Oleh : Prayitno Ramelan
Sumber : http://www.kompasiana.com/ 18 Desember 2008 - Dibaca 385 Kali -
Berita yang cukup ramai akhir-akhir ini adalah “pelemparan” gagasan dari Din Syamsuddin Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah tentang dibangunnya kembali aliansi politik poros tengah jilid II dalam menghadapi pilpres 2009. Gagasan tersebut langsung mendapat reaksi, khususnya dari parpol berasas Islam. Beberapa pihak ada yang mengatakan bahwa apabila gagasan terbentuk akan menimbulkan gesekan dan dikotomi antara partai Islam dan nasionalis. Tahun 1999, Amien Rais berhasil membentuk aliansi politik poros tengah dan berhasil membendung Megawati menjadi presiden, kemudian menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden RI keempat.
Din Syamsuddin menyampaikan bahwa pembentukan poros tengah diperlukan karena perolehan suara partrai Islam pada pemilu sebelumnya terus mengalami penurunan suara. Kata Din, di era reformasi, pencabangan dan fragmentasi sudah terjadi. kemunculan berbagai parpol baik berasas Islam maupun nasionalis merupakan bukti fragmentasi tersebut. Parpol-parpol PAN, PMB, PPP, PKB, PBB, PKNU, PNUI dan PKS tidak terpecah belah. Din ingin melihat partai Islam menampilkan “ukhuwah Islamiyah” atau “persaudaraan sesama muslim” agar juga tercipta di pentas politik.
Atas gagasan tersebut, muncul tanggapan, PPP menyambut baik, Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz mengatakan “sebagai wacana menarik disaat kita mengalami kebuntuan politik”. Ketua PBB Yusron Ihza Mahendra juga mendukung gagasan tersebut, agar partai-partai Islam dirapatkan untuk menguatkan barisan. Selain ada yang mendukung ada juga yang menolak, Partai Bintang Reformasi menyatakan tidak tertarik, dikatakan oleh Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi bahwa koalisi ala Din Syamsuddin ini hanya koalisi simbolis.
PKS menyatakan menolak, Presiden PKS Tifatul Sembiring menyatakan poros tengah percuma dan tidak penting, karena tidak jelas untuk apa. Kalau dulu jelas ada kebutuhan politiknya dan menurutnya partai berbasis Islam sulit dipersatukan, karena masing-masing mempunyai aliran yang berlainan. Tifatul justru menyarankan pembentukan “Poros Umat”, yaitu mempersatukan seluruh elit elemen Islam di Indonesia, termasuk dari Partai Nasionalis. Ini diharapkan akan dapat membela kepentingan seluruh umat Islam.
Gus Dur, sebagai mantan presiden yang dihasilkan oleh poros tengah tahun 1999, juga menyatakan tidak setuju dengan gagasan tersebut, bahkan ungkapannya cukup keras “Tengah, tengah apa? Tengah Hutan?Enggak usah koalisi, emang sudah koalisi, yang penting bekerja untuk menghilangkan kemiskinan”. Selanjutnya Gus Dur juga menyatakan bahwa tokoh-tokoh Islam yaitu Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi (ketua PBNU) dan Hidayat Nur Wahid punya kepentingan politik karena ingin jadi cawapres.
Dari beberapa hasil survei, terlihat bahwa sejak dahulu perolehan suara partai berbasis Islam selalu kalah melawan partai nasionalis. Partai yang di persepsikan sebagai partai Islam, adalah seperti yang disebutkan pada survei Lembaga Indo Barometer, melakukan survei pada bulan Juni 2008, PPP (40,8%), PKB (35,9%), PKS (34,1%), PAN (23,6%), PBB (8,2%). Walau PPP yang merupakan partai dengan citra partai Islam terkuat, ternyata PPP bukanlah partai islam dengan dukungan terbesar.
Survei Indo Barometer juga menyebutkan bahwa terdapat gap yang cukup besar antara partai nasionalis dengan partai Islam sejak pemilu 1955, 1999, 2004. Pada tahun 1955 kekalahan partai Islam dari nasionalis 8%, pada 1999 kekalahan 25,5%, pada 2005 sebesar 21,4%. Pada 1955 partai Islam yang dominan Masyumi mencapai 20,9%, pada 1999 PKB mendapat 12% dan pada pemilu 2004 partai Islam yang memperoleh suara tertinggi kembali diraih PKB dengan10%. Menurut peneliti LIPI Syamsudin Haris, fenomena kekalahan parai Islam dari nasionalis karena kecenderungan masyarakat Indonesia yang melakukan pendekatan-pendekatan pragmatis dalam memilih parpol, bukan pendekatan ideologis. Pendapatan suara partai-partai Islam dari tahun ketahun sulit meningkat, karena antara partai Islam saling berebut segmen yang sama.
Menurut Direktur Indo Barometer M Qodari, yang lebih mungkin mengadakan poros tengah adalah PKS, karena memiliki suara signifikan dan mempunyai tokoh yang layak seperti Hidayat Nur Wahid. Dikatakannya munculnya poros tengah jilid II hanya dipicu adanya ego masing-masing partai Islam.
Dengan demikian kelihatannya gagasan “poros tengah jilid II” akan banyak menghadapi hambatan, karena kini tidak adanya motivasi yang sangat kuat untuk terbentuknya poros tersebut. Masing-masing parpol Islam kelihatannya masih di sibukkan dengan beratnya tantangan dan perkembangan perilaku konstituen yang lebih mengemukakan cara berfikir yang rasional daripada perintah agama. Disamping itu juga kondisi krisis yang terjadi sedikit banyak besar pengaruhnya bagi parpol-parpol tersebut dalam berkampanye.
Mungkin “gaya” langkah PKS yang menggerilya kubu konstituen nasionalis akan jauh lebih menghasilkan penambahan suara daripada energinya disalurkan dalam suatu aliansi poros yang belum pasti. Toh, akhirnya nanti partai-partai menengah dan kecil bisa dipastikan akan berkoalisi dengan partai papan atas. Dikotomi Islam-Nasionalis akan terkalahkan oleh kebutuhan akan kekuasaan, inilah realitas politik. Kira-kira begitu bukan?.
PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana.
10 tanggapan untuk “Din Poros Tengah, Tifatul Poros Umat”
edo,
— 18 Desember 2008 jam 2:17 pm
Yth Pak Pray..Sy selalu membaca tulisan2 bpk, enak dibaca, disimak dan dimengerti.
Boleh urun rembug ya pak…Mnrt sy, sbg orang awam politik penurunan perolehan suara parpol berbasis islam karena beberapa hal.1. Masyarakat semakin terdidik pak, sehingga bisa membaca kemana arah parpol2 tsb mau dibawa.2. Perilaku dari politisi internal parpol tsb yg jauh dr nilai2 keislamannya3. Sebagian politisi dr parpol tsb yg dgn ’sengaja’ memelintir kpntgan parpol untuk kpntgan pribadi. Celakanya…masyarakan juga mengetahuinya.
Wah, saya nekat ini pak, krn saya bnr2 gk ngerti politik tp ikut2an ngomong.Maaf ya pak…..Terima kasih
Prayitno Ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 2:41 pm
Edo, terima kasih atas komentarnya…he,he,he katanya suka ya dengan gaya tulisan ini, Alhamdulillah…padahal ya hanya sekedar menulis, menulis dengan benarpun banyak belajar dari wartawan/journalis, yg pertama Mas Ambang Priyonggo (dulu pengelola Opini Koran SINDO), yg kedua Mas Pepih Nugraha (Admin/Pengelola Kompasiana), wah kalau begitu saya mau mengucapkan terima kasih kepada dua guru menulis saya itu, sehingga ada yg suka dengan tulisan si kakek ini. Ok, urun rembug ya boleh kok Edo, saya setuju bahwa masyarakat makin terdidik, sekarang saja pengguna internet di Indonesia ada sekitar 30 juta orang…hebat ya dari sekitar 225 juta jiwa. Memang pada tulisan saya terdahulu juga saya dapatkan fakta bahw perilaku konstituen lebih mengemukakan cara berfikir yg rasional dibandingkan perintah agama. Coba anda tanya disekitar anda (kalau anda Islam tapinya), berapa orang kita yang mengerjakan yg wajib menurut Islam misalnya sholat, puasa…banyak tuh yg pada mangkir. Disebut Islam KTP. Saya Islam, tapi seringnya menemukan banyak yg ber-KTP-an begitu. Jadi pada dasarnya kalau partai Islam mau maju mungkin harus mau membenahi dan mengambil contoh dari partai yg berbasis nasionalis, artinya jangan terlalu kekananlah, agak ketengah. Gitu saya kira ya Edo…Saya sangat menghargai tanggapan anda, kadang2 nekat2 dikit juga ok, selama masih dalam batas koridor topic dan netiquette itu. Salam nih>Pray.
mahendra,
— 18 Desember 2008 jam 3:27 pm
sugeng sonten pak pray,
poros tengah apalagi ini? saya rasa ini hanya manuver saja dari din syamsudin ada (udang di balik rempeyek). bagi saya pribadi tidak mempermasalahkan partai itu mau koalisi kek, mau jalan sendiri2, itu urusan mereka. yang penting, saya hanya akan melihat sejauh mana partai2 itu punya kepedulian terhadap rakyat! wujudkan dengan karya nyata! paling2 kepeduliannya ntar mendekati pemilu dg bagi-bagi kaos sama uang bensin itu aja kan? bagi mereka yang tiba2 mencetuskan gagasan utk menyatukan partai2 islam itu cuma gagasan yang tidak up to date lagi. ga lihat apa dulu poros tengah th 99 setelah jadi presiden, eh mereka2 jg yg melengserkan! ingat sejarah itu. jadi jangan mau dengan seruan din samsudin itu! gt aja kok repo!!!salam,mahendra
Prayitno Ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 3:34 pm
@Mas Mahendra, sugeng sonten juga…he, he, he, saya tu geli dengan istilahnya ada udang dibalik rempeyek, kremes,kremes…wah enak sekali, biasanya kan dibalik batu. Buah mangga buah kedondong, pendapat Mas Mahendra benar dong. Itu tadi pepatah yg sangat universal, dipake kemana saja pasti bisa.Sudah jangan marah2 nanti darah tinggi lagi…ngomong2 anda PKB ya?? kok gayanya seperti Gus Dur ,Gt aja kok repot!! Ok, terima kasih tanggapannya ya>Salam>Pray.
nda ndot,
— 18 Desember 2008 jam 3:47 pm
Pak Pray,…menurut saya biarlah partai2 berkoalisi secara alami (entah itu karena alasan idiologis atau pragmatis) sesuai kepentingan masing2. bukan kan politik memang sarat kepentingan? selama mempunyai tujuan yang sama (kekuasaan).saya sendiri nggak setuju ada dikotomi antara partai agama dan nasionalis. apa orang2 partai agama tidak nasionalis? dan apa orang2 partai nasionalis tidak beragama?bagi saya yang proletar ini (saya muslim, saya cinta Indonesia, cinta merah putih) nggak penting apakah itu poros tengah jilid 19, poros pinggir, poros pinggir rada mojok, poros roda gerobak yang penting adalah bagaimana proses politik di negeri ini menghasilkan pemimpin (bukan penguasa) yang mengayomi, negara aman, rakyat kenyang.
Prayitno Ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 4:24 pm
@Nda Ndot, iya betul saya setuju, nanti juga pada duduk sendiri, pada mencari atau saling menempel satu sama lain…lha itu yg mengistilahkan nasionalis dan agama kan juga para elit itu kan, Jadi kita dari “poros pinggir rada mojok”…ha,ha,ha ada2 saja nih istilahnya setuju dan sepakat, nyari pemimpin yg bisa diharapkan (kira2 begitu lah ya…belum pasti juga kan?) bisa seperti yg NdaNdot harapkan mengayomi, negara aman dan rakyat kenyang…tapi bukan bulgur. Ok, Terima kasih sudah memberi tanggapan.Salam>Pray.
erfanmunif,
— 18 Desember 2008 jam 5:13 pm
sore mbah kung
ide memunculkan kembali koalisi seperti poros tengah dengan dalih penyatuan suara parpol islam, tak lebih dan tak kurang adalah cara dari Din syamsudin untuk memperkuat nilai tawarnya dalam konstelasi perwapresan. kita meilhat dalam beberapa waktu terakhir seiring semakin intensnya pemberitaan mengenai sultan dan semakin meningkatnya posisi sultan untuk dilirik jadi salah satu kandidat cawapres [terutama oleh megawati] membuat perhatian terhadap Din mengecil. Dengan memunculkan koalisi islam, seolah-olah Din menunjukkan diri bahwa dia masih punya posisi strategis untuk dilirik menjadi cawapres.
Prayitno Ramelan,
— 18 Desember 2008 jam 9:35 pm
Sore juga, eh malem cucu Erfan yg pinter, maaf baru pulang sama mbah putrinya…bener juga pendapatnya itu, makanya saya bilang pinter nij, memang banyak yang bilang begitu. Istilahnya “manuver”, bisa saja tujuannya macam2, kan internal juga ada persaingan, belum lagi diantara parpol2 Islam, makin beratlah posisi bagi beberapa yg menjadikan diri sebagai kandidat pemimpin di 2009. Tidak apa2 sih manuver politik semacam itu biasa dilakukan para elit, buat menaikkan “bargaining position”. Gitu ya Erfan, terus ikuti perkembangan artikel2 mbahnya ini…nanti kan tahu mau kemana kita menuju, kita mau bahas yg penting2 ok. Salam>Pray
eepkhunaefi,
— 21 Desember 2008 jam 8:47 pm
Meski punya niat baik, tapi saya setuju kalau ada anggapan bahwa Pak Din punya kepentingan politik di balik Poros Tengah Jilid II yang digelontorkannya. Tapi, ini juga tidak salah. Toh, sejauh ini Pak Din adalah sosok yang bersih, berwibawa dan politikus handal. Jadi, tidak masalah kalau ia pun ikut-ikutan maju menjadi cawapres atau capres sekalipun. Bahkan, (maaf) dibandingkan Soetrisno Bachir, saya pikir Pak Din jauh lebih populer dan kharismatik. Jadi, ia lebih pantas mewakili MUhammadiyah atau PAN untuk capres-nya.
PKS jelas saja tidak setuju. Sebab, ia merasa sudah PD dengan perjuangannya selama ini. Apalagi, kalau Poros Tengah II nanti benar-benar tidak menguntungkan PKS. Jadi, PKS sudah menolak lebih dahulu gagasan ini.
prayitno ramelan,
— 21 Desember 2008 jam 9:45 pm
Mas Eep, boleh juga nih pendapatnya, namanya juga politik aliran, ada perbedaan. Taoi tidak apa2 saya kira namanya juga sedang berdemokrasi ya. Tks urun rembugnya.Pray
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar