecil, Eddy Baskoro, panggilannya juga “Ibas”. Saya senang dan bersyukur kalau anda suka dengan ulasan2 yg saya buat, karena tujuannya sebagai sumbang pemikiran saja tentang gambaran politik dinegara kita, tanpa ada rasa keberpihakan sedikitpun. Itu ya Mas Ibas posisi saya. Tentang keputusan Mahkamah konstitusi tentang menggunakan suara terbanyak yang menggantikan nomor urut, wah ini jelas menggentarkan para caleg2 yang sudah didaftarkan akan maju.
Pengaruhnya sangat2 besar, karena selain caleg suatu parpol bersaing denga caleg parpol lain, juga terjadi persaingan diinternal parpol itu sendiri. Mereka juga agak gentar menghadapi persaingan popularitas dengan artis-artis politik. Bahkan muncul pendapat kalau mereka nanti jadi, maka mereka merasa suksesnya bukan karena parpolnya, tapi karena upayanya sendiri. Nah bisa kesetiaan kpd parpolnya bisa tidak 100%, karena yg dikejar adalah posisi jabatan, fasilitas yg dia terima, belum lagi mungkin saja ada target harus mengembalikan modal yg sudah dikeluarkan…ini gosip2 sih. Nanti deh mungkin suatu saat bisa diulas lebih jauh ya.
Jumlah parpol pada masa mendatang saya kira kemungkinan juga akan semakin sedikit, karena UU yang dibuat demikian beratnya bagi sebuah parpol untuk dapat terus eksis. Tentang DPD saya kira akan tetap ada, karena UU menentukan demikian, DPD adalah bagian dari Trias politika dalam fungsi legislatif disamping MPR dan DPR, kita kan juga meniru faham demokrasi dinegara Barat sana, ada senat dan kongres. Walaupun topik bahasan bukan tentang DPD, tidak ada salahnya deh kita refresh sedikit tentang DPD ya :
Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum. DPD memiliki fungsi : Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu. Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 128 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Tugas dan wewenang yang penting menurut saya adalah “Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU tersebut.”
Oleh karena itu karena karena sistem di Indonesia sudah menentukan demikian, maka untuk menghilangkan fungsi DPD kelihatannya akan sangat sulit, rapat2nya pasti lamaaaa sekali….itu posisi yang bagus juga kan?. Saya kira demikian ya Mas Ibas. Salam.Pray.
anto,
— 12 Januari 2009 jam 12:18 pm
Selamat siang Pak Pray..Kalo menurut saya pak, karakter kita nih biasanya suka “heboh” di saat-saat terakhir..Kalo ada ujian belajarnya sistem kebut semalam, bikin tugas juga suka deket-deket batas akhir, nyampaiin spt mepet 31 maret, yang terbaru kemarin Sunset Policy nya DJP heboh di akhir tahun sampai akhirnya diperpanjang…Saat pemilu nanti juga saya yakin akan terjadi hal seperti ini, siapa yang hebat di saat-saat terakhir dialah yang menjadi pemenang…Saya sendiri sih lebih berharap yang paling “heboh” itu KPU pak pray. Berkampanye agar setiap orang berlomba-lomba menggunakan hak pilihnya. Jadi setiap orang sadar bahwa dengan hak pilihnya dia bisa menentukan nasib negaranya.Maaf pak pray, hanya pendapat pribadi, terinspirasi dari filmnya Kevin Costner, “Swing Vote”
Prayitno Ramelan,
— 12 Januari 2009 jam 5:20 pm
Mas Anto, Selamat sore…baru bisa balas nih, bagus sekali pendapatnya tu…Iya betul, kalau kampanye jelas akan heboh saat-saat terakhir, karena banyak yang berfikir itulah saat yang paling tepat, tapi ada yang lupa bahwa sesuatu yang terburu-buru didunia perpolitikan bukan cara yang tepat. Kini masyarakat lebih “melek” politik, sejak keran kebebasan dibuka, secara tidak sadar bangsa ini memiliki kemajuan, ya belajar politik, belajar dari globalisasi, belajar neoliberalisme, belajar menjadi kapitalisme, belajar berdemo, belajar merubuhkan pagar, belajar bakar ban, mogok makan…pokoknya belajar macam-macam. Oleh karena itu, kalau para elit parpol waspada, pembentukan citra dan opini tidak bisa dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek, tetapi butuh waktu yang lama. Apa yang akan dilihat rakyat pada akhirnya…konsep capres itu, nah kalau tadinya tidak pernah bicara dan mempraktekkan konsepnya…maka rakyat akan bisa menterjemahkan…partai ini pasti hanya akan membohongi saja, janji manis saat pemilu, tujuannya merebut kekuasaan. Saya setuju sekali agar KPU yjuga harus heboh, bagaimana meminimalisir Golput. Saya belum nonton Swing Vote nya Kevin Costner tu..bagus ya??Saya pernah membuat artikel tentang Golkar, karena terispirasi filmnya Kevin Costner “The Bodyguard”. Begitua dulu ya Anto.Salam>Pray.
nda ndot,
— 12 Januari 2009 jam 10:40 pm
malem pak Pray,
wah akhirnya sempet juga nulis komen nya.memang sampai saat ini bisa dibilang hanya megawati satu2nya capres penantang incumbet yang paling poluper dibanding kandidat lain. nama besar bung karno dan ter-kuyo2 nya mega di masa orde baru adalah faktor terbesar yang menyebabkan mega mendapat tempat di masyarakat. terlebih lagi trade mark pdip sebagai partai wong cilik adalah faktor lain, meski trade mark ini bisa dikatakan hanya label saja.
dalam suatu course tentang cross culture, saya mendapati bahwa masyarakat indonesia adalah “masyarakat masa lalu” yang senang mengenang kebesaran masalalu. kejayaan majapahit, kebesaran sriwijaya, darah biru, anak si anu, keturunan si itu dsb. begitu bangganya pada masa lalu sering kita lupa bahwa kita tidak sejaya majapahit, tidak sebesar sriwijaya, si anu tidak sehebat buyutnya dsb. bahkan ada orang yang berani mengajukan diri menjadi pemimpin bangsa ini hanya karena dia menikah dengan cucu salah satu pahlawan besar negeri ini….!!!
mestinya kita lebih rasional, bahwa yang dihadapi bangsa ini adalah krisis multidimensi yang tak berkesudahan, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang benar2 tangguh dan berkomitmen pada rakyat.
kans megawati akan tetap besar mengingat kultur masyarakat kita. akan tetapi seiring makin cerdasnya masyarakat kita, tentu ini akan menjadi tantangan sendiri untuk megawati dan pdip nya. mega harus mampu meyakinkan publik akan kapabilitasnya yang banyak diragukan berbagai kalangan. tak kurang, wapres JK menyatakan salah satu sebab kekalahan mega pada pemilu 2004 adalah kurangnya mega tampil di debat publik. bahkan prof. tjipta lesmana dalam bukunya, “dari soekarno sampai sby : intrik dan lobi politik para penguasa” mengungkapkan bahwa daya konsentrasi mega dalam berdiskusi yang menyangkut rakyat atau pekerjaan nya sebagai presiden sangatlah terbatas. mega justru lebih tahan jika ngobrol masalah shoping dan berkebun.jika ini masih terjadi, maka tak ada gunanya popularitas kosong yang bersandar pada kebesaran masa lalu. sekali lagi, sekarang kita butuh pemimpin tangguh, karena tantangan ke depan makin berat, dan kita menggantungkan harapan, bahkan hidup kita pada pemimpin yang kita pilih.
oleh karena itu, mega dan pdip harus membuktikan kepada publik bahwa ia memang layak memimpin negeri ini karena ia capable, mampu melaksanakan tugas2 mahaberat sebagai pemimpin negeri yang carut marut ini.
Prayitno Ramelan,
— 13 Januari 2009 jam 6:41 pm
Nda Ndot, terima kasih tanggapannya, memang selama ini banyak fihak selalu mengatakan bahwa Mega itu kurang capable, kurang bisa bicara, nah dia pernah muncul di Kick Andy, mencoba mengatakan inilah aku…menurut saya boleh juga beliau menjawab pertanyaan2 berat dari Andy Noya. Memang yang sebaiknya kita pilih adalah pemimpin, kita bukan mau memilih seorang rektor universitas kan yg harus bergelar ini dan itu. Tapi kita akan memilih seorang pemimin yang bijaksana, mengerti tentang permasalahan bangsa ini dan pemimpin yang bisa mengambil keputusan bagaimana yang terbaik. Jelas pemimpin sebuah bangsa tidak akan mampu menguasai semua masalah kan, seorang ekonom belum tentu mampu apabila kita ajak berdiskusi mengenai masalah politik. Saya pikir ya Nda Ndot (kok lucu sekali sih namanya?), kita harus memilih pemimpin, mau tidak mau siapa nanti yang akan maju, itulah pilihan yang harus diambil, pemimpin yang mampu memimpin, kalau yg ahli ya dipilih dari para ilmuwan disini. Nah, nanti katanya akan ada acara debat terbuka atau apalah, semacam pemaparan visi, misi….disitu akan terlihat, siapa calon yang pantas menjadi pemimpin, paling tidak dia tahu apa masalah mendasar dari bangsa ini, dan bagaimana konsepnya. Dia tdk usah menerangkan sampai detail angka-angka….tapi mengetahui semua masalah baik IPOLEKSOSBUD Hankam, kalau dia tidak faham secara garis besar….ya forget it kali Ndot. Salam>Pray.

Tidak ada komentar: