Jumat, 09 Januari 2009

PKB Yang Dulu Hebat, Kini…?


Oleh : Prayitno Ramelan - 19 Desember 2008

Sumber : www. kompasiana.com - Dibaca 499 Kali -

Pada artikel terdahulu telah dibahas bahwa sejak pemilu tahun 1955 hingga pemilu 2004 belum sekalipun ada partai yang berbasis Islam mampu mengalahkan perolehan suaranya dari partai nasionalis. Salah satu kelemahan partai Islam diantaranya karena sistem pengelolaan partai dilakukan secara tradisional, upayanya lebih terfokus dalam menarik konstituen tradisional yang beragama Islam.

Apabila diperhatikan, sebenarnya PKB sebagai partai Islam pada pemilu 1999 pernah berhasil membuktikan bahwa manajemen parpol secara modern, dikaitkan dengan “patron” akan mampu menarik konstituen. PKB dibawa bergeser ketengah dengan pintar dan demokratis. Upaya dan keberhasilan PKB pada dua pemilu yang lalu menjadi sebuah fenomena yang kiranya perlu dijadikan sebuah pelajaran bagi partai Islam lainnya, dan dicontoh untuk kemajuan masing-masing.

PKB dideklarasikan pada tanggal 23 Juli 1998 dihalaman depan kediaman KH Abdurrahman Wahid dihadapan ribuan warga NU, disaksikan perwakilan partai dan juga dihadiri dua mantan petinggi ABRI Jenderal Try Sutrisno dan Jenderal Edy Sudradjat (Alm). Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU menetapkan KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syura dan H Matori Abdul Djalil (alm) sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz, sebagai Sekjen diangkat Drs Muhaimin Iskandar.

Nama PKB sesungguhnya sudah digunakan oleh leluhur NU pada tahun 1916 saat mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Kebangkitan adalah terjemahan dari kata “nahdlah” yang digunakan NU (Nahdlatul Ulama), kata “Bangsa” dipilih dengan pemikiran strategis, dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari dari beragam agama, suku dan golongan, diharapkan bersatu dalam payung atas nama bangsa Indonesia.

Dibawah kepemimpinan Pak Matori, PKB dikelola secara modern, para pengurus mendapat pesan khusus Matori agar menjauhkan PKB dari kesan “terbelakang”. PKB bekerja sama dengan Matari Advertising, menggarap logo, stempel, kop surat, kartu nama dan atribut PKB yang diformat dengan sentuhan artistik, semuanya disesuaikan dan diseragamkan. Logo PKB dibedah, disesuaikan lebih cantik serta berfilosofi dengan memberi 9 goresan. Angka 9 sudah melekat dikalangan NU, mulai bintang sembilan, wali sembilan, panutan Nabi Muhammad, 4 khalifah dan 4 madzhab juga berjumlah sembilan.

Dibawahnya logo ditambah slogan “Maju Tak Gentar, Membela Yang Benar”, dengan dasar pemikiran dan harapan PKB akan menjadi pilihan semua orang. Matori menciptakan yel-yel dengan isyarat jari jempol dan telunjuk diacungkan keatas. Jika isyarat sudah diacungkan dan diucapkan, “PKB Membela yang Benar”, maka massa akan menjawab,”Benr,Benar,Benar…!”. Yel-yel dan slogan itu sempat menjadi “tagline” di mana-mana. Dalam kampanye pemilu 1999, iklan di TV yang menampilkan Matori dan Gus Dur, menjadi iklan favorit. Matori mampu mempopulerkan “Maju Tak Gentar,Membela Yang Benar” identik dengan PKB.

Nah, hal-hal diatas tidak pernah dipikirkan oleh politisi biasa saat itu, semua sentuhan modern dilakukan Matori dan Matari. Hajatan pertama di Senayan, dahsyat, diisi sambutan Gus Dur yang karena sakit tidak dapat hadir, ditampilkan melalui rekaman video ”Meski saya tidak bisa melihat, namun saya dapat mendengar bangsa Indonesia sedang bernyanyi…., mari kita bangkit dan maju tak gentar membela yang benar bersama PKB!” demikian sambutan Gus Dur yang disambut tangis dan teriakan haru membahana dari seluruh yang hadir. Peresmian atribut PKB divisualisasikan secara dramatik, dan berhasil membangkitkan kepercayaan diri serta kebanggaan pada PKB.

Demikian juga saat peresmian DPW dan pelantikan 28.855 pengurus cabang, ranting seluruh Jawa Timur, acara dihadiri ratusan ribu simpatisan, dimeriahkan berbagai atraksi kesenian, termasuk kesenian “Cina”, barongsai, liong yang sebelumnya ditabukan. Penyebaran PKB kedaerah-daerah dan wilayah sangat cepat, selain dikelola secara profesional, juga didukung infrastuktur NU yang sudah mapan diseluruh Indonesia.

Dari semua jerih payah Matori dan pengurus, maka pada pemilu 7 Juli 1999 yang diikuti oleh 48 Partai politik, hanya 21 yang lolos ke Senayan, PKB menduduki “tiga besar”. PDIP meraih 35.689.73 suara (33,74%), Golkar 23.741.758 (22,44%) dan PKB diurutan ketiga memperolah 13.336.982 (12,61%). Sementara PPP sebagai partai lama mendapat 10,71% (kehilangan 31 kursi dibanding pemilu 1997) dan PAN mendapat 7,12%.

Pada pemilu 2004, PKB masih berada diposisi ketiga perolehan suara nasional terbanyak. Dengan urutan Golkar posisi pertama (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PKS (7,34%), PAN (6,44%).

Sebagai parpol yang baru saja terjun pada pemilu 1999, keberhasilan PKB disebabkan karena tiga hal, PKB dibentuk oleh PBNU yang mempunyai massa “nahdliyin” yang jelas di bawah “network” pesantren-pesantren NU. PKB dikelola secara profesional dan modern oleh Ketua Dewan Tanfidz “Matori Abdul Djalil’ (Alm), PKB memiliki tokoh sentral “Gus Dur” yang dikalangan nahdliyin kedudukannya sangat dihormati. Dikalangan nahdliyin berkembang mitos bahwa ditanah Jawa terdapat dua keturunan “darah biru”, yaitu darah biru keturunan raja Jawa dan darah biru Islam keturunan KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU.

Para keturunan KH Hasyim Asy’ari disebut sebagai kiai “Nasab”, umumnya dipanggil dengan gelar “Gus” (Gus Dur, Gus Coi, Gus Sholah, Gus Ipul dan lainnya). Selain kiai nasab dikalangan NU juga terdapat kiai karier yaitu orang biasa yang belajar dan memperdalam ilmu ke Islaman hingga mendapat gelar kiai, diantaranya adalah KH Hasyim Muzadi. Sebagai kiai nasab Gus Dur sangatlah dihormati, bahkan diperlakukan bak seorang raja di antara nahdliyin. Oleh karena itu maka begitu PKB diterjunkan pada pemilu 1999, langsung menyedot nahdliyin, dan PKB langsung berada di posisi “tiga besar”.

Sejak pemilu 1999-2004 seperti biasa, terjadi konflik berat, Matori dipecat oleh Gus Dur karena langkah politiknya, Alwi Shihab melanjutkan kepemimpinan di PKB, dan dengan sisa kharisma Gus Dur PKB masih berada di posisi tiga besar, tapi perolehan suaranya merosot dari 12,61% menjadi 10,57%. Konflik terus berlanjut, Alwi Shihab juga dipecat, Muhaimin Iskandar (keponakan Gus Dur) menggantikan Alwi. Kasus terparah Cak Imin juga dipecat, dan bersama Lukman Edy melakukan perlawanan hukum, hingga akhirnya Cak Imin disyahkan oleh pemerintah dan KPU sebagai pimpinan PKB yang sah.

Diakui ataupun tidak secara langsung massa PKB mulai jenuh dengan konflik yang tak kunjung usai. Kemerosotan PKB terlihat dari Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Timur, calon gubernur yang diusung PKB hanya menduduki posisi bawah, PKB menjadi “lumpuh” di sarangnya sendiri. Kini masih beruntung dua kandidat cagub/cawagub Jatim yang bertarung masih berbau kaum Nahdlatul Ulama.

Nah, dari perjalanan suramnya, masih mampukah PKB kembali duduk sebagai tiga besar pada pemilu 2009?. Ini pertanyaan yang menggelitik. Konflik masih berlanjut, bingungnya nahdliyin, turunnya kharisma kepemimpinan, hilangnya “patron”, politik bumi hangus Gus Dur yang menyerukan golput, bergesernya Gus Dur ke posisi parpol lain, pendirian Ormas GATARA oleh Gusdur pada 3 Desember 2008. Semua itu seharusnya disadari oleh elit PKB, untuk segera melakukan langkah-langkah penyelamatan.

Konstituen pemilu masa kini terlepas dari asas apapun sudah lebih memahami kondisi politik dimana dia akan menyalurkan haknya. Perubahan pola komunikasi yang mengutamakan media massa sebagai sarana harus disikapi dengan cerdik. Kalau tidak, PKB hanya akan mendapat suara tradisional dari kaum nahdliyin yang dikontrol kiai. Walau secara hukum sang raja “Gus Dur” sudah dibuat tidak berdaya, tapi pengikut fanatisnya masih cukup besar, inilah tantangan berat yang harus diatasi oleh Muhaimin Iskandar.

Sangat disayangkan, sebenarnya PKB sebagai partai yang pernah menjadi juara dua kali pemilu dikalangan partai Islam kini terlihat kurang meyakinkan, elitnya kurang mampu mengatasi “manajemen konflik” Gus Dur sebagai pemain utamanya. Maka massa PKB sebagai “ikan-ikan” gemuk akan dituai oleh PPP, PKNU dan partai Islam lainnya. Mari kita lihat bagaimana kemampuan Cak Imin dan Lukman Edy menjaga ini semua. Mampukan dalam sisa waktu tiga bulan meniru gurunya Pak Matori? Selamat berjuang, ingat slogan keramatnya : “PKB Membela Yang Benar”…Benar,Benar,Benar…tapi maaf nggih, benar ingkang pundi???. Teriring salam hormat penulis untuk Mbah Dim (KH Dimyati Rais, Kaliwungu).


16 tanggapan untuk “PKB Yang Dulu Hebat, Kini…?”

Pepih Nugraha,
— 19 Desember 2008 jam 10:02 am
Waduh, lengkap dan mantapppp sekali postingan Pak Pray tentang PKB ini. Terus terang, mungkin karena saya luput baca saja, baru kali ini saya mendapat pencerahan politik soal PKB. Peran Pak Matori yang kemudian mendirikan PKD setelah dipecat Gus Dur ternyata begitu besar, sesuatu yang jarang atau belum terungkap selama ini.

Dalam perjalanan liputan politik periode 1996-2001, saya kebetulan pernah bersinggungan dengan Gus Dur, Matori, Alwi Shihab, dan bahkan Muhaimin Iskandar. Dengan Cak Imin kalau bertemu di tempat keramaian (malaum dia sudah jadi orang penting dan terus dikawal-kawal), saya teriakan saja “EDUSKUNTA”, Cak Imin pasti akan menoleh dan tahu persis siapa yang meneriaki kata sandi untuk kami berdua. Memang tugas berat bagi Cak Imin yang dipundaknya saat ini harus bertarung di pileg dan pilpres. Pileg April nanti akan menjadi ujian terberatnya, apakah PKB mampu (setidak-tidaknya) tetap menduduki posisi tiga, atau paling tidak perolehan kursi (suara) tidak melorot dari dua pileg sebelumnya.

Tahun 2006 saat terjadi kerusuhan Tuban, jawa Timur, pasca pilkada, saya bertemu dengan komunitas Tionghoa yang sangat menghormati Gus Dur (di mata mereka Gus Dur adalah pahlawan). Warga Tionghoa pasar sampai elit menyatakan mencoblos PKB karena Gus Dur. “Katakan Gus Dur bikin partai lain, kami akan pilih partai lain itu,” demikian kata tokoh warga Tionghoa Tuban saat saya wawancarai. Saya tidak berkesempatan mewawancara warga pesantren. Tetapi saya rasa, para santri tentulah menokohkan Gus Dur sebagai panutan utama mereka dalam tataran politik praktis.

Bukan bermaksud mendahului kalau saya katakan tugas Cak Imin dengan PKB nya saat ini teramat sangat berat. “Politik bumi hangus” Gus Dur yang menggiring pengikutnya untuk golput pastilah sangat berpengaruh, meski saya tidak tahu sebesar apa pengaruhnya. Secara de jure untuk konteks PKB, Gus Dur memang kalah. Tetapi de facto, tokoh mana di kalangan Nahdliyin saat ini yang mampu mengatasi popularitas dan kharisma Gus Dur? Maaf kalau saya katakan, belum ada.

Suka atau tidak, meskipun kita (pers) mendorong terciptanya suatu “partai politik modern” yang tidak boleh bergantung pada satu figur sentral dan harus terdepan karena program-programnya, tetap saja figur ini masih mendominasi ruang pikir para pemilih saat hendak menyalurkan suaranya. Artinya, PKB sebenarnya masih sangat bergantung pada figur Gus Dur. Ketika Gus Dur sudah menyatakan politik bumi hangus (aduh serem sekali istilahnya) dan menegaskan tidak mendukung PKB lagi, kita bisa mengira-ngira hasilnya. Saya cenderung mengatakan perolehan suaranya “turun” untuk tidak mengatakan “anjlok”. Semoga kesimpulan saya keliru….


eepkhunaefi,
— 19 Desember 2008 jam 11:29 am
Berat dan berat sekali perjuangannya. Dalam kondisi seperti ini saya punya keyakinan kuat perolehan suara PKB di bawah PKS yang semakin cerdas dalam berkampanye, salah satunya dengan diadakannya PKS Award.

Ayo PKB berdamailah agar saya senang lagi pada Anda! Agar bapak saya yang dulu fanatik kembali lagi ke pangkuanmu. Buat Gus Dur, bersabarlah! Buat Cak Imin, mampukah Anda meyakinkan pendukung PKB bahwa tanpa Gus Dur partai ini akan tetap eksis dan meraih suara bagus dalam pemilu nanti. Kita tunggu ya.
Buat Pak De, saya tunggu selalu karya-karya Anda. Semakin uzur kian produktif aja nih.

Prayitno Ramelan,
— 19 Desember 2008 jam 11:40 am
Mas Pepih, terima kasih sekali tanggapannya yang sangat melengkapi dan juga memperkuat argumentasi yang saya sampaikan. Kalau dipikir sayang ya dengan PKB ini…partai lain setengah mati untuk mendapatkan konstituen, eh…PKB yang konstituennya sudah jadi kok melalaikannya. Tapi yah itulah…Pak Matori pernah bercerita kepada saya bahwa saat beliau akan menjadi Ketua PKB pertama yg ditentang beberapa tokoh di PBNU, Gus Dur membela mati2an dan mengatakan “tidak apa2, kalau tidak ada perbedaan pendapat bukan di NU” dan Gus Dur akan mendirikan partai lain kalau Matori ditolak.


Jadi sejak awal pembentukan jelas sudah terjadi konflik ditubuh bayi PKB. Itulah yang menurut saya suatu kelemahan sebuah partai dengan budaya pesantren, disana peran kiai sangat kuat, sementara sebagai suatu partai PKB harus bergerak sesuai dengan dinamika politik yang sedang terjadi. Dua pemikiran yang sulit dipertemukan tadi menurut saya diantaranya yang sangat berpengaruh terhadap pecahnya PKB. Cak Imin dan Lukman Edy adalah sebuah bukti pemberontakan anak muda terhadap kultur budaya pesantren yang sangat ketat tadi. Sebagian kekuatan PKB telah pecah menjadi PKNU, sebagian ke Cak Imin dan sebagian ke Gus Dur. Mereka yang sulit dipersatukan atau mungkin tidak sadar sengaja ada memecah? Berat memang tugas “EDUSKUNTA” yg Mas Pepih sebut tadi. Salam>Pray.


Prayitno Ramelan,
— 19 Desember 2008 jam 11:44 am
@Mas Eep, semoga bisa terpuaskan ya membaca artikel ini, kan anda juga yang minta saya nulis tentang PKB, nah hanya sebegitulah kira-kira kemampuan saya memberikan fakta dan analisis. Semoga tanggapan anda dibaca oleh para elit PKB itu>Terima kasih.Pray

Novri,
— 19 Desember 2008 jam 4:41 pm
Terima kasih pak Pray…Saya jadi ada pengetahuan baru tentang PKB dan seluk beluk internalnya.. Selama ini yang saya tahu ada konflik di tubuh PKB dan tokoh sentral PKB ya Gus Dur. Ya cuma itu thok… Apalagi pengetahuan saya tentang politik masih samar-samar (belum bisa dibilang dangkal, karena memang blasss belum tahu)Jadi ya.. baca tulisan pak Pray dan baca komentar yang masuk, bisa bikin saya mlek PKB.
Comment saya sih..(orang yang awam politik) : Kalau di internal aja ada konflik, gimana bisa menampung dan memanage aspirasi luar..
Nuwun sewu kalau saya salah.


prayitno ramelan,
— 19 Desember 2008 jam 9:02 pm
Novri, syukur kalau tulisan itu bermanfaat sebagai penambah wawasan, saya kebetulan pernah mendampingi Pak Matori saat beliau jadi Menhan selama 2,5 tahun, ya otomatis jadi mengikuti gerak langkahnya saat berkonflik dengan Gus Dur. Jadi itulah kira2 gambaran PKB, pada kesimpulannya tulisan saya buat berdasarkan pengamatan saya dikalangan PKB. Saya bukan warga PKB, tapi tentara tulen yg berprinsip NKRI yg berdasarkan Pancasila dan UUD45 adalah final, kebetulan saya ikut masuk mendampingi beliau ke pesantren2 dan kesemua jaringan PKB. Sehingga sedikit banyak mengetahui kultur didalamnya. Ya begitulah, sangat disayangkan memang PKB sebagai Partai Islam terunggul akhirnya tercerai berai karena ambisi dan kultur serta sikap tidak mau mengalah para elitnya. Saya belum melihat kini seorang pimpinan partai yg berfikir jauh kedepan, modern dan mempunyai kemampuan sehebat Pak Matori. Saya setuju Novri pendapat anda, kalau didalam saja terus berkonflik…bagaimana mau maju (saya tambah dikit ya.). Salam>Pray.


Junanto Herdiawan,
— 20 Desember 2008 jam 6:03 pm
Pak Prayit, tulisan yang sungguh mencerahkan. Pandangan Bapak sebagai orang dalam sekaligus bukan warga PKB menjadikan tulisan ini memiliki bobot dan kredibilitas. Seperti mengungkap hal yang belum terungkap. Saat ini calon presiden yang memiliki massa fanatik hanya dua, Gus Dur dan Mega. Keduanya memiliki massa yang “pejah gesang nderek bapak/ibune”. Apapun kata pimpinan, kami taklid, ngikut. Untuk karakter bangsa kita saat ini, sifat itu sungguh wajar. Bukan irrasional, tapi metarasional. Tak bisa dijelaskan dengan rasio, seradikal apapun rasio kita. Oleh karenanya, sungguh sayang apabila PKB memang tidak memanfaatkan metarasionalitas para pemilih itu. Mungkin di masa-masa depan menarik tuh pak kalau dibuat buku, judulnya “PKB, riwayatmu dulu…”. Buat mengenang bahwa PKB dulu pernah ada (di tiga besar) dan jaya…. Salam pak.


Prayitno Ramelan,
— 20 Desember 2008 jam 6:32 pm
@Yunanto, justru itu, sebenarnya pkb bisa diharapkan sebagai sebuah partai yg moderat, dia oleh Gus Dur tadinya sudah benar dibawa ketengah, menampung beragam etnik dan agama, tapi akhirnya Gus Durpun juga tergelincir kurang menerapkan kepemimpinan dengan kulturnya dalam sebuah kehidupan politik…nah akhirnya terjadi konflik yg berlanjut, dengan siapa saja, pak Matori, Alwi dan Muhaimin. Semuanya kurang menyadari konflik cepat atau lambat akan merusak parpol itu sendiri. Dan kenyataannya ya demikian bukan,kini secara perlahan akan terpuruk, padahal partai ini yg tadinya bisa diharapkan sebagai parpol Islam unggulan, sudah dua kali pemilu berada diposisi ketiga…entah 2009 dia akan duduk diposisi berapa. Padahal kabarnya warga nahdliyin jumlahnya lebih dari 30 juta…dan mereka tidak mampu memanfaatkan yg anda sebut itu metarasionalitas para pemilih, karena tokohnya sudah berada diluar sistem. Saya kira bagus kalau dibuat buku dengan judul itu, PKB, riwayatmu dulu. Terima kasih tanggapannya ya.Salam>Pray


Gi,
— 21 Desember 2008 jam 1:57 pm
Salam,
Semakin menarik, bahasan parpol berimbang, terfokus dan mendalam. Sesuai dengan fakta di lapangan.
Apa mungkin bapak akan membahas ke-38 kontestan parpol Pemilu 2009 ini nanti, hehe…
PKB di mata saya pribadi, memanglah parpol besar (peringkat 3 di Pemilu 2004) dengan suara 11 juta suara lebih (lumbungnya di Jawa Timur dan sebagian Kalimantan Selatan). Memang disayangkan banyak terjadi konflik internal yang tak berujung. Sehingga melahirkan peranakan-prenakan baru PPNUI (2004), PKNU (2009), dan yang bungsu baru terlahir GATARA (2009) namun bukan (belum) menjadi kontestan, mungkin di 2014? Entahlah… Politik pastinya akan tetap dinamis dan banyak hal yang tak terduga dalam waktu singkat.
Salam,Gi


prayitno ramelan,
— 21 Desember 2008 jam 9:51 pm
Gi, terima kasih pendapatnya, saya kira tidak cukup waktu nij untuk membahas 38 parpol, wah mengumpulkan data beberapa parpol saja mata sudah berat Gi, maklum mata sudah agak umur nih, tidak terlalu tahan dimuka layar PC lama-lama, belum lagi kan membalas tanggapan para sahabat2 dan teman2 baik itu yg saya sangat hargai. Begitu ya Gi.Salam>Pray


mahendra,
— 22 Desember 2008 jam 8:28 am
PKB memang membuat saya merinding waktu dulunya pertama kali berdiri… tapi lama kelamaan semakin tidak memberikan kesan yang berarti, itu knp pak? konflik berkepanjangan kah? atau kebijakannya mungkin? tapi yang jelas PKB tanpa Gus Dur seperti tubuh tanpa nyawa, lihat saja nanti PKB muhaimin untuk memcapai 5 besar saja kayaknya sulit bukan main.malah nanti yang menduduki urutan nomer 3 adalah golput yang di serukan gusdur. (maaf pak pray ya, ini cuma tebakan saya aja yang sok tau)


prayitno ramelan,
— 22 Desember 2008 jam 8:41 am
Mas Mahendra, memang sayang ya melihat PKB yang akhirnya tercerai berai, kalau mau besar lgi, Gus Dur dan Muhaimin harus kembali bersatu, saya pernah membuat artikel dan ditayangkan di Koran SINDO dengan judul “Imbauan Kepada Gus Dur”…saya setuju PKB akan tidak bisa menduduki tiga besar…lima besar juga saya setuju sulit seperti yg dikatakan Mas Mahendra. Tks ya>Salam>Pray.


aramichi,
— 22 Desember 2008 jam 9:49 pm
Yth Pak Prayitno
NU dan PKB memang sesuatu yang unik pak, kalau saya lihat dari dulu massa yang paling soliditu massa NU. Pemilu 1955 NU nomor 3 padahal petingginya sering diremehkan sebagai kaum sarungan berbeda dengan petinggi Masyumi yang berpendidikan Barat, Tahun 1971 NUdibulldozer tapi tetap eksis perlawanan dilakukan oleh Subhan ZE , demikian juga tahun 1977 dan tahun 1982. Tahun 1987 PPP digembosi NU dan hasilnya suara PPP merosot drastis di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kemudian seperti yang bapak sampaikan 1999 dan 2004 PKB tetap No 3 tapi ada keganjilan di sini sekalipun suaranya no 3 kursi DPRnya selalu di bawahnya, tahun 1999 no 4 setelah PDIP, Golkar dan PPP. Tahun 2004 lebih parah lagi No 6 setelah Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN. Padahal PKB itu 10,57 % tapi kursi DPR bisa kalah dengan PAN yang 6,44 %, PAN 53 kursi PKB hanya 52 kursi. Berarti sistem pemilu tidak menguntungkan untuk partai dengan karakteristik seperti PKB, sistem pemilu lebih menguntungkan untuk partai seperti PPP dan PAN yang suaranya menyebar di seluruh penjuru Tanah Air karena ada yang disebut sisa suara, jadi kursi DPR yang didapatkan dari hasil sisa suara yang tidak habis dibagi .

Itu kalau kita lihat dari sistem pemilu, kalau kita lihat dari pindahnya kiai Khos lebih parah lagi, kiai yang pindah ke PKNU itu adalah patron di daerah masing masing. Kalau kita melihat Madura saja biarpun Gusdur bilang PKB itu keluar dari ayam ( maksudnya NU ) tetap saja di Sampang dan Pamekasan PPP bisa unjuk gigi itu karena peran kiai lokal seperti Alawy Muhammad. Tahun 2004 KH Fawaid As’ad pindah dari PKB ke PPP dan suara PPP di Situbondo yang tadinya terpuruk tiba tiba melejit, sekarang saya dengar Lora Cholil As’ad bergabung ke PKNU. Simpul PKB itu Kiai dan pondok pesantren kalau simpul sudah lepas kondisi akan berat biarpun ditopang Gusdur sekalipun apalagi kalau Gusdur menyerukan penggembosan bisa bisa kejadian yang dialami PPP tahun 1987 terjadi pada PKB tahun 2009. Kalau prediksi saya kemungkinan besar suara PKB akan turun dan kursi DPR juga turun jadi kemungkinan nilai tawar PKB akan lebih rendah dari 2004 tapi kalau “kiprah di pemerintahan seperti sekarang ” saya rasa masih dapat tergantung apakah calon yang didukung PKB bisa jadi presiden atau tidak.


prayitno ramelan,
— 23 Desember 2008 jam 11:12 pm
Aramichi, wah bagus sekali tanggapannya, terima kasih sudah semakin melengkapi tulisan tentang PKB itu, yah memang sama perkiraan kita itu, pada pemilu 2009, PKB akan berat sekali untuk kembali muncul sebagai juara dikalangan parpol yang berasas Islam. PKNU bisa2 cukup besar suaranya ya…Ok deh, tks.Salam>Pray.


adhy,
— 24 Desember 2008 jam 2:44 pm
begitulah nasib partai-partai yang bersandar kpd Figur… PKB, PAN. siapa lagi akan menyusul ?
PDIP juga rentan. 2014 apakah PDIP jg masih sekuat sekarang? kalo 2009 Mega jadi presiden lg mungkin umur PDIP masih akan bertahan agak lama. tp kalo gagal…
waktu saya kuliah pernah ikut latihan kepemimpinan. dapat ilmu, bahwa pemimpin yang sukses adalah bukan dilihat pada karyanya yg banyak ketika memimpin, tapi siapa dan bagaimana pengganti setelahnya.kalo penerusnya lebih buruk dg dirinya, maka sebesar apapun berkembang organisasi dibawahnya akan hancur tak bersisa oleh penerusnya.


Prayitno Ramelan,
— 24 Desember 2008 jam 3:54 pm
Adhy, iya saya setuju memang lebih baik kalau partai tidak bersandar pada satu figur, rentan,mudah diserang, PKB sekarang agak lemah saya kira karena figurnya tersingkirkan. Dan bagus itu, memang benar bahwa pemimpin yang baik harus mampu mengkaderisasi. Kita lihat nanti tahun 2014 mudah2an kaderisasi sudah berjalan dan capres2 muda yg akan bersaing. OK, salam>Pray

Tidak ada komentar: