Jumat, 12 Desember 2008

Siapa Capres Dari Partai Golkar ?

Oleh : Prayitno Ramelan
7 Desember 2008 - Dibaca 434 Kali -

Hingga kini banyak masyarakat yang selalu bertanya siapa calon presiden dari Golkar, belum ada jawaban pasti terhadap hal yang satu ini. Sementara ini kelihatannya ada dua pendapat diinternal Golkar, Golkar mengajukan capres dan Golkar tetap melanjutkan berkoalisi dengan SBY. Hal yang pasti Golkar baru akan menentukan capresnya hingga selesainya pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Kasus ini cukup menarik untuk dibahas karena Partai Golkar adalah peraih suara terbanyak pada pemilu 2004, menguasai 128 kursi dari 550 kursi di parlemen, tetapi kini belum mempunyai tokoh unggulan capres.

Ada berita yang menarik dari kota Balikpapan pada tanggal 7 Desember 2008 lalu, pada acara silaturahmi DPD Golkar Kalimantan Timur dengan Dewan Penasehat Partai Golkar Surya Paloh. Bang Sur (Surya Paloh) menegaskan bahwa Golkar tidak akan menggelar konvensi. Dikatakannya tidak digelarnya konvensi untuk menghindari perpecahan di tubuh Golkar yang justru akan merugikan. “Dari pengalaman tahun 2004 kemarin, konvensi ini berpotensi memicu perpecahan, ini yang harus dihindari” katanya.

Dengan dihapusnya konvensi, kata dia, tidak menutup kemungkinan bagi Golkar untuk mengusung Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla sebagai calon presiden tunggal. “Semua kemungkinan bisa terjadi, termasuk soal Pak Jusuf kalla sebagai capres, apalagi dia Ketua Umum,” katanya. Golkar juga akan mencari formula dan sistem lain untuk penjaringan calon presiden agar aspirasi kader bisa terserap dan terakomodir. Metode survei dan skoring dapat digunakan terhadap kader yang berminat maju. Tokoh-tokoh yang akan masuk bursa Capres Golkar dalam survei tersebut tidak hanya untuk kader internal tetapi juga untuk tokoh diluar partai. “Tidak menutup kemungkinan kita usung tokoh non kader, makanya kita lihat hasil pemilu legislatif dulu,” kata Surya Paloh.

Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sumarsono menyatakan, penentuan capres harus melalui berbagai pertimbangan. Golkar banyak belajar dari pengalaman pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di sejumlah daerah. “Banyak kader internal justru kalah di pilkada karena tingkat elektabilitasnya rendah”.

Dengan penegasan Surya Paloh dan Sekjen Golkar Soemarsono, kelihatannya Partai Golkar sudah lebih fokus dalam penentuan calon presidennya pada pilpres 2009. Calon yang akan dipilih tidak akan melalui jalur konvensi, tetapi melalui “survei” dan skoring di internal. Penghilangan pola konvensi dinilai realistis, karena dalam konvensi yang menentukan adalah suara dari pengurus, kemenangan calon diperkirakan mudah dimanipulasi, calon terpilih belum tentu merupakan calon unggulan di tingkat nasional. Golkar kelihatannya telah banyak belajar dari pengalaman pemilu dan pilpres 2004 hingga beberapa pilkada. Kegagalannya pada 2004 disebabkan kurang dikuasainya “ruh” pilpres langsung, khususnya dalam menilai perilaku konstituen yang tidak bisa dikontrol oleh jejaring partai.

Dari penilaian calon yang akan dipilih melalui pola “survei”, Golkar akan memilih dari sumber internal maupun tokoh luar. Beberapa hasil survei menggambarkan elektabilitas para calon-calon unggulan terlihat mulai lebih stabil. Lembaga Survei Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada bulan Oktober 2008 mengeluarkan hasil tingkat keterpilihan atau elektabilitas (jika pemilihan dilakukan hari ini), SBY (33%), Megawati (17,9%), Wiranto (5%), Prabowo Subianto (4,7%), Hidayat NUr Wahid (2,8%), Amin Rais (2,65%), Abdurrahman Wahid (2,45%), Sri Sultan HB-X (1,6%), Yusril Ihza Mahendra (1,4%), Sutrisno Bahir (0,6%), Sutiyoso (0,45%), Rizal Malarangeng (0,15%), sebanyak 0,75% nama-nama lainnya dan 26,85% belum menentukan pilihannya.

Untuk calon wakil presiden yang cocok mendampingi SBY, 15,2% responden memilih Jusuf Kalla, dan menempati nomor urut dibawahnya Hidayat Nur Wahid, Sultan HB-X, Andi Malarangeng, Akbar Tanjung dan Fadel Muhammad. Survei terakhir Lembaga Survei Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS) Surveyor Group menyebutkan SBY masih diunggulkan dengan 37% dukungan suara, Megawati (16,2 %), Sri Sultan HB-X (6,74 %), Prabowo Subianto (5,20 %), Wiranto (4 %).

Dari hasil survei tersebut, maka tokoh internal Golkar yang sudah mempunyai nilai elektabilitas hanyalah Sri Sultan HB-X dengan nilai 6,74%, sementara Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla namanya tidak muncul sebagai capres unggulan, hanya muncul sebagai cawapres terunggul dengan angka 15,2%. Ini berarti memang Golkar hanya memiliki Sri Sultan sebagai capres unggulan, tapi itupun masih kalah jauh dibandingkan Megawati, terlebih dengan SBY. Masih tersisa waktu bagi Sultan untuk meningkatkan elektabilitasnya dengan melakukan langkah-langkah positif agar dapat bersaing dengan dua pesaingnya itu.

Apabila memilih tokoh diluar Golkar, maka pilihan pertama adalah SBY, disusul Megawati, Prabowo, Wiranto dan Hidayat Nur Wahid. Terhadap SBY sementara tidak ada masalah dalam berkoalisi, karena JK sudah faham menjadi wapresnya. Yang perlu dipikirkan adalah pendapat SBY bahwa koalisi adalah “power sharing” artinya Golkar harus mampu meraih suara banyak dahulu untuk berkoalisi dengan Demokrat. SBY kelihatannya ingin membangun koalisi mayoritas, mengingat selama ini merasakan kesulitan, kurang leluasa bergerak, tertekan di parlemen.

Megawati adalah pilihan kedua, apabila Golkar merasa lebih nyaman Mega menjadi presiden dan JK menjadi Wapres, koalisi ini akan kuat di parlemen, lagipula koalisi ini pernah disuarakan oleh beberapa tokohnya. Duet Mega-JK diperkirakan akan dapat mengimbangi SBY, karena JK selama ini dikenal sebagai “bumper” yang tegas, cepat dan berani pengisi kekurangan SBY, nilai elektabilitasnya tinggi. Kemungkinan lainnya adalah mengambil salah satu calon Wiranto, Prabowo atau Hidayat Nur Wahid sebagai capres, dengan catatan apabila setelah selesai pemilu legislatif perolehan partai ketiganya cukup tinggi dan tingkat elektabilitasnya dipandang dapat disandingkan dengan SBY dan Mega. Kira-kira hanya itulah pilihan yang paling realistis dari Golkar, walau demikian masih tersisa waktu dan peluang terjadinya perubahan, karena dinamisasi politik kini sangat cepat.

Jadi bagaimana kira-kira nanti akhirnya? Yang terpenting Golkar harus teguh berpegang pada keputusannya. Untuk apa mengajukan calon atau tetap berhasrat menjadi nomor satu kalau toh nanti kalah. Lebih baik menjadi nomor dua tetapi mempunyai “bargaining power” yang besar. Golkar kini beruntung mempunyai modal tokoh JK sebagai cawapres terunggul dan layak dijual. Mungkin arahnya, tokoh Golkar tetap duduk sebagai bagian dari pimpinan nasional, didukung koalisi parpol mayoritas, pembagian jatah di Kabinet jelas dan adil, ini akan jauh lebih bermanfaat bukan. Kalau hanya mengikuti nafsu segelintir orang dan kalah, apakah akan menjadi oposisi? Kurang elok rasanya. PRAYITNO RAMELAN.

9 tanggapan untuk “Siapa Capres Dari Partai Golkar ?”

Harasono Inos,
— 8 Desember 2008 jam 12:49 am

Bolehkan khan pak saya meramal ? Siapa tahu salah….Dari data berbagai sumber yang saya telaah, nampaknya ada pergeseran serius di RI-2. Ada kecenderungan Golkar akan berkurang suaranya. Melihat bbrp kasus Pilkada ang cenereung kalah melulu. Justru yang meningkat tajam adalah PKS. Jadi,bila elakbilitas pak BEYE tetap terjaga spt yang diilustrasikan di tulisan pak Pray benar, SBY akan tetep menjabat RI-1. Nah siapa yg menjadi RI-2 ? Melihat keinginan untuk memperkuat posisi pemerintah di Parlemen, tentu RI-1 akan menggaet tokoh dari partai yang menguat suarannya, dalam hal ini PKS (prediksi saya lho…). Tampaknya pak BEYE akan menggandeng Hidayat Nur Wahid sebagai cawapresnya. Pasangan ini sangat ideal. Bersih, anti korupsi dan sopan dalam berbicara, serta yang perlu diingat, keduanya memiliki “the highest education achievement (PhD)”. Tentu citarasa dalam mengelola bangsa akan lebih “smoot and smart”.Semoga ramalan ini benar adanya.Salam dari Harasono Inos (Kassel - Germany)

Rukyal Basri,
— 8 Desember 2008 jam 2:18 am

Sampai pileg nanti, pertarungan sri sultan versus pak jk dalam usaha merebut tiket golkar masih berlangsung sangat alot. Walaupun pak jk tidak pernah merasa bertarung, tapi karena ketum dianggap menguasai kunci grendel partai, maka sebenarnya ilmu kanuragan jogja sedang adu kuat melawan jurus silat bugis. Ini juga untuk melihat sejauh mana ‘kesaktian’ sri sultan dalam mendulang dukungan. Kalau dukungan dari partai2 dan rakyat semakin menguat, dan perolehan suara golkar ternyata mendukung, jangan jangan nanti keduanya malah bersatu, sri sultan-jk untuk golkar 2009. Koalisi cukup sampai tataran kursi kabinet dan parlemen.

Prayitno Ramelan,
— 8 Desember 2008 jam 4:01 am

Wah saya mendapat kehormatan nih, yang menanggapi dua orang tokoh, warga negara Indonesia yang sedang berada didua negara besar Jerman dan Amerika Serikat. Terima kasih banyak dipagi yang baik ini dimana bangsa Indonesia khususnya umat muslim akan melaksanakan ibadah sholat Idul Adha. Hari dimana kita akan melaksanakan ibadah qurban menyisihkan sebagian harta, membeli hewan kambing atau sapi yang dagingnya akan diberikan kepada kaum dhuafa. “Selamat merayakan Idul Adha 10 Dzulhijah 1429H”.

@ Pak Harasono Inos, jelas boleh meramal, akan melengkapi tulisan saya itu. Nah ramalannya kalau SBY yang menang maka cawapresnya akan diambil Hidayat Nur Wahid. dengan pemikiran suara PKS akan menguat di Parlemen. Memang bisa saja pak Har, karena nanti setelah ada hasil pemilu legislatif baru akan terlihat jelas komposisi ideal masing-masing capres unggulan dan cawapres unggulan kemana dan dgn siapa mereka akan berkoalisi. Koalisi Demokrat dengan PKS kemungkinan saja terjadi, toh sejak 2004 keduanya sudah berkoalisi bukan, memang sih apa yg disampaikan tentang kelebihan keduanya pasti ada manfaatnya bagi bangsa ini. Persoalannya hanyalah “tingkat kesukaan” masyarakat terhadap wapres, ini akan menjadi penting pada 2009. Dibandingkan dengan JK, sementara ini Pak Hidayat masih kalah satu tingkat lho. Gitu ya, Salam.Pray.

@Pak Rukyal Basri, sepertinya selama ini pendukung Sultan ya, kalau dirumah si nenek (maksudnya isteri saya) saya pendukung Sultan karena dia orang Yogya, masih ada garis juga. Tapi kalau saya tidak (maaf) karena penulis di Kompasiana ya harus independen, jujur tidak memihak. Ok pak, saya pikir bisa saja apa yang disampaikan itu terjadi, tapi syaratnya Sri Sultan elektabilitasnya paling tidak 2/3 dari elektabilitasnya capres terunggul nanti, dengan perimbangan kekurangannya diisi oleh JK. Ini paling rasional. Jadi Golkar saya kira akan benar2 “realistis”, menghitung benar posisi tokoh2nya. Kalau pasangan Sultan-JK jadi, wah jelas lebih nikmat bagi tokoh Golkar kan, banyak deh yang akan duduk dikursi empuk, jadi menteri dll…dikawal lagi…ngeong,ngeong, nguk,nguk, gitu ya kira2 sirine pengawal. Dan pak Rukyal akan tersenyum-senyum…kapan pulang nih?.Salam>Pray.

Adhy,
— 12 Desember 2008 jam 10:25 am

golkar sepertinya sedang mengalami degradasi ideologi kader-kadernya. semua tokoh besarnya perpikir ” gue juga bisa bikin partai baru yang tidak kalah besar dg golkar”. kalau ini berjalan terus, tanpa ngapa-ngapain PDIP bakan jadi no 1 dan no 2 antara Demokrat/PKS
nah PDIP kultur partainya kan kaya kerajaan, dimana power Mega mendominasi. yang gak punya trah Sukarno gak bisa berkuasa di PDIP. melihat sekarang PDIP kekeh mau memajukan Mega lagi, ini memperlihatkan kaderisasi di PDIP lambat. melihat realitas politik saat ini, 2014 akan terjadi musim gugur kepemimpinan. Capres 2014 diprediksikan bakal orang-orang muda smua. 2009 adalah kesempatan terakhir bagi tokoh-tokoh tua.
Dan 2014 bakal milik partai yang berbasis kader, bukan yang berbasis tokoh. partai yang produktif melahirkan tokoh-tokoh nasional baru, buka partai yang tergantung pada popularitas tokoh yang dipunyainya.

Prayitno Ramelan,
— 12 Desember 2008 jam 3:03 pm

Adhy, pendapatnya boleh juga nih. Memang saya juga berpendapat, para politisi muda kini baru mulai menggeliat, mereka akan mulai berkiprah nanti di 2014. Pada periode 2014-2019 itulah saatnya kaum muda akan muncul dan diuji kemampuannya menerima tongkat estafet kepemimpinan, memimpin bangsa ini yang konon akan melebihi 225 juta jiwa. Karena itu saya terfikir juga akan membuat tulisan tentang para calon pemimpin bangsa dimasa depan. Tks ya tanggapannya. Salam>Pray.

Eep Khunaefi,
— 13 Desember 2008 jam 2:39 pm

Untuk capres Golkar, saya melihat hanya Sultan yang punya integritas moral kuat. JK meski seorang wapres, tapi ia lebih kuat di posisi ini dibanding posisi nomor satu. Menurut saya, pemilu 2009 nanti sebaiknya Golkar tetap milih nomor dua. Setelah itu, persiapkan generasi muda yang memiliki elektabilitas tinggi untuk persiapan 2014. Betul Pak De, buat apa maksakan diri menjadi nomor satu tapi gagal. Mendingan jadi nomor dua tetapi tetap punya power di kabinet.

Prayitno Ramelan,
— 15 Desember 2008 jam 4:22 pm
Yes…. Mas Eep, benar sekali perkiraannya, saya yakin Golkar akan lebih realistis dan sudah jauh lebih mantap menatap kedepan, Yks.

Abuga,
— 24 Desember 2008 jam 3:57 pm

Saya setuju Golkar akan mengalami degradasi. Bahkan saya berpendapat dua pemilu lagi Golkar akan menjadi partai gurem. Keberaadan Golkar sekarang karena adanya sisa bangunan infrastruktur oleh orde baru. Asumsi saya pada pemilu 2014 dan 2019 pemilih tidak ada ikatan emosional dengan Golkar dan partai ini tersisih karena seleksi alam. Degradasi ini juga pada kualitas kader dengan tidak adanya tokoh sentral yang mumpuni dan berani maju sebagai RI 1. Penghilangan konvensi adalah langkah mundur. Seharusnya Golkar tetap konsisten menggelar konvensi dengan sistim yang disempurnakan. Meski kalah 2004 tapi harum dan berjaya di pilpres berikutnya. Mereka sedikit lupa kejayaan Golkar yang tersisa sekarang ini karena imbas positif konvensi jaman Akbar Tanjung. Hitungan Golkar siapapun yang keluar sbg pemenang konvensi tidak akan menang lawan SBY adalah hitungan yang salah. Jadi mereka lebih memilih RI2 tapi menguasai DPR dan kabinet “UEENAK TENAN” kata Ki Timbul. Ini menunjukkan kader PG malas bekerja keras, loyalitas kader2 yang semu dan menggandalkan uang sebagai penggerak roda partai. Ini beda dengan fenomena PKS yang kadernya MILITAN DAN menganggap berpartai adalah ibadah dan berdakwah.
PKS kalau bisa mengusung isu pluralisme dan menjauh dari kesan Islam puritan akan berkibar meski tidak di puncak ya 3 besar lah. Partai ini tidak perlu digerakkan oleh tokoh sentral.
PDIP. Pertanyaan masih harus dijawab sepeninggal Mega atau paling tidak th. 2009 di mana Mega akan mengalami depresi atas kekalahan di Pilpres yang kedua.
Salam

prayitno ramelan,
— 25 Desember 2008 jam 8:46 am

Abu, kok bagus sekali sih tanggapannya…rajin ya baca2 perkembangan di tanah air, iya kalau begini terus, Golkar akan bisa rontok dengan sendirinya, lihat saja dari beberapa survei pularitasnya sudah di posisi ketiga, bahkan dibawah Demokrat. Sebenarnya waktu dipimpin Akbar Tanjung pada th 1998/1999 partai ini mampu melepaskan diri dari kehancran Ketua Dewan Pembinanya yg runtuh, tapi mereka tetap mampu eksis dan tetap menjadi parpol papan atas bersama PDIP. Tetapi setelah pemilu 2004, karena dua kali salah memposisikan diri (yg saya pikir ada apa2nya yg tidak bisa diungkap), maka politik yg tidak berbelas kasihan telah menurunkan AT dan mendudukkan JK sbg Ketum, biasalah Abu banyak juga yg numpang hidup melalui JK. Nah kini mereka sedang pusing lagi tapi tetap sebagai partai favorit…jawabannya tolong Abu baca artikel saya yg terakhir SBY,Prabowo, Mega Dan Peta Politik , Begitu ya Abu. Salam>pray.

Tidak ada komentar: