Kamis, 15 Januari 2009

Parpol Yang Mungkin Lolos PT Dan Gambaran Koalisi

Oleh Prayitno Ramelan - 14 Januari 2009 - Dibaca 734 Kali -

Mendekati pelaksanaan pemilu legislatif yang tersisa kurang dari tiga bulan, parpol-parpol peserta pemilu terlihat semakin gencar melakukan upaya kampanye dan sosialisasi ke masyarakat agar mengenal dan kemudian mengharap konstituen mau mendukung partainya. Pada pemilu 2004, posisi parpol terbagi atas tiga kelas yaitu partai papan atas, partai papan tengah dan partai papan bawah, yang disebut orang sebagai partai gurem. Bagaimana kini kita mengukur kemungkinan kedudukan partai-partai tersebut?Ukuran yang paling mungkin dan dapat dipertanggung jawabkan adalah dengan hasil survei. Walau beberapa pihak ada yang meragukan bahwa hasil survei dapat ditunggangi untuk kepentingan partai tertentu, tetapi tetap saja tokoh partai-partai”peragu” itu menggunakan lembaga survei.

Penulis mencoba mengamati hasil dari beberapa lembaga survei yang fakta-faktanya terlihat tidak jauh berbeda, dengan waktu survei yang berdekatan dan dilaksanakan pada jumlah propinsi yang sama. Dari lima Lembaga survei yang diteliti, didapat tiga Lembaga Survei yang dipandang memenuhi syarat sebagai sumber informasi dalam artikel ini. Hasil ketiganya dibandingkan dan kemudian agar lebih “fair” hasil survei ketiganya dijumlahkan dan dibagi tiga, maka didapatlah data-data (angka “average”) yang menggambarkan posisi parpol berdasarkan elektabilitasnya. Ternyata hingga bulan Desember 2008 “hanya” delapan parpol lama dan baru yang memenuhi ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif yang mensyaratkan ambang batas minimal parlemen atau “parliamentary treshold” (PT) sebesar 2,5%.

Sumber informasi pertama adalah Lembaga Survei Nasional (LSN) Pimpinan Umar Bakri, melaksanakan survei pada 10-20 Desember 2008 di 33 propinsi, jumlah responden 1225, margin of error 2,8%, tingkat kepercayaan 95%. Hasil survei elektabilitas parpol, PDIP (28,2%), Partai Demokrat (19,4%), Partai Golkar (13,5%), PKS (6,2%), Partai Gerindra (6,1%), PKB (4,5%), PAN (3,8%), PPP (2,8%).

Sumber informasi kedua adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI) Pimpinan Saiful Mujani, melaksanakan survei pada 10-22 Desember 2008 di 33 propinsi, jumlah responden 2200, margin of error kurang lebih 2,2%, tingkat kepercayaan 95%. Hasil survei elektabilitas parpol, Partai Demokrat (23%), PDIP (17,1%), Partai Golkar (13,3%), PKB (4,8%), PKS (4,0%), Partai Gerindra (3,9%), PAN (3,4%), PPP (3,1%).

Sumber ketiga adalah Lembaga Survei LP3ES, melaksanakan survei tanggal 1-10 Desember 2008, di 33 propinsi, jumlah responden 2490, margin of error 2%, tingkat kepercayaan 95%. Hasil survei elektabilitas parpol, Partai Demokrat (24,2%), PDIP (20,2%), Partai Golkar (15,7%), Partai Gerindra (6,5%), PKS (3,9%), PAN (3,8%), PKB (3,5%), PPP (2,9%).

Dari hasil survei terhadap elektabilitas masing-masing parpol, dan apabila hasil ketiganya dijumlahkan dan dibagi tiga, maka akan didapat angka prosentase rata-rata dengan urutan dari prosentase dukungan besar kekecil. Partai Demokrat menjadi partai teratas dengan dukungan 22,2%, PDIP diposisi kedua dengan 21,8%, Partai Golkar diposisi ketiga dengan 14,2%, Partai Gerindra diposisi keempat mendapat 5,5%, PKS diposisi kelima mendapat dukungan 4,7%, PKB ditempat keenam dengan dukungan 4,3%, PAN ditempat ketujuh dengan dukungan 3,7%, dan PPP ditempat kedelapan dengan dukungan 2,9%. Untuk sementara, inilah kedelapan parpol yang mempunyai kemungkinan besar memenuhi persyaratan ambang batas minimal parlemen (PT).

Dari hasil rata-rata diatas, terlihat bahwa hingga bulan Desember 2008 Partai Demokrat masih menjadi Partai yang mempunyai harapan akan menjadi partai terkuat, posisinya berada diatas PDIP dengan selisih 0,4%, sementara Golkar berada agak jauh dibawah Demokrat dengan selisih 8%. Partai yang mempunyai harapan sebagai partai papan tengah kelihatannya akan diduduki oleh Gerindra, PKS dan PKB. Parpol-parpol lainnya tidak dimasukkan dalam pembahasan, karena sementara ini elektabilitasnya dibawah 2,5%. Parpol yang mempunyai harapan besar akan dapat memenuhi parliamentary treshold adalah Partai Hanura, yang dalam survei LP3ES mendapat 2,5%, survei LSN mendapat 2,0% dan survei LSI hanya mendapat 1,3%.

Kini, bagaimana kira-kira dengan kemungkinan koalisi?. Pimpinan “klasemen” kelihatannya dipimpin oleh Partai Demokrat dan PDIP. Apabila Golkar tetap bergabung dengan Demokrat, yang kemungkinan juga diperkuat oleh PKB, PPP dan PAN, maka kelompok Demokrat akan mengantongi 47,3% suara. Sementara PDIP apabila didukung PKS akan mengantongi angka 26,5% suara. Kedua kelompok dengan koalisi ini sudah memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan capres-cawapres. Hasil koalisi akan menjadi sangat jelas setelah PDIP mengambil keputusan siapa pendamping Megawati, yang akan diputuskan pada rakernas PDIP di Solo yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2009.

Kemungkinan terbaik bagi PDIP hanya dua, Hidayat Nur Wahid yang membawa suara PKS (4,7%) atau Prabowo Subianto yang membawa dukungan Gerindra (5,5%). Baik Hidayat maupun Prabowo kedua-duanya sama kuat sebagai capres. Dari perhitungan psikologis, karena lawannya adalah SBY dengan latar belakang militer, mungkin lebih baik yang dipilih Prabowo sebagai pengimbang dalam memenuh keinginan konstituen (”ketegasan”). Apabila Mega memilih Prabowo, kemungkinan PKS akan bergeser ke Demokrat. Apabila Hidayat dipilih oleh PDIP maka Prabowo kemungkinan akan bergabung dengan Demokrat, dan men “down grade” hanya masuk diposisi Kabinet apabila SBY kembali menang.

Kini pertanyaannya bagaimana apabila Golkar akan maju sendiri?. Kelihatannya agak berat bagi Golkar untuk maju sendiri, karena masih dibutuhkan sekitar 10,8% suara, dimana peluangnya hanya dari PKS, Gerindra atau PAN. Golkar harus memperebutkan PKS dan Gerindra dari kubu Demokrat atau PDIP. Mungkin ada benarnya perhitungan faksi dalam tubuh Golkar yang menghendaki bergabung saja dengan Demokrat. Apabila strateginya tidak pas maka Golkar bisa menjadi parpol besar yang “mempermalukan” dirinya sendiri seperti pada pilpres 2004.
Demikianlah informasi dan perkiraan sementara situasi dan kondisi dunia perpolitikan ditanah air menjelang pemilu legislatif 9 April 2009. Fakta dan data yang disampaikan berupa sebuah persepsi publik yang kiranya dapat dipertanggung jawabkan oleh masing-masing Lembaga survei bersangkutan. Memang akurasi data sesuai tingkat kepercayaannya yaitu sekitar 95%.

Tetapi dengan data tersebut, paling tidak gambaran kasar tentang parpol dan koalisi mulai terlihat dan diperkirakan akan lebih mengkristal. Data-data yang sudah terkait tersebut sangat diperlukan bagi sebuah partai politik dan tim sukses untuk menentukan taktik dan strategi dalam memenangkan persaingan yang dirasa semakin berat. Masih tersisa waktu untuk meningkatkan citra baik parpol maupun calonnya masing-masing. Semoga bermanfaat.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana.

Share on Facebook

40 tanggapan untuk “Parpol Yang Mungkin Lolos PT Dan Gambaran Koalisi”
imran rusli,
— 14 Januari 2009 jam 11:21 pm
Faktor figur tak diperhitungkan Pak? Dengan mekanisme suara terbanyak apakah partai politik masih bisa membusungkan dada sebagai pengatur negeri ini? Saya pilih sby dan hidayat deh pak, sama-sama terlihat aksinya (meski kecil) menolak korupsi, smentara yang lain masih membujuk-bujuk rakyat dengan sembako, kesejahteraan (sby sudah lakukan dengan pnpm mandiri yang terbukti jalan dibanding program serupa di rezim-rezim sebelumnya), atau program-program akan lainnya. Kalau pemilu legislatif saya golput Pak, tak ada yang pantas diberi suara ha ha, terserah MUI mau cap haram atau apa, emang gue pikirin si MUI yang tak jelas kerjaannya itu? Salaaam Pak.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 12:14 am
Wah, mau tidur geser dari Face Book, lihat Blog kok ada Mas Imran Rusli nih…jawab dulu ah…Iya saya memang dalam artikel ini hanya membahas kekuatan dan pengaruh parpol terhadap konstituen. Faktor Figur jelas berpengaruh besar…karena artikel2 sy yg kemarin2 banyak juga membahas figur2 tsb. Ya boleh saja anda pilih SBY-HNW, pasangan kuat juga itu. Pemilu legislatif Golput krn tak ada yg pantas diberi suara…mungkin masuk Golput ideologis ya…tidaklah MUI sy kira tdk memutuskan Golput Haram. Kan Orang yg ahli agama tdk akan sekeras itu, menyarankan saja kali ya…Ok, terima kasih tanggapannya Mas Imran…sy ngantuk skl ni.Salaaaam juga>Pray
Atikah,
— 15 Januari 2009 jam 6:12 am
Ketiga Lembaga Survai di atas semakin lama semakin menunjukkan tidak kredible. Mungkin hasil surveinya sebagai tanda terima kasih dari pihak yang memberi dana. Maka itulah yang dimenangkan. Contohnya ada partai politik yang dalam survai selalu dikalahkan. Tapi hasilnya dalam PILKADAH seringkali menang. Partai apa itu? Amati sendiri !!!
Adapun koalisi Capres-cawapres. Kayaknya Hidayat Nur wahid dopasangkan dengan siapapun bakalan menang. Boleh jadi dia maju sebagai nomor 1 RI, tinggal cari aja wakilnya. OK
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 6:48 am
Mbak Atikah, terima kasih telah memberi tanggapan dan pendapatnya. Boleh-boleh saja kok seperti begitu….namanya juga dunia politik ya, kita boleh pro ke partai atau tokoh manapun juga ok. Sepertinya pendukung dari Hidayat Nur Wahid nih ya?….baguslah itu, artinya mbak Atikah bukan Golput dan akan menyukseskan pemilu dan pilpres. Ayo…digiatkan semangatnya menyukseskan siapa yg mau didukungnya. Kalau saya ya hanya membahas saja, tanpa berpihak kemana-mana. Menyampaikan faakta yg ada. Salam Mbak>Pray.
Danang,
— 15 Januari 2009 jam 8:15 am
aku sih mainya pak Hidayat Nur Wahid dan Pak Tifatul Sembiring yang menjadi capres-cawapres. Tapi sulit rasanya untuk menang.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 8:24 am
Mas Danang, pendukung PKS memang inginnya ketua partai atu tokoh partainya yg menang, itu wajar kok, tidak apa2, tapi ya memang kalau berdasarkan hasil survei kini kelihatannya seperti anda katakan masih sulit untuk menang.Terima kasih pendapatnya.Salam>Pray.
syam,
— 15 Januari 2009 jam 8:39 am
Saya tidak sepenuhnya percaya dengan hasil survey, saya juga tidak sepenuhnya sependapat dengan “angka average” yang pak pray buat dari hasil survey tiga lembaga survey. Okelah, partai demokrat ada di puncak klasemen dan saya yakin PD akan memenangi Pemilu 2009 ini–juga Pilpres 2009–, akan tetapi untuk posisi kedua seharusnya adalah partai Golkar, bukan PDI P, kenapa Golkar diposisi 2 ? karena Golkar masih punya sisa-sisa kekuatan dan jaringan yang kokoh dan baik. Untuk posisi ketiga, PKS yang layak, baru untuk posisi ke empat dan ke lima PDI Perjuangan dan Gerindra. Kenapa jadi PKS di posisi 3 ? Ini mungkin ada yang tidak dilihat oleh banyak orang, juga elit parpol dan termasuk para ahli survey, PKS satu-satunya parpol yang memiliki kader-kader militan dan mereka terus bergerak hampir 24 jam memperkuat jaringan, mengadakan ribuan kegiatan dan door to door memperluas calon pemilih potensial… Sedangkan PDI Perjuangan hanya mengandalkan nama tenar Megawati saja, pengurus-pengurusnya pada tidur-tiduran saja, mereka tidak sadar nama Megawati tidak laku lagi untuk dijual. Untuk Gerindra, hanya besar karena iklan saja, tidak punya akar dan pemilih loyal…Bagaimana Pak Pray ?
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 8:48 am
Mas Syam, terima kasih tanggapan dan pendapatnya. Menurut saya ya tidak apa-apa kok sebuah pendapat yang tidak sesuai dengan topik bahasan dan ulasan yag dibuat. Karena jelas ada suatu perbedaan sudut pandang dan kepentingan, saya hanya mengulas dan menganalisa data dengan posisi sebagai penulis “indie”, sementara Mas Syam berada diposisi simpatisan sebuah papol. Bahkan saya pernah membaca bahwa Pak Muladi yang Gubernur Lemhannas saja juga mengatakan tidak percaya terhadap lembaga-lembaga survei yang ada, karena katanya dibiayai oleh parpol tertentu.
Sayapun pernah ikut memikirkan hal serupa, dari sisi “netral”, kenapa sih kok orang pada ribut dan tidak percaya pada sebuah hasil survei???Ternyata pernyataan banyak dibuat oleh elit parpol yang “merasa” parpolnya masih hebat, tapi kok dari hasil survei jadi dibawah. Misalnya tokoh2 Golkar mana mau menerima Partai demokrat jauh berada diatasnya…Demokrat dianggap partai baru, baru berkiprah tahun 2004, sedang Golkar sudah berapa puluh tahun berjaya dan menguasai dunia politik di Indonesia, sebagai partai papan atas pada pemilu 1999 dan 2004, eh kok hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun rontok dibawah Demokrat.
Secara rasional dan emosional mereka jelas tidak terima. Nah, dari pengamatan saya yg kedua, apabila hasil survei mendudukan sebuah parpol pada posisi lemah, maka elit berpedapat akan menurunkan “citra”, yg jelas merugikan parpol dan tokohnya. Nah, semua geliat dalam dunia perpolitikkan di Indonesia tidak bisa hanya dilihat dan dirasakan berdasarkan sejarah atau “kira-kira” saja Mas Syam, kini terdapat sistem untuk mengukur elektabilitas ya Lembaga Survei itu. Kalau Lembaga Survei tidak valid dan tidak betul, kenapa parpol2 besar menggunakan cara ini juga, PDIP menggunakan survei untuk mengukur kepantasan dan kekuatan calon pendamping Megawati, Golkar juga sama dan kata Pak Muladi akan membuat survei sendiri.
Jadi disini terlihat cara ini yg terbaik. Secara periodik Lembaga Survei juga membuat survei dan memberikan untuk publik, maka saya yakin mereka juga tidak tidak berani main2 karena yg mereka jual adalah “kredibilitas”. Oleh karena itu saya hanya memilih tiga dari lima lembaga survei yang saya teliti hasil surveinya terhadap parpol-parpol, mirip, tidak “njomplang”. Tentang pendapatnya yang menempatkan urutan parpol sesuai keinginan atau analisa Mas Syam ya monggo saja deh. Saya hargai pendapatnya.Gitu ya.>Salam>Pray.
nda ndot,
— 15 Januari 2009 jam 9:03 am
pagi pak Pray,
sangat sulit memang untuk betul2 memetakan kekuatan partai2 politik. meski didukung dengan data dan lebih bersifat ilmiah, toh tidak sedikit orang yang meragukan hasil2 survey dari lembaga2 survey yang kredibel sekalipun. ya itu tadi.. dalam ranah politik, semua berbau politis. segala sesuatu yang memungkinkan untuk meraih simpati dan opini publik pasti tak lepas digarap.
menanggapi hasil berbagai survey, bisa dikatakan survey hanya menjangkau masyarakat menengah ke atas dalam hal intelektualitas. paling tidak terjangkau oleh media komunikasi lembga survey. masih ada lagi kelas2 masyarakat yang tidak terjangkau. dan jumlahnya banyak. sangat banyak. mereka ini cenderung tidak punya idealisme politik, tidak mengenal jago2 nya sehingga kemana suara mereka akan sulit ditebak.
saya kira terlalu dini untuk mengira-ira (wah kok susah bahasanya) partai2 mana yang akan berkoalisi. partai2 politik akan lebih bersifat pragmatis, bahkan pks sekalipun (yang ok lah bisa dikatakan partainya orang2 idealis). glenak-glenik dengan pdip beberapa waktu lalu salah satu buktinya. padahal secara idelogis maupun resouce2nya sangat sulit kedual partai ini disatukan. sikap wakil2 kedua partai ini di parlemen sering kali bertentangan. tapi ya itu kepentingan politik siapa bisa menduga. hasil pemilu legislatif nanti akan sangat menentukan pola koalisi partai2 politik.
saya kok ngenes melihat golkar. sebenarnya partai ini mempunyai infrastuktur yang paling baik dibanding partai lain. mesin politiknya kuat jika dikelola dengan benar. masanya sangat besar jika di garap dengan serius. apakah karena golkar tidak punya figur/tokoh yang mumpuni? setelah soeharto memang saya belum menemukan tokoh lain yang bisa menjadi trade mark nya golkar. berbeda dengan pks, selain memiliki mesin politik yang tangguh, masa yang solid, pks juga punya figur tokoh yang punya nama “cukup baik” di masyarakat. muda, idelais, bersih dan berani sepertinya sudah menjadi ke-khas-an tokoh2 pks. meski memang belum “battle proven”. bukannya banyak tokoh2 idealis yang relatif bersih akhirnya berakhir di jeruji besi setelah berurusan dengan kpk.
sby dan mega masih yang paling berpeluang menjadi “finalis”, tapi mesti berhati2 dengan kuda hitam prabowo. dia sudah berhasil membentuk imej di masyarakt. iklan yang mengena, dukungan dana yang besar, orang2 juga sudah lupa “dosa2″ masa lalunya. sepertinya simpati publik kian besar. wiranto masih harus bekerja keras ya. HNW ok lah.. tapi dia punya segmen yang relatif terbatas.
nda ndot
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 9:15 am
Selamat Pagi juga Nda Ndot, pagi-pagi sudah nanggapi nih…tapi ok kok, saya senang, karena politik memang harus kita diskusikan, agar kita yang mengunakan internet lebih “melek politik” daripada masyarakat pada umumnya. Kan netters itu bisa browsing dan membaca banyak hal ya. Menanggapi yg disampaikan, saya sudah mencoba menjelaskan pada tanggapan terhadap tanggapannya Mas Syam diatas, jadi tidak usah kita diskusikan lagi ya.
Menurut pendapat saya, kunci koalisi akan berada pada berapa suara yang diraih sebuah parpol. Partai Demokrat sudah sangat jelas mengatakan koalisi adalah “power sharing”, artinya siapa yang mau bergabung harus membawa suara, agar nanti kalau SBY menang, Pemerintah akan didukung sebuah kekuatan, syukur2 kekuatan koalisinya bisa mayoritas. Ini saya kira berangkat dari pengalaman SBY sebagai pimpinan eksekutif, merasa terganggu di parleman, walau sudah diupayakan membentuk koalisi mayoritas. Tapi pada kenyataannya beberapa parpol temannya kadang suka “lepas libat”, dan bahkan ada kesan agak menjegal. karena itu koalisi yang akan dibentuk dengannya harus solid.
Oleh karena itu saya mencoba masuk kewilayah ini berdasarkan rata-rata hasil survey, yang belum tentu juga valid untuk dipakai pada bulan Juli 2009 saat pilpres, karena Kita tahu hasil survei valid apabila dipakai saat dilakukan survei. Tapi paling tidak saya ingin memberikan gambaran, sebuah “estimate” berdasarkan fakta-fakta yang ada, agar parpol lebih waspada dan tidak terbuai dengan gambaran semu yg ada. Wah, sayang ya. Saya tahun 2004 pernah berbicara dan berdiskusi dengan salah satu petinggi Golkar (yg sangat tinggi) saat itu, memberikan gambaran bahwa dalam putaran kedua peluang Megawati akan kalah dari SBY, jadi saya katakan kepada teman saya agar Golkar memeberikan dukungan ke SBY dimana ada JK yang orang Golkar, tapi keputusan Partai justru mendukung Mega…terbukti kalah. Para elit berpikir kalau dua “jawara” pemilu, PDIP dan Golkar bersatu akan menang, kenyataannya hasil survei yang betul…., SBY yang menang…nah Golkar akhirnya jadi partai besar dan “gamang” kan…sayang menurut saya.
Tentang PKS yang fenomenal, kiprahnya memang banyak “menggentarkan” parpol lain, terutama parpol berbasis Islam. Saya beberapa kali menulis tentang kehebatan dan kenekatan PKS sebagai partai baru yang pintar dan berani, mampu memanfaatkan momentum. Kalau waktunya cukup baik untuk pemilu ataupun pilpres, PKS bisa menjadi partai yang harus diperhitungkan. Memang dalam kondisi masa kini, masih sulit kelihatannnya bagi parpol Islam untuk masuk kepapan tengah, pada pemilu 2004 dua partai baru Demokrat dan PKS mampu mendudukkan diri menjadi parpol papan tengah. Tapi kini dari hasil survei ini saya melihat kecenderungan yang mendapat dukungan lebih besar adalah Demokrat yang kemungkinan akan masuk menjadi papan atas, sementara PKS kemungkinan masih berada dikalangan papan tengah. Bahkan kompetitor terbarunya Gerindra terlihat sudah mulai menyalib elektabilitasnya. Kenapa? Karena yang digarap Gerindra adalah konstituen nasionalis. Sementara PKS harus berebut dengan partai-partai Islam lainnya. PKS sudah mencoba bergeser ketengah, strateginya memang baik, tapi waktu sudah demikian sempit. Ini harus segera diantisipasi. Memang sulit membentuk opini itu.
Tentang Prabowo, Wiranto dan Hidayat Nur Wahid saya kira masih agak berat untuk masa kini merebut posisi RI-1, karena SBY dan Mega sudah semakin kokoh duduk sebagai dua buah “jangkar”. Begitu ya Nda Ndot. Salam>Pray.
Rukyal Basri,
— 15 Januari 2009 jam 9:28 am
Harus diakui bahwa SBY sukses, kecuali dalam bidang ekonomi. Apalagi kalau kita kaitkan dengan ekonomi kerakyatan, khususnya petani dan nelayan, rapor SBY-JK masih merah. Melihat kecenderungan kekuatan politik PD dan SBY ( yang tentu juga akan makin pede), bukan tidak mungkin kalau sejarah dan strategi pilpres 2004 berulang. Ketika itu SBY tidak memilih cawapres dari ketua partai. Tapi justru figur, yang kemudian partai-partailah yang bergabung ke dalam koalisi PD untuk mendukung. Dulu katakanlah JK adalah figur yang tepat. Dan SBY-JK sukses, kecuali bidang ekonomi. Maka untuk menjawab tantangan peningkatan ekonomi kerakyatan dengan target mensukseskan tahap terakhir (2009-2014) bisa saja SBY akan kembali pede untuk menggandeng tokoh non ketua partai, tapi mumpuni dalam ekonomi kerakyatan.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 9:35 am
Mas Rukyal Basri, terima kasih pendapatnya, kemana saja nih…kok baru muncul?.Memang pada pilpres 2004 itu parpol masih banyak yang belajar dalam menghadapi pilpres, banyak yang salah perkiraan, bahkan yang menangpun juga kaget. Untuk pilpres 2009, kelihatannya SBY dan partai demokrat sudah memasang harga koalisi tuh Mas, cawapres harus mempunyai elektabilitas yang cukup tinggi, harus didukung kekuatan parpol juga agar bisa membantu Demokrat di DPR, jadi menurut saya kemungkinan besar Pak SBY tidak akan mengambil langkah seperti tahun 2004, pasangan yang bukan apa2, bisa berbahaya Mas, pemilu legislatif dan pilpres sangat berbeda. Walau koalisi parpol besar…tapi pilpres akan lebih banyak ditentukan siapa tokoh yang maju. Saya pernah menulis, ada hasil survei yang menyebutkan apabila SBY berpasangan dengan JK akan kalah bila head to head dengan Mega yang dipasangkan dengan Sultan,HNW ataupun Prabowo. Ini adalah data penting bagi Demokrat, kelihatannya tidak berarti, tapi sangat berbahaya, bisa menghancurkan sebuah strategi yang dibuat dalam waktu yang lama. Nah, disinilah Mas Rukyal, saya berpendapat bahwa pada pilpres 2009 nanti peran cawapres akan besar sekali dalam memenangkan persaingan itu. Begitu ya, Salam>Pray.
prabu,
— 15 Januari 2009 jam 9:43 am
Salam kenal Pak Pray. Weleh… weleh… lembaga survei hebring pisan euy! Lembaga yang paling banyak dirujuk oleh berbagai lapisan masyarakat dalam sewindu ini. Dan juga secara bisnis merupakan usaha yang paling cepat balik modal. Dengan memasang tarif yang semakin tinggi, ternyata tak membuat nyali ciut bagi para elit politik negeri ini mengantri untuk di survei. Sementara rakyat berdesakan ngantri untuk seliter minyak tanah.
Padahal mantera quick accountnya lembaga survei itu tidak ada apa-apanya dibanding mantera trilogi pembangunannya mBah Harto. Jika lembaga survei meklaim dapat mengetahui pemenang pemilu disaat KPUD sibuk menghitung suara terakhir, sebaliknya mBah Harto bisa mengetahui siapa presiden berikutnya jauh sebelum pemilu, hehehe…. Tabik, pak Pray.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 10:04 am
Mas Prabu, salam kenal juga…itu karikaturnya bagus sekali. Terima kasih sudah menanggapi,memang bisnis ini sangat besar, karena banyak yang perlu, kan berebut kekuasaan uang harus banyak ya, jadi makin teballah dompet para pemimpin survei itu. Namanya orang yang mampu melihat peluang Mas. Kalau jaman dulu yang anda sebut Mbah Harto itu pak Harto, ya betullah selama 32 tahun memang mampu menguasai dunia perpolitikan ditanah air…tidak usah meramal, karena aturannya ya sudah harus begitu. Gitu ya Prabu….Salam>Pray
viant,
— 15 Januari 2009 jam 10:43 am
informasi yang cukup bagus pak Pray, tapi ya itulah .. penggambaran hasil survey ini masih menunjukkan kepentingan partai, golongan, pribadi, bahkan sampai keluarga lebih no.1 ketimbang kepentingan menyeluruh rakyat, tapi ya tetap itu tadi dari rakyatnya sendiri.. apa gak belajar2 atau tersadar dari keadaan2 semacam ini yang terjadi berulang-ulang di negerinya ini.., memang kita wajib memilih / menunjuk seorang pemimpin (apalagi seorang muslim, gak ada istilah golput), tapi ya kita rakyat ini setidaknya teruslah belajar agar dapat memperbaiki keadaan negeri ini pula, jangan lagi lah terbawa hanya suasana hingar bingar pemilu ,kemudian setelah pemimpin terpilih (baik buat pemerintahan mupun parlemen / DPR) nanti gak setuju berkelahi, rakyat lagi jadi alat buat demo (ngerusak lagi..!), mau apa kita rakyat ini kalau begitu2 saja.., banyak sudah informasi mengenai si partai ini atau si partai itu (baik besar maupun kecil) kita lihat sekeliling kita dengan cara2 mereka memajukan calonnya atau tetap menjagokan pemimipinnya yang sudah terpilih, apakah hanya hingar bingar seperti itu yang rakyat mau ini (pembagian ini dan itu, hiburan ini dan itu, janji2 ini dan itu, reklame disana sini), tapi tetap.. juga rakyat ini terhipnotis dengan hal2 tersebut, mungkin gak akan pernah ada suatu parpol dengan calon pemimpinnya atau pemimpinnya yang sudah terpilh mengatakan “kalian rakyat yang mau bergabung dengan kami untuk memimpin negeri ini tidak akan merasakan kesenangan apalagi kemewahan selama rakyat yang kita pimpin tidak merasakan kesenangan dan kemewahan itu”, yang ada selalu ucapan, slogan “mari kita bangun ini dan itu, mari berjuang untuk ini dan itu, dll..”, apakah rakyat tidak bosan seperti itu.., adakah rakyat yang berbicara “parpol.. saya ingin bergabung bersama engkau, tapi saya gak mau dengan pemimpin yang kau tunjuk..” paling juga di lewati begitu saja rakyat tersebut oleh parpol tersebut, bukankah itu sudah menunjukkan bahwa parpol tersebut beserta calonnya atau pemimpin ada maunya..?, mari kita berjuang mencari, menunjuk dan mengangkat pemimpin yang sebaik-baiknya dalam memimpin nantinya agar semakin menaikkan derajat kita sebagai rakyat dan bangsa
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 11:17 am
Viant, terima kasih pendapatnya…bagus juga pendapatnya itu. Memang sulit ya manusia itu, selama dia hidup “complicated”…banyak maunya, emosi, ambisinya banyak yang besar, yang dicari kekuasaan jabatan, uang semua untuk kepentingan dia selama didunia. Banyak yang lupa bahwa hidup didunia ini tidak lama, “hanya numpang lewat”, nah kalau mau berfikir jauh, saya kira siapapun pemimpin itu dia harus mencurahkan hidupnya dalam memimpin negeri ini yang saya bilang aneh bin ajaib, banyak yang aneh2 disini. Sebagai seorang tua diusia senja sebenarnya prihatin sekali, negeri ini kaya tapi kita miskin, negeri ini berbudaya, tapi lihat kita selalu ribut, berkelahi, berintrik ria, menghalalkan cara, yah kapan mau majunya negara ini, kapan mau sejahtera rakyatnya. Saya pikir kita harus berfikir memilih pemimpin yang tegas, berani, rela berkorban, patriot, jujur, pintar, bijaksana,mengerti dan mau mendengar kesulitan rakyatnya…..tapi yang mana ya Viant. Mudah2an dia yang akan dipilih rakyat nanti menyadari bahwa dia akan mengemban amanah sebagai pemimpin negara Indonesia yang kita cintai bersama ini. Begitu ya Viant, mari kita jangan mengeluh, kita sumbangkan pemikiran, tindakan dan sikap kita agar negara kita maju.Salam>Pray.
aramichi,
— 15 Januari 2009 jam 12:10 pm
Yth bapak Prayitno Ramelan
Kalau menurut hitung2an saya sih memang masuk akal hasil survei tersebut termasuk juga proyeksi yang bapak tarik dari 3 lembaga survei. LP3ES sepertinya yang sampelnya paling banyak dan margin of errornya paling kecil 2 %. PDIP memang pendukungnya fanatiknya ya sekitar2 angka itu, berarti tidak terlalu bergeser jauh dari tahun 2004. Sementara menurut saya wajar kalau kenaikan Demokrat & munculnya Gerindra diimbangi dengan penurunan suara Golkar karena mereka bermain di ceruk yang sama, yang satu naik pasti yang satu turun sama persis dengan PKS dan PAN di tahun 2004, PKS naik dan PAN menurun karena segmennya memang sama.
Mengenai Rakernas PDIP, menurut saya terlalu berisiko apabila langsung mengumumkan cawapres pada saat itu juga . Saya rasa rakernas hanya mengukuhkan Megawati sebagai calon presiden, membuat kriteria cawapres, memberikan mandat kepada Megawati untuk memilih cawapres yang akan mendampinginya dalam pilpres. Terlalu berisiko menyebutkan nama cawapres sekarang, saat di mana para tokoh masih sibuk mencalonkan diri sebagai presiden. Saya rasa calon calon yang ditawari tersebut akan jaga gengsi sekarang ini, istilahnya jinak jinak merpati. Akan terasa sakit kalau ditolak sama seperti kalau kita menyatakan cinta eh malah ditolak dengan alasan belum waktunya
Mengenai kemungkinan Hidayat Nur Wahid dengan Megawati , terus terang saya masih ragu karena masalahnya PKS itu mekanismenya berbeda dengan partai partai lain. Kunci PKS bukan di presiden partai tapi dia Musyawarah Majelis Syuro dan mungkin sedikit yang menyadari bahwa kunci PKS adalah Ustad Hilmi Aminuddin apalagi setelah Ustad Rahmat Abdullah wafat. Jadi posisi Hidayat tentu tidak sama dengan Megawati karena Hidayat hanya bisa menjalankan perintah dari Majelis Syuro yang jumlahnya 99 orang, dan suara ketua majelis syuro akan sangat berpengaruh biasanya opsi yang disetujui oleh ketua majelis syuro itu yang didengar. Kalau saya prediksi berdasarkan sejarah dan latar belakang berdirinya PKS, mulai dari kepompong:), kok jauh ya dengan Megawati cs kecenderungan lebih ke mantan tokoh militer….atau tokoh Islam. Kalau Mega duet dengan Prabowo kemungkinannya cukup besar
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 12:14 pm
Aramichi, senang saya kalau anda menanggapi, ada hal-hal yang melengkapi analisa yang saya buat, walaupun ini sebuah analisa kecil dan ringan, tapi kalau para penanggap melengkapi, maka jadilah sebuah uraian, mungkin tidak kalah nij dengan analisa para pakar di media arus utama. Khusus utk Rakernas PDIP, kelihatannya Mas Tjahyo Kumolo sudah mengatakan bahwa mereka akan mengumumkan pendamping Mega nanti, dan Ibu Mega juga saat bersafari ke Makassar mengatakan karena saya wanita maka pendamping saya adalah pria, yang berbobot. Nah, PDIP akan mensosialisasikan pasangan tersebut justrus ebelum pemilu legislatif kelihatannya. Memang ada risikonya, dan pasti cawapres yang akan diumumkan atau dipilih oleh Mega saya kira sudah di hubungi lebih dahulu…benar sih…kalau ngelamar ditolak agak apa tuh…agak “tengsin”, maksudnya malu. Saya kira tidak deh.
Mengenai Hidayat Nur Wahid dengan Megawati, saya kira bisa saja, dalam politik apa sih yang tidak halal, yang dikejar sementara ini kan menang dan berkuasa bukan. Tapi mungkin ada masalah seperti yang anda katakan itu, PKS berfikir, kalau pemilu legislatif mendapat 20% suara akan maju sendiri. Ini artinya kan bisa saja kartu HNW dimainkan sekarang sebagai cawapres Mega, buat jaga2 kalau suara yang diraihnya tidak mencapai target. Kan bisa Kartu dimainkan seperti tahun 2004, kartu JK dimainkan diluar partainya…toh akhirnya JK juga yg jadi Wapres an jadi Ketua Partai. Ini kan terserah kepada pintar2nya para elit dan analis parpol kan Aramichi.Begitu ya…Salam>Pray
Novrita,
— 15 Januari 2009 jam 12:17 pm
Tadi pagi saya baca di koran bahwa ‘Pendukung Abdurrahman Wahid di Surabaya mengalihkan dukungannya kepada seluruh calon legislator PDI Perjuangan. Pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa kubu Gus Dur kemarin meneken kesepakatan dengan pengurus PDI Perjuangan di Rumah Makan Taman Sari, Surabaya, Jawa Timur.’ (koran tempo, 15 Januari ‘09). Sempat saya baca juga tentang pertemuan Sri Sultan Hamengku Buwono dengan Sukmawati.Terlihat sudah mulai ada yang bergerak membentuk koalisi. Apalagi pemilu legislatif sudah semakin dekat… peta politik bergerak namun pergerakan masih belum menunjukkan pergeseran yang significant. Masih saja dari survei ke survei hasilnya adalah seperti yang sudah dirangkum pak Pray. Dan memang kenyataannya partai-partai selain yang dikemukakan di atas belum bisa membuat gebrakan yang akan membuat publik menoleh ke mereka.Ada baiknya buat partai-partai ‘kecil’ untuk membenahi dulu programnya, sehingga niat untuk menyuarakan aspirasi rakyat akan dapat terwujud dengan bisa terpilihnya mereka. Kalau hanya mendapatkan sedikit suara kan tidak mungkin mereka terpilih sebagai wakil rakyat.Saya sendiri awam tentang politik, hanya saran saya apabila programnya mengena dan pas buat rakyat..pasti rakyat akan menetapkan pilihan kepada yang ‘kena dan pas’. Ibaratnya begini, jika ada sekelompok gadis cantik,tentu kita akan bingung mau menentukan pilihan ke siapa… Untuk itu perlu gadis yang tidak sekedar cantik, tapi juga prigel, luwes, kreatif, pinter dsb.. yang pada intinya adalah gadis cantik yang punya nilai plus. Yah.. seperti itulah partai yang ‘kecil’ harus punya nilai plus agar menonjol dan menarik perhatian para pemilih.
Gimana .. apa saya sok pinter pak Pray….? Ini cuma belajar jadi pengamat aja lho…, kan saya murid pak Pray…
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 1:52 pm
Novrita, terima kasih tanggapan dan pandangannya ya. Saya pribadi terus terang salut dan kagum kepada sahabat saya ini yang rajin sekali membaca dan menanggapi setiap analisa politik. Jarang sekali ada wanita tertarik untuk berdiskusi masalah yang satu ini, kecuali yang memang bergelut sebagai caleg. Rata-rata di Face Book kalau ngobrol sama saya hanya mengatakan, aduh berat…diskusi politik, enggak nyampe! Wah padahal yg kita bahas disini adalah sesuatu yang sangat 100X penting, karena kita akan menentukan nasib kita dan nasib bangsa kita untuk lima tahun kedepan. Bagaimana kita tidak mau tahu kan, mudah2an di Forum yang baik ini, kita bisa mendapatkan (sharing idea) tentang kondisi perpolitikan dinegara kita. Saya akan berpegang teguh, kepada pengertian “indie”, tidak akan berfihak, jujur saja membahas apa adanya kan Novrita ya. Sudah tua begini, kalau “bohong-bohong” nanti dicatet malaikat…Udah serem.
Nah menanggapi apa yg disampaikan, tentang PKB, memang sayang ya, saat terpenting mau pemilu, bukannya damai tapi malah pecah kapal…dan kini Gus Dur sebagai tokoh panutan kaum Nahdliyin mulai melanjutkan “politik bumi hangus” setelah menganjurkan Golput, kini seperti yg Novri katakan “Pendukung Abdurrahman Wahid di Surabaya mengalihkan dukungannya kepada seluruh calon legislator PDI Perjuangan.” Kelihatannya benar-benar Gus Dur sudah patah arang kepada keponakannya Cak Imin. Maka senyum2lah PDIP para legislator PDIP tadi. Terus tentang pertemuan Sri Sultan dengan Sukmawati itu atas prakarsa partainya Sukmawati, yang menurut beberapa media Sukma mencoba penjajagan ke ubu Sultan.
Iya betul, parpol-parpol belum membuat gebrakan akan koalisi itu, maka saya membuat estimasi kira-kira akan seperti apa sih koalisi akan terbentuk, kalau tidak ada gebrakan lebih lanjut, ada kemungkinan yang bersaing hanya dua calon SBY dan Mega. Parpol-parpol yang kecil, agak sulit bergerak masa kini, ini sebagai imbas krisis ekonomi dunia yang juga mengimbas Indonesia. Suporter atau penyumbang dana juga mulai kesulitan. Nah yg betul seperti yg dikatakan Novri harus membuat program. Jadi kini parpol2 kecil terinjak oleh parpol besar yang mengunci permainan politik di Indonesia melalui UU Nomor 10/2008 itu tentang PT dan UU pilpres tentang syarat pengajuan capres.
Kini 10 parpol dan ratusan caleg maju ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan gugatan Uji Materi terhadap UU tersebut. Jadi kesimpulannya untuk apa ya membuat parpol kalau dana terbatas dan dukungan belum jelas, momentum tidak ada. Banyak ruginya dari untungnya ya Nov…tapi ada juga untungnya…lumayanlah…Ketuanya paling tidak jadi agak terkenal. Begitu ya Novrie, yang disampaikan bagus dan wajar kok, realistis dengan perkembangan yang ada. Kenapa tidak melamar jadi caleg saja, boleh juga tu, saran saya nanti 2014 maju tapi dari Partai Kompasiana. Salam>Pray
Darmanto,
— 15 Januari 2009 jam 2:14 pm
Tulisan dan analisa pak Pray menarik sekali buat dibaca & dicermati, meskipun buat pemilu kali ini saya bersama isteri & 3 anak saya memutuskan untuk tidak memilih alias GOLPUT, karena saya menilai bahwa partai politik beserta caleg yang ada di dapil saya tidak ada yang berkenan dihati sedangkan capres yang akan maju nantinya dapat dipastikan mega & sby, dimana keduanya sudah sama2 kita ketahui track recordnya selama berkuasa….jadi daripada merasa bersalah karena turut berkontribusi dengan memilih caleg ataupun capres yang tidak memihak kepada rakyat, kami sekeluarga memutuskan untuk GOLPUT.
Secara pribadi saya masih percaya dengan hasil survey dari lembaga2 survey yang pak Pray pilih & pergunakan sebagai referensi untuk membuat tulisan ini, karena mereka merupakan institusi yang sudah berdiri sejak lama dan kredibilitasnya dapat dipercaya…sedangkan anggapan bahwa mereka tidak obyektif karena dibiayai oleh parpol tertentu, menurut saya sangatlah salah karena mereka pastinya tidak ingin menghancurkan kredibilitas yang telah mereka bangun dengan memanipulasi hasil survey untuk kepentingan parpol yang membiayai survey tersebut. Lembaga2 survey tersebut memang dapat berfungsi juga sebagai konsultan politik, tapi hal tersebut dilakukan dengan memberi saran & masukan kepada parpol yg menggunakan jasanya agar dapat meningkatkan perolehan suaranya, bukan dengan melakukan ’setting’ atau manipulasi data hasil survey.
Prediksi saya mengenai hasil perolehan suara untuk pemilu nanti tidak jauh berbeda dengan hasil survey, hanya urutannya saja yang berbeda, yaitu : pdip, golkar, demokrat, gerindra. pks, pan, pkb, hanura, dan ppp….sedangkan untuk capres seperti sudah saya tuliskan diatas masih tetap sby & mega yang kembali dimenangkan oleh sby.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 3:43 pm
Mas Darmanto, terima kasih tanggapan dan pendapatnya tentang hasil analisa, kredibilitas lembaga dan hasil survei yang saya pilih, dan juga keterusterangannya sebagai Golput…golput ideologis nampaknya ya. Dan juga terima kasih atas masukan2nya ya, serta prediksi parpol pemenang pemilu. Memang dari data yang saya olah, hanya valid hingga bulan Desember 2008, jadi bisa saja nanti terjadi perubahan posisi, tergantung aktivitas masing2 parpol serta upaya penaikan citra. Prediksinya ya boleh Mas, SBY X Mega yg menang SBY. Ok Mas Darmanto.Salam>pray.
adhy,
— 15 Januari 2009 jam 4:07 pm
saya pernah menulis agak kurang pd hasil riset. tp untuk tulisan om pray yg ini saya sangat tertarik. karena hasil analis om pray sesuai dengan tren di lapangan.
Para “RAJA” partai sekarang adalah partai demokrat & PDIP. untuk Golkar, saran saya maju saja jangan takut. coba lihat melihat manuver politik PKS. walaupun partai ini masih kecil, tp di mana-mana dengan sangat PD aktif ikut pilkada. walau banyak kalahnya, tp ke-PD-annya mendongkrak popularitasnya, kerjanya, pengalamannya, kematangannya dan kekuatannya. Golkar sebagai partai besar kalo cari aman saja, lama-lama akan kehilangan segalanya.
nah untuk papan tengah, kartu ASnya ada di PKS. Siapapun rajanya kalao ratunya gak cantik wibawanya akan hancur. dan dari beberapa ratu yg ada PKS yg tercantik.
itu dari sisi partai. kalo pun berkembang tidak akan jauh dari itu sampai 2009. untuk presiden masih terus berkembang. pengalaman pilkada, terkadang tidak ada hubungan antara partai dan figur. lihat JABAR. saya orang JABAR. di masyarakat walau hatinya MERAH/KUNING banget, tp “jatuh cinta” pd dede yusuf, ya pilihannya HADE.
gmn om???
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 4:17 pm
Adhy, terima kasih tanggapannya, dan syukur kalau suka dengan analisa yang saya buat, yah hanya itu yang bisa dibuat blogger tua ini. Masukan-masukannya jelas menambah ulassan yang saya buat. Salam ya>Pray.
aramichi,
— 15 Januari 2009 jam 4:28 pm
Yth bapak Prayitno Ramelan & Novrita
Terima kasih atas infonya nih mbak Novrita, saya sama seperti om Pray juga kagum nih terhadap mbak Novrita, selain cantik sepertinya juga punya nilai plus nih he he he he he pasti banyak parpol yang berminat meminang untuk menjadikan caleg, bukan saya gombal loh ya tapi memang kenyataan.
Mengenai Gusdur, sejak kecil saya memang suka tokoh ini, begitu piawai dan cerdas berpolitik. Saya inget dulu manuver dia mendukung Pak Matori ketika perebutan ketua umum PPP tahun 1994, terus ketika dia membentuk Forum Demokrasi dan menolak bergabung ke ICMI sebuah langkah yang tepat menurut saya, terus langkahnya menggandeng 2 srikandi kembar, mbak tutut dan mbak mega pada pemilu 1997, membentuk PKB tahun 1998, langkah dia menitipkan Saifullah Yusuf di PDIP, akhirnya bisa terpilih jadi Presiden tahun 1999 dengan memanfaatkan sokongan poros tengah dan restu kiai Langitan menurut saya itu merupakan bukti kecerdasan seorang Gusdur dalam berpolitik. Sekarang dia menggembosi PKB sama seperti yang dilakukan terhadap PPP di pemilu 1987 hanya bedanya kalau 1987 dia didukung oleh banyak kiai sepuh mungkin sekarang tidak sebanyak dulu karena ada yang sebagian ikut PKNU. Ternyata menurut hasil survei suara PKB menurun drastis hampir setengahnya kalau dulu dapet 10 % lebih sekarang hanya sekitar 4 % hal ini membuktikan bahwa pengaruh Gus Dur masih ada terutama di Surabaya dan daerah tapal kuda. Saya inget dulu memang di Surabaya pendukung Gus Dur begitu fanatik dan banyak, Gus Dur memang termasuk tokoh panutan di sana.
Langkah Gus Dur yang ternyata merapat ke PDIP tidak mengejutkan kalau menurut saya karena sepertinya Gus Dur ingin mengirimkan pesan. Tapi sebenarnya pesannya terutama bukan buat PKB tapi justru pesan utamanya untuk pemerintahan SBY-JK, Gus Dur menyimpan kekecewaan kepada pemerintah terutama menteri kehakiman dalam kemelut PKB kemarin. Jadi ini adalah langkah kuda Gus Dur yang memukul dua sasaran sekaligus yaitu pemerintah dan partai partai utama pendukungnya serta PKB. Jadi dengan memperkuat PDIP yang merupakan saingan berat partai2 pemerintah, Gus Dur secara tidak langsung menghukum pemerintah sekalian membuktikan bahwa tanpa dia PKB tidak ada apa apanya sembari berharap mungkin mendapatkan keuntungan apabila kelak PDIP berkuasa. Seperti kita tau tidak ada makan siang gratis dalam politik. Ini hanya sekedar analisis saya saja belum tentu kejadiannya seperti itu ya namanya juga hanya menebak nebak he he he he.
Novrita,
— 15 Januari 2009 jam 5:20 pm
Wah.. terima kasih mas Aramichi (eh betul mas ya…?). Saya sedang berusaha keras menahan kepala saya supaya tidak terus membesar… Kok ada yang bilang saya cantik…Jangan-jangan salah orang nih…
Btw, saya senang ada yang melanjutkan tulisan pak Pray.. Jadi lebih tahu tentang Gus Dur..Memang beliau adalah tokoh yang cerdas. Manuvernya tidak bisa diduga..
Bukan begitu pak Pray..?
aramichi,
— 15 Januari 2009 jam 6:34 pm
Yth bapak Prayitno Ramelan & mbak Novrita
mbak Novrita, beauty is in the eye of the beholder. Pak Pray kira kira bagaimana dengan faktor Gus Dur ini masih bisakah mempengaruhi perpolitikan dikaitkan dengan koalisi antar parpol maupun antar capres & cawapres karena sekalipun mungkin sekarang mutung dengan PKB tapi pengikutnya ternyata masih banyak. Terus terang saya senang akhirnya Gus Dur tidak menyerukan golput.
Prayitno Ramelan,
— 15 Januari 2009 jam 7:12 pm
Mas Aramichi, Memang Gus Dur tadinya menjadi tokoh yang sangat kuat pada saat beliau solid berada di tengah2 NU dan PKB, tapi kelihatannya kekuatan dan pengaruh beliau saya lihat sudah ter “degradasi” baik oleh pimpinan NU dan Ketua Dewan Tanfidz PKB, kini yang diandalkan adalah kharisma, yang merupakan senjatanya terakhir beliau. Pimpinan NU kelihatannya juga sudah lelah dengan konflik yang berkepanjangan di internal mereka, dahulu saat saya membantu Pak Matori Alm, gambaran perlawanan terhadap Gus Dur sebenarnya sudah nampak walau masih tersembunyi, dalam posisi ini hanya Pak Matori yang berani membawa kemeja hijau. Sejak itulah maka orang baru berani agak terang-terangan melawan Gus Dur, memang Gus Dur itu seperti yg anda katakan, agak sakit hati kepada pemerintah yang dinilainya memihak kepada Kubunya Cak imin (kubu ancol), hingga kini langkahnya ditujukan sebagai aksi protes baik kepada kubu SBY maupun Cak Imin. Sebenarnya Gus Dur secara politis sudah pernah mencoba merapat dan menawarkan posisi tawarnya ke Istana, tapi responnya dinilainya tidak baik, kini bergabunglah dia dengan lawan SBY(Mega dan PDIP). Menurut saya pengaruh Gus Dur itu masih besar, tetapi Ketua Umum PBNU juga sudah berjaga-jaga sejak lama, karena tidak menghendaki suara PKB jatuh ketitik nadir, karena walau bagaimanapun PKB adalah partainya kaum Nahdliyin yang kini dikontrol PBNU. Dari hasil survei terlihat PKB masih lumayan perolehannya, walau merosot. Kekuatan PKB adalah juga bagian dari “bargaining power” dari PBNU. Saya kira begitu ya Aramichi.Salam>Pray.
@Novrita…iya Gus Dur tokoh generasi penerus dari kiai nasab yang paling pintar dan berbobot, kita tunggu apa langkah selanjutnya dari beliau…saya juga pernah mengenal beliau Novri, paling pintar cerita yang lucu2…tapi idenya bukan main….dan berani…nekat! Salam>Pray
TITAH SOEBAJOE,
— 16 Januari 2009 jam 7:24 am
Cak, survey-survey itu apa ya benar? Saya ini awam mengenai survey. Methode yang mereka pakai itu bagaimana ya? Berapa orang yang disurvey? Mewakili siapa saja yang disurvey itu? Dalam kondisi bagaimana mereka disurvey? Lha wong sama-sama mewakili profesi, misalnya tukang jualan soto, atau sopir bajaj saja pendapatnya beragam apalagi kalangan orang sekolahan. Lebih-lebih pengusaha besar yang biasanya punya jagoan siapa saja asal menguntungkan usahanya. Kalau mau jujur, sampai saat ini, kita-kita ini tidak pernah ketiban pertanyaan untuk di survey. Bagaimana bisa ujuk-ujuk ada hasil survey yang menetapkan partai anjing 25%, partai kadal 13%, partai babi 2%, tapi tiba-tiba partai monyet naik 97%. Padahal total suara 100%. Belum lagi partai kebo yang tadinya banyak, karena bersama partai babi dan partai ayam kena potong untuk korban jadi partai gurem. Karena si Surveyor, tidak pernah lagi terima setoran dari yang bersangkutan. Setelah rakyat memberi tanggapan minor, mereka bersatu, agar ladang usahanya tidak saling menjatuhkan. Saya minta pendapat sampeyean Cak. Dan biasanya surveyor demikian anak-anak muda. Betapa sedih kita ortu yang jadul ini melihat kebohongan-2 mereka hanya untuk hidup secara hedonis. Saya masih ingat tentang cerita PAN dan Rizal atau Siapa yang belakangnya Mallarangeng itu, sampai hubungan gara-gara PAN merasa dirugikan sebagai pasien konsultan politik. Konsultan politik itu kan mendasari kegiatannya dari cerita survey. Sekali lagi mas, saya kok belum mudeng dan belum percaya tentang hasil survey. Karena cerita ramal-meramal begini kan mirip dukun kampung yang dari dulu sudah ada. Bedanya sekarang ada tujuannya dan agar ngganteng dibungkuslah ramalannya itu dengan survey. Persis tukang jual jamu, supaya banyak memikat orang, mereka pakai ular. Kalau dulu dukun ramal dikampung cari uang receh, sekarang tentu lebih canggih.Kedudukan, gaya hidup yang nikmat. Kembali lagi mas tolong diwedar dalam penjelasan yang jernih supaya rakyat ini tidak tambah mumet karena cerita survey yang membingungkan itu. Salam hangat saya, Bayu(Penyu Arema)
Prayitno Ramelan,
— 16 Januari 2009 jam 8:37 am
Mas Titah Soebajoe….yang sekarang ada tambahannnya Penyu Arema. Memang banyak orang itu cak yang “kadit” (bahasa walikan artinya tidak) percaya kok, mosok iya dengan sample hanya berapa ribu orang bisa mewakili sekian ratus juta orang, sama seperti pemikiran arek ngalam (malang) ini. Ragu-ragu begitu ya kang. Opo bener nih. Terus terang saya secara tehnis detail juga tidak tahu cara mensurvei itu, oleh karena itu para pelaku survei seharusnya menjelaskan tentang metodologinya secara detail kepada masayarakat. Tetapi ya begitu itu, rahasia perusahaan kali ya.
Begini kang, pada tahun 2004 saat akan dilaksanakannya pemilu dan pilpres, saya mengamati bagaimana membuat ukuran keberhasilan kampanye parpol dan pilpres, bagaimana posisi masing-masing. Ternyata dalam kegiatan perpolitikan ada yang namanya survei, dan survei juga umum dilakukan dinegara mana saja kalau mau pemilu. Indonesia agak ketinggalan, karena selama 32 tahun kan tidak perlu survei, dominasi Pak Harto dan Golkar mampu menguasai dunia politik kita.
Nah, saya mengikuti surveinya IFES yang dilakukan oleh Indonesian Pooling, dapat dukungan dana dari Jimmy Carter, sebagai sumbangan kepada Indonesia. Ternyata sangat menarik kegiatan tersebut…sayapun heran, sama seperti arek ngalam ini. Apa iya sampel yang diambil dari sekian ribu orang bisa mewakili sekian banyak pendapat orang. Ternyata kegiatan survei itu “ribet” Mas, jadi untuk mensurvei 33 propinsi, dibagi jatah tiap propinsi berapa target yg akan diambil pendapatnya, responden dipilih dan diteliti. Yg saya ingat, diambil ukuran pendidikan, SD,SMP,SMA hingga perguruan tinggi. Kemudian tingkatan umur, status kehidupan, kepartaian, dimana dia tinggal apa di kota, apa di desa. Nah, kepada mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan yang cukup banyak, sesuai dengan tujuan survei tersebut, kalau tentang cawapres, maka diajukan sekian banyak nama calon, responden tadi disuruh memilih. Juga terhadap pertanyaan2 lainnya. Setelah terkumpul hasilnya kemudian dianalisa, ini bagian terpenting karena di lembaga survei ada analis2 handal, yg mampu membaca hasil.
Hasil sebuah lembaga survei disebut sebagai sebuah persepsi publik, jadi ini bukanlah hasil sebenarnya seperti hasil pemilu, karena hanya sebuah persepsi. Tapi dengan metode yang benar, pelaksanaan yang jujur, maka hasilnya rata-rata dikatakan bisa dipercaya sekitar 95%, dan disebutkan juga margin of error, yah kemungkinan melesetnya kira-kira begitu. Sebuah hasil survei yg margin of errornya kecil akan lebih baik daripada yang besar. Dan yang terpenting hasil survei hanya valid dipakai pada saat dilaksanakan survei, tidak pada masa mendatang.
Tentang masalah kejujuran, mungkin saja lembaga survei ada yg tidak jujur, akan tetapi “periuk nasi” mereka sangat-sangat tergantung pada “kredibilitas” atau kata lain kejujuran itu. Parpol juga bukan organisasi yang “naif” kan, mereka pasti akan mengikuti track record sebuah lembaga survei sebelum menyewanya. Lembaga2 itu hidupnya ya dari disewa oleh parpol atau caleg untuk kebutuhan internal macam2,pilkaa, pemilu, pilpres, akan tetapi lembaga itu juga melakukan survei sendiri, seperti hasil yg saya sampaikan diatas tentang posisi 8 parpol (bln Desember 2008), dimana di persepsikan yang lolos persyaratan pariamentary treshold yg 2,5%. Mereka rata-rata punya yayasan yg mengelola koceknya.
Nah, sayapun sebagai blogger yang mengamati dunia perpolitikan ini menggunakan hasil survei yang disiarkan lembaga-lembaga survei itu secara periodik, saya juga meneliti dan mngamati 5 lembaga survei. Kalau mereka pada periode yg sama dan hasilnya jauh berbeda kan jadi aneh, dari 5 lembaga itu saya memilih 3 lembaga yg saya pandang valid (dari kacamata saya), yg dua tidak saya pakai, karena ada sebuah parpol yng oleh 3 lembaga dikatakan elektabilitasnya rendah, eh di lembaga itu berada tinggi diatas, kan tidak wajar. Jadi demikian Cak, saya melakukan analisa ini tidak begitu saja, saya juga melakukan penelitian dan mempelajari lembaga2 itu, kalau saya menggunakan sebuah fakta yang menyimpang, kan artinya analisa saya juga menyimpang kan. Jadi data2 tersebut saya konfirmasikan dulu satu sama lainnya. Dan tidak mungkin kalau lembaga2 itu bekerja sama, karena justru diantara mereka saling bersaing, ingin membuktikan kepada publik kalau hasil surveinya yg paling tepat.
Ini hanyalah sebuah sumbang pemikiran, dengan sebuah referensi yang bisa dipertanggung jawabkan (maksudnya oleh lembaga-lembaga survei itu), tinggal saya mengolahnya kan, saya mengerjakan dengan ringan, tanpa beban, karena saya hanyalah seorang blogger kompasiana yang tidak memihak, independen, jujur….hanya itu cak modal saya. Begitu ya Mas Bajoe yg Arema, mohon maaf kalau ada penjelasan yang kurang pas, karena saya tidak expert dalam masalah Survei, saya hanya pengguna hasil survei dan mempercayainya (walau tidak semua!!). Sampun nggih kangmas. Salam>Pray
Sukma,
— 16 Januari 2009 jam 11:28 am
Maka itu, saya pikir parpol2 gurem harus menyadari positioningnua. Yang mungkin lolos PT hanya sekitar 8 sampai 12 parpol saja menurut saya. 48 parpol terlali banyak, tapi jika 3 juga terlalu sedikit.
Saya pikir hanya 9 parpol lama dan 4 parpol baru yang akan siap dari segi positioning ikut Pemilu 2009.9 parpol lama yang siap: GOLKAR, PDIP, PKS, DEMOKRAT, PAN, PKB, PPP, PDS, PBB5 parpol baru yang siap: GERINDRA, HANURA, PDP, PKNU, PMB
Darmanto,
— 16 Januari 2009 jam 2:13 pm
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada pak Pray yang telah menjawab & menjelaskan secara detail & runut mengenai sistematik & prosedur melakukan suvey, sehingga saya yang awam & ndeso semakin bisa mengerti & yakin dengan hasil survey yang dirilis oleh lembaga survey yang profesional & akuntabel.
Wass,Darmanto
beninghati,
— 16 Januari 2009 jam 2:54 pm
Pak Prayitno ….saya pingin ikut nimbrung nih…
Saya sempat terlibat dalam survey dan masuk dapurnya LSI. Tapi sekarang hanya melibatkan diri dalam salah Litbang suatu lembaga. Mengenai sampel yang sedikit itu memang ada hitung2anya, maksud saya ada rumus dan teorinya. Sebagai contoh kalo kita mau mensurvey di Jakarta dengan penduduk sebanyak 4 juta orang (CMIIW) paling hanya butuh sampel 400 - 500 responden dg margin error 4 %. Margin Error ini juga ada teorinya lho……
Sebenarnya Metodologi ini tidak menjadi rahasia perusahaan, kalo suatu lembaga survey mengumumkan hasil surveynya ya…harus dijelaskan metodologinya. Kalo LSI biasanya menggunakan Multistage Random Sampling, disamping itu ada yang namanya Sistematic Random Sampling, juga ada Simple random.
Metodologi ini semuanya benar dan ada landasan teorinya dalam Ilmu Survey Statistik.
Nah yang menentukan perbedaan setiap lembaga survey dalam menjalankan surveynya antara lain: faktor materi survey(wawancara), Surveyor (Pewawancara) dan Penyandang Dana dari surve tsb.
saya tidak bermaksud membuka aib ya….tapi kita belajar melihat fenomena yang berkembang di jagat perpolitikan kita tentang adanya lembaga2 survey. LSI dalam menjalankan surveynya selalu membagi 2 aktivitasnya yaitu sebagai Lembaga Penelitian (Survey) dan Lembaga Pemenangan (untuk memenangkan calon /partai yang memebayar mereka). Sebagai lembaga Pemenangan LSI memberikan rekomendasi kepada pesannya bagaimana strategi/kebijakan yang harus diambil untuk memenangkan pemesannya.
Segitu dulu deh
mahendra,
— 16 Januari 2009 jam 3:12 pm
selamat sore pak pray,
kalau nantinya sesuasi apa yg menjadi perkiraan diatas, cuma ada dua pasangan copres-cawapres. mungkin ada baiknya juga, karena pemilihan presiden cuma sekali putaran saja, tidak usah ada 2 putaran atau bahkan ada babak tambahnnya lagi, bikin boros!! siapapun nantinya yg menang memang itulah pilihan rakyat. asal tidak ada gugatan2 yg berarti ke MK. biar pemerintahan sesuai jadwal, tidak molor2…tapi kalau calon nantinya yg jadi maju cuma 2 pasang saja, jangan salahkan jika para golput juga banyak, karena aspirasi mereka yang tidak tersalurkan.karena hal tersebut juga merupakan pilihan dalam berdemokrasi. bukannya sakit hati lho ya??salam
Prayitno Ramelan,
— 16 Januari 2009 jam 10:35 pm
@Mas Sukma, terima kasih sudah memberi tanggapan, iya betul, kalau berdasarkan hasil survei tersebut diatas maka apabila pemilu dilaksanakan pada bulan Desember 2008 maka parpol yang lolos PT ya hanya 8 itu. Tapi nanti pada pemilu April 2009 kelihatannya jumlahnya akan bisa bertambah, kan parpol2 belum tancap gas, nanti pada Maret 2009 baru mereka akan kampanye habis-habisan. Kita lihat saja ya, sebenarnya beberapa parpol lama yg lolos PT tahun 2004 juga ada yg diposisi bahaya. Kecuali gugatan dari 10 parpol dan para caleg terhadap materi UU No.10/2008 tentang Pemilu khususnya yang menyangkut PT dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Ramalan anda boleh juga nanti yang kemungkinan lolos PT sekitar 13 parpol Salam>Pray.
@Mas Darmanto, sebenarnya saya mengerti benar juga tidak tentang metoda survei, hanya thn 2004 pernah ada sedikit pengalaman mengikuti survei pemilu, jadi sedikit pengetahuan dan ditambah beberapa keterangan dari beberapa tokoh survei Indonesia seperti Denny JA, Mas Qodari, Mas Umar Bakri, itulah sedikit penjelasan. Nah, pada saat membuka Kompasiana ada yg namanya “Beninghati” yang berbaik hati, pernah bekerja di Lembaga Survei LSI, mau sharing menjelaskan tentang Survei. Gitu ya Mas Dar, Salam Hangat Mas>Pray,
@Beninghati, is Takfl ur name?. Pertama-tama saya atas nama para teman dan sahabat di Kompasiana penggemar politik mengucapkan terima kasih atas kesediaannya memberi penjelasan tentang survei, yang perlu tapi masih banyak diragukan oleh banyak fihak. Akhirnya saya mencoba menjelaskan…mungkin penjelasan saya kurang pas ya Mas yg hatinya bening. Seperti penjelasan saya saat ditanya apa warna angin itu, saya jawab “merah”…ah yang betul, lihat saja kalau kerokan masuk angin kan warnanya merah. Yah begitu lah si Blogger kakek ini mencoba menjelaskan.Bagi para teman, penanggap, pembaca, yg masih ragu2 silahkan membaca penjelasan Mas Beninghati, semoga menjawab semua keraguan dihati itu. Ok Mas Kaful, kalau bisa tolonglah anda sekali-kali nulis tentang survei ini, dan dikirim ke kompasiana biar kita-kita tercerahkan begitu…Salam>Pray.
@Mas Mahendra…seneng lho membaca tanggapan anda itu. Ada rasa menyetujui tapi ada rasa mangkel juga dikit-dikit…maksud saya mangkel itu sedikit dibawah sakit hati (Maaf lho ya). Kan ini posisi bulan Desember Mas, saya berani mengatakan kalau posisinya begitu maka kemungkinan hanya akan ada dua nih yang maju jadi capres. Kita lihat saja pilkada DKI Jakarta, sekian banya parpol tapi yang maju hanya dua kubu yaitu Kubu Bang Foke Rame-rame melawan Kubu Kang Adang yang hanya didukung PKS. Jadi bisa saja nanti ada Kubu SBY Rame-rame melawan Kubu Mega yang didukung satu atau dua parpol. Karena parpol2 kan banyak juga nanti menunggu setelah pemilu,akan terjadi blok, mereka yang kurang kuat akan bergabung ke Capres yang kuat. Tapi entah ya, dengan prinsip power sharing apakah Demokrat mau menerima parpol yang hanya punya 2 atau 3 kursi di DPR? Biasalah banyak yang mau lihat-lihat situasi dahulu. Tapi menurut saya setelah pemilu nanti pasti banyak parpol yang akan “kapok” meneruskan berkiprah…ongkosnya banyak, tidak dapat apa2, salah2 punya hutang lagi. Saya perkirakan jumlah parpol setelah pemilu otomatis akan menyusut, lebih baik menyalurkan aspirasi ke prpol besar saja “It’s better”. Tentang Golput tambah banyak ya mungkin saja Mas, setelah Golput Ideologis, Golput Pragmatis, Golput Apatis…kemarin saya nonton di Teve ada lagi Golput Administratif. Iya kali ya…Salam Deh, yg sabar jangan kecewa dulu, sapa tahu jagonya tahu2 melonjak…Salam>Pray.
adhy,
— 17 Januari 2009 jam 9:44 am
mengenai Gus Dur. saya hanya mengulang komentar saya di tulisan om pray tentang manuver politik PKS (iklan Suharto). di sana saya menulis bahwa realitas-realis baru Indonesia akan menimbulkan trsformasi politik.
- Perbandingan kaum urban(kota) - rural (desa). Menurut data dari BPS, perbandingan ini akan mengalami titik balik pada tahun 2010 di mana perbandingannya menjadi sekitar 54% urban dan 46 rural.- Distribusi informasi yang semakin merata karena peran media. dampaknya tidak ada lagi asimetris informasi. Karena konektifitas, maka disparitas antara desa dan kota dalam soal informasi tidak relevan.
Realitas baru perpolitikan di Indonesia tersebut, akan menyokong terjadinya proses transformasi besar-besaran dalam tradisi perpolitikan itu sendiri, salah satunya Transformasi dari tokoh kharismatik kepada tokoh kinerja. Akan ada transformasi bahwa masyarakat semakin mengutamakan tokoh yang berbasis kinerja dari pada tokoh yang berbasis kharisma. Dan, ini merupakan salah satu perspektif penting dalam komunitas urban. Karena itu di sini ikatan-ikatan primordial seperti suku, agama bisa jadi tidak relevan.
inilah yg sedang terjadi pd Gus Dur, kharismanya mulai luntur. saya melihat dia sedang mengalami pos power syndrom.
imran rusli,
— 17 Januari 2009 jam 1:03 pm
Iya tuh Pak Pray, udah gitu Gus Dur masih saja terus mlorotin citranya sendiri, ngeyel banget dengan arogansinya, padahal udah mati pajak dan dilecehkan pona’an sendiri, weleh weleh. Btw senang baca analisis-analisis Pak Pray, wawasan jadi nambah nih, tq Pak.
Prayitno Ramelan,
— 17 Januari 2009 jam 6:40 pm
@Adhy, terima kasih pendapatnya, bagus sekali sebagai masukan bagi para pembaca…memang jaman sudah berubah, akan terjadi pergeseran nilai di negara kita, pengaruh globalisasi memang sangat besar pengaruhnya…saya setuju kalau nanti masyarakat lebih membutuhkan tokoh yang dinilai dari kinerjanya bukan kharisma, lihat saja…banyak anak yg kadang sudah mulai kurang menghargai orang tuanya. Ini mungkin yg juga sedang terjadi pada Gus Dur…diremuk redam oleh kalangannya sendiri yang relatif muda-muda. Tks.Salam>Pray.
@Imran Rusli, terima kasih dan saya bersyukur kalau anda suka dengan tulisan dan analisis yg saya buat…baca terus ya…Salam>Pray.
imran rusli,
— 30 Januari 2009 jam 9:06 pm
he he tentu Pak Pray, ibarat kuliah ini kuliah penuh gizi, dosennya enak lagi, mau 200 sks pun ditongkrongin nih
Prayitno Ramelan,
— 30 Januari 2009 jam 11:13 pm
Mas Imran….terima kasih atas kesediaannya….semoga nanti kopdar Kompasiana bisa datang, buat kenalan, kan lebih akrab dan enak ya. Salam>pray.

1 komentar:

Fari mengatakan...

Jakarta, Aktual.com — Guru besar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menghadiri pembukaan Musyawarah Nasional Partai Keadilan Sejahtera ke-4 di Depok, Jawa Barat, Senin (14/9). Jimly yang kini menjabat sebagai Ketua DKPP datang sebagai tamu pejabat negara.

Nah, dalam kesempatan itu, Jimly menyinggung beberapa anggota masyarakat seakan tidak pernah kapok membuat partai politik? Apa maksudnya…

BACA SELENGKAPNYA DI :

Kenapa Orang Indonesia Tidak Kapok Bikin Parpol?