Oleh: Prayitno Ramelan
20 Januari 2008
” Sebuah renungan dihari peringatan maulid Nabi Muhammad SAW”
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Negara-negara barat dengan pemain utamanya Amerika Serikat, selalu berusaha membujuk masyarakat lain untuk mengadopsi ide-ide Barat tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Suatu pemerintahan demokratis yang modern akan selalu meniru dan modelnya berasal dari Barat. Ketika berkembang dimasyarakat non Barat, hal ini biasanya merupakan produk dari kolonialisme atau pemaksaan dari Barat.
Indonesia mengartikan demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politika yang membagi ketiga kekuasaan politik Negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif), diwujudkan dalam tiga jenis lembaga Negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran ketiga lembaga Negara diperlukan agar ketiganya bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances.
Selain pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung. Pemilu tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilu. Tidak semua warga Negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Itulah sedikit gambaran tentang teori demokrasi. Menurut Fareed Zakaria, faham demokrasi adalah yang terpopular didunia, kini terdapat 118 dari 193 negara diseluruh didunia yang menggunakan sistem demokrasi.
Demokrasi yang mana?
Para founding fathers telah memikirkan walau kita memilih sistem demokrasi yang bukan asli Indonesia, kita tidak menelan secara mentah-mentah faham tersebut, tetapi harus dilandasi dengan pemikiran dan budaya Indonesia yaitu Pancasila yang juga digunakan sebagai falsafah negara.
Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, sistem demokrasi telah digunakan dan hingga kini dapat dibagi dalam empat masa. Masa Republik Indonesia I (Demokrasi Parlementer), Republik Indonesia II (Demokrasi Terpimpin), Republik Indonesia III (Demokrasi Pancasila) dan Republik Indonesia IV (Reformasi Demokrasi/Demokrasi Liberal).
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru, para tokoh reformasi menggulirkan penggunaan demokrasi secara murni, lepas dari kekangan penguasa. Kekuasaan ditangan rakyat, rakyat diberi kebebasan sebagai pemilik kedaulatan di Indonesia. Marc F. Plattner mengatakan dalam demokrasi liberal, kata liberal tidak mengacu kepada siapa yang berkuasa tetapi pada bagaimana kekuasaan dijalankan. Apa yang paling utama?. Pemerintah dibatasi kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaannya. Pemerintah dibatasi oleh aturan hukum, khususnya oleh hukum dasar atau konstitusi. Namun, utamanya kekuasaan pemerintah dibatasi oleh hak-hak setiap individu. Hak yang sangat popular sekarang ini yaitu hak-hak asasi manusia, sebenarnya berasal dari liberalisme.
Pertanyaannya, kita sebenarnya akan kemana?. Sudah sepuluh tahun sejak pergantian pemerintahan Pak Harto, ke Pak Habibie, Gus Dur, Ibu Mega, hingga kini Pemerintahan Pak SBY. Apakah yang dihasilkan dari pelaksanaan demokrasi ini. Apakah terjadi perbaikan kehidupan rakyat yang berarti?Pengentasan kemiskinan? Perbaikan perekonomian Negara? Perbaikan ekonomi rakyat? Perbaikan pendidikan?Rakyat lebih sejahtera?.
Yang terlihat adalah kondisi perekonomian negara yang sulit, pejabat dibidang ekonomi mengeluh, anggaran beberapa departemen th anggaran 2008 akan dipotong. Timbulnya kekacauan, rakyat bebas, bebas melawan, sedikit-sedikit ribut/menggunakan kekerasan, turun dan hilangnya kewibawaan aparat pemerintah. Siapapun bebas menjelekkan pemerintah, mencerca, bahkan kadang mengutuk. Sementara dilain sisi banyak potret sulit yang membelit rakyat, harga-harga naik, bensin naik, minyak tanah sulit. Indonesia jadi pengimpor beras terbesar, padahal tahun 1984 sudah swasembada pangan. Mau makan tempe saja susah, mahal, sebagai bangsa penggemar tempe dan tahu, kita kini tidak mampu menghasilkan kedelai, sedangkan tanah kita luas dan subur.
Rakyat disibukan memilih gubernur, bupati, walikota, tiap minggu ada pilkada,jelas rakyat dimanapun terpecah menjadi kubu-kubu pendukung calon pejabat daerah tersebut. Untuk apa?Kenapa mesti begitu?Disemua daerah rakyat dipecah?Karena aturan dibuat begitu, karena ini Negara demokrasi. Siapa yang mengatur begitu, ya politisi itu. Pada akhir pilkada pasti ada yang kalah dan ada yang menang, akhirnya ada yang tidak puas, sakit hati, dendam. Lihat kasus pilkada di Maluku Utara yang dipenuhi dengan dendam dan kebencian warga sesuku yang tidak kunjung usai.
Inikah yang diinginkan bangsa kita dengan demokrasi kini?.Yang disalahkan siapa? Jelas yang mudah disalahkan presiden dan pemerintah sebagai pengelola Negara. Sebenarnya yang salah sistemnya atau pemerintahnya?. Pemerintah hanya melaksanakan dan mengemban amanat rakyat yang memilihnya, kekuasaannya dibatasi, dipagari, mau bergerak menjadi gamang, mau memutuskan juga harus berfikir panjang, ada resiko-resiko yang harus dipertimbangkannya.
Jadi sebenarnya yang berkuasa dinegara ini siapa. Ya sistemnya itu, sistem demokrasi liberal jelas dari Negara-negara Barat, kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita ini sudah diatur oleh Negara Barat dengan sistem mereka. Kita menari dengan gendang mereka. Ada yang kita lupakan yaitu Pancasila sebagai falsafah terbaik yang pernah kita miliki. Kita lupa terhadap azas musyawarah untuk mufakat.
Dalam penerapan demokrasi saat ini ada nilai luhur bangsa kita yang hilang, kemanusiaan yang adil dan beradab, lihat saja kelakuan masyarakat, banyak yang menjurus kearah anarkis, tali asih dan asuh hilang, rasa saling menghormati juga hilang. Nilai persatuan hilang, semua dibuat berhadapan, sebagai pesaing, sebagai musuh. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat tidak bisa diharapkan.
Sekarang ini siapa yang mau membicarakan Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya?
Perlu kita ketahui bahwa didunia ini terdapat dua faham yang besar pengaruhnya yaitu komunisme dan liberalisme. Kunci keduanya untuk menguasai sebuah Negara berbeda. Komunis harus menggunakan partai, bersaing dalam pemilu. Faham ini mudah popular dinegara-negara terbelakang dan berkembang. Pada tahun 1965 komunis hampir memenangkan dan menguasai Indonesia melalui PKI, hanya tergelincir dan gagal. Faham liberalisme tidak perlu menggunakan partai, tetapi masuk secara wajar dalam bentuk penerapan demokrasi liberal.
Fareed Zakaria mengatakan bahwa demokrasi tanpa liberalisme konstitusional bukan hanya tidak memadai, tetapi juga berbahaya, karena akan mendatangkan erosi kebebasan, penyalah gunaan kekuasaan, perpecahan etnis, dan bahkan perang. Disinilah kita bangsa Indonesia berada disuatu persimpangan jalan, akan tetap menggunakan Demokrasi yang Pancasila atau demokrasi liberal seperti yang digunakan oleh masyarakat barat.
Yang perlu disadari bersama adalah bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih rendah pendidikannya, tidak mengerti demokrasi, yang ditangkap hanya kebebasan semata. Begitu liberalisme digunakan, maka kekuasaan diatur oleh legislatif sebagai wakil rakyat dengan menciptakan Undang-undang, jelas yang akan memperkuat posisi mereka. Di negara ini tidak ada yang berdaya apabila dihadapkan dengan undang-undang. Pemerintahpun juga dibuat tidak berdaya, lihat saja contoh kasus pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Sejak jatuhnya orde baru, timbul euphoria kebebasan, lepas dari tekanan. Para politisi dengan semangat dan pengetahuan demokrasinya merubah tatanan dinegara ini dengan kata bertuah reformasi, bahkan UUD 1945 diamandemen beberapa kali. Semua tidak berdaya, takut, bahkan merasa ngeri dengan gelombang reformasi. Kini telah berjalan 10 tahun masa Republik Indonesia IV, apakah kita akan terus seperti ini?
Tak terasa dan mau diakui atau tidak, semakin lama kita semakin terpuruk, sulit, semakin susah, semakin miskin. Kita bersama harus sepakat dan menentukan sikap, perbaiki keadaan Negara ini, dari mana mulainya. Ya kita harus mulai dari sistemnya, jangan berlindung dibalik kata kita masih konsolidasi. Jangan kita jadi pahlawan negara lain dengan sistemnya, jadilah pahlawan bagi nusa dan bangsanya sendiri.
Kita harus sadar bahwa negara kita juga menjadi salah satu target penghancuran dari negara lain, kita dipecah, dibuat kacau, diadu, lama-lama negara ini akan dipecah dan akan dimulai dengan pemikiran barat menjadi negara federal. Dahulu negara ini dijajah dengan politik devide et impera, dipecah dan diadu. Uni Soviet sebagai negara super powerpun ahirnya pecah berkeping-keping, juga Yugoslavia.
Jadi kita jangan hanya memikirkan kepentingan diri, kepentingan kelompok, aliran saja. Kita bersama kembali harus memikirkan Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan, yang tenteram, damai, rakyat bisa hidup layak. Sejak 17 Agustus 1945 kita sudah bersama-sama didalam satu biduk mengarungi laut luas, ganas dan bergelombang. Kalau ingin selamat jangan sedikitpun berfikir akan meninggalkan biduk ini.
Para elit jangan memperalat rakyat yang relatif tidak pintar, hanya memikirkan diri sendiri. Apabila diteliti maka jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin melebar, ini potensi yang tidak baik. Bisa saja terjadi pada pemilu/pilpres 2009 kondisi kita akan serupa dengan Kenya yang pemilunya menelan korban jiwa sudah melebihi 800 orang.
Apabila para elit baik dilegislatif maupun eksekutif tidak waspada, kesulitan dan frustrasi dapat sewaktu-waktu menimbulkan suatu gelombang revolusi yang berbahaya atau bahkan yang jauh lebih buruk dari itu. Ini hanya sebuah himbauan dan peringatan kepada para elit. Hanya beliau-beliaulah dengan tekad sucinya yang mampu menolong dan memperbaiki negara ini. Kalau negara ini setelah satu atau dua pemilu kedepan pecah, maka akan sulit bagi generasi penerus untuk mempersatukannya lagi, dan bangsa lain yang sengaja memecah akan bertepuk tangan dengan riuhnya. Semoga Allah SWT menyadarkan dan menolong kita semua. Amin.
Kamis, 11 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Postingan yg mnarik.. Kalo indonesia kembali mnggunakan demokrasi pancasila artinya hak2 sipil & politik wrga negara kembali tercabut jg donk?
Posting Komentar