Kamis, 18 Desember 2008

K-3 dan Pak SBY

Oleh Prayitno Ramelan -
Sumber : http://www.kompasiana.com/ 13 Desember 2008 - Dibaca 270 Kali -

Hingga kini elektabilitas SBY sulit untuk tertandingi, pesaing utamanya Megawati dinilai masih memerlukan kerja keras untuk menandinginya. Penulis mencoba meyusun ulasan dengan metoda K-3 yang biasa di gunakan dalam menilai keberhasilan/kegagalan subyek yang diteliti. K-3 yang di maksud adalah singkatan dari kekuatan, kemampuan dan kerawanan. K-3 biasanya digunakan untuk mengukur dan menilai sebuah sasaran sebelum di lakukan tindakan. K-3 dibuat oleh dua belah pihak atau beberapa pihak baik sebagai sekutu atau lawan, berupa sebuah kumpulan fakta-fakta yang kemudian di analisa sehingga menghasilkan apa yang disebut kemungkinan cara bertindak.

Nah, menjelang pemilu legislatif dan pilpres 2009 mari kita bahas sedikit bagaimana kekuatan, kemampuan dan kerawanan dari Pak SBY yang menurut penilaian hasil survei masih menduduki posisi teratas sebagai capres 2009. Mengenai posisi terkuat kedua, K-3 Ibu Megawati pernah dibahas dalam tulisan terdahulu dengan judul “Masih Besarkah Peluang Megawati?”.

Kekuatan SBY kini dapat diukur dalam beberapa hal, SBY memiliki Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 berada di kelompok papan tengah, mendapat 57 kursi di DPR. Kini Partai Demokrat berada di urutan teratas seperti yang disebutkan Lembaga Survei Indonesia, Demokrat mendapat 16,8%, Golkar 15,8%, PDIP 14,2%. Dibandingkan pemilu 2004 Partai Demokrat hanya mendapat 7,4 % suara. Peningkatan tajam dari survei tersebut disebabkan karena swing voter memberikan simpati kepada Demokrat sebesar 9,6%. Kunci ketertarikan swing voter karena “leadership SBY”, program partai, perhatian partai pada rakyat dan bersih dari korupsi.

Partai Demokrat kini di untungkan dalam posisinya sebagai partai penguasa, disamping SBY dengan jabatan sebagai presiden yang mempunyai wewenang untuk melakukan langkah-langkah positif yang bermanfaat bagi masyarakat, secara langsung ini akan mengangkat nama baik dan popularitas baik partai maupun SBY sebagai ujung tombak Demokrat. Kekuatan lainnya dari SBY adalah nama besar yang sudah disandangnya, dia adalah seorang jenderal yang diidentikkan masyarakat sebagai pemimpin, dia seorang yang pintar dengan gelar doktor, dia seorang demokrat sejati karena partainya pun diberi nama Partai Demokrat, dan dia seorang penggerak pemberantasan korupsi, masyarakat juga menyimpulkan bahwa korupsi yang membuat bangsa ini terpuruk. Itulah kekuatan SBY yang sudah menjadi “trade mark” di dunia perpolitikan.

Dari sisi kemampuan, kalau pada kampanye 2004 SBY terkenal sebagai penyanyi “pelangi di matamu”, kini masyarakat melihat kiprahnya saat memimpin dan berpidato, terlihat sebagai pemimpin yang menguasai berbagai bidang dan permasalahan. Ini pemimpin yang bijaksana dan “pintar” kata banyak orang. Terlebih kini banyak ditayangkan media massa kemunculannya di forum-forum internasional terlihat ”sangat mumpuni” berbicara di muka forum internasional dengan bahasa Inggris yang “faseh”. Dia menjadi salah satu tokoh di dunia internasional yang sulit dibandingkan.

SBY dinilai sebagai salah satu pemimpin yang mampu meredam gejolak krisis dunia yang mengimbas negaranya, mampu menenteramkan masyarakat dan dunia bisnis, walaupun dalam kondisi yang sangat sulit dan tertekan dia mampu meyakinkan masyarakat agar tidak panik seperti tahun 1998. SBY mampu memainkan kartu “troef” nya Menteri Keuangan Sri Mulyani yang berhasil melakukan loby di dunia internasional mendapatkan janji pinjaman “emergency” untuk mengatasi dan menutup kemungkinan terburuk apabila krisis dunia yang terus melanda Indonesia semakin berat dan devisa ambruk.

Bagaimana kerawanannya?. Kerawanan adalah titik terlemah, apabila ini tersentuh atau terserang maka akan menyebabkan kelumpuhan, menyebabkan tidak berfungsinya sebuah sistem. Dalam dunia perpolitikan kerawanan bagi sebuah partai atau seorang calon presiden yang apabila terserang akan mengakibatkan jatuhnya popularitas, para konstituen akan meninggalkannya. Sehingga mengakibatkan merosotnya jumlah pemilih yang tadinya merupakan pendukung setia.

Sebagaimana juga beberapa parpol lain yang menggunakan pola “patron” seperti PDIP, PAN, Hanura, Gerindra, PBB maka kedudukan SBY sebagai ujung tombak sangatlah rawan. Perolehan Demokrat akan sangat tergantung kepada popularitas dan nama baik SBY. Begitu nama SBY jatuh maka secara otomatis nama Demokrat juga akan jatuh, itulah resiko sebuah partai yang terbangun dengan budaya paternalistik. Hal serupa juga akan terjadi pada PDIP, Hanura, Gerindra, PAN dan lainnya. Kekuatannya hanya disandarkan kepada figur seseorang belaka, Berbeda dengan Partai Golkar dan PKS kini yang lebih mengandalkan mesin partai yang berfungsi seperti sebuah sistem, tidak tergantung kepada pucuk pimpinan, masing-masing sub sistem bergerak saling mendukung dengan ritme yang sudah ditentukan . Mungkin cara ini dinilai jauh lebih aman, walaupun kadang terkalahkan dalam sistem pilpres langsung.

Kerawanan lain berkait dengan “imbas” krisis keuangan dunia yang mulai terasa di Indonesia, Majalah Forbes tanggal 11 Desember 2008 menyatakan kekayaan bersih Indonesia merosot drastis dengan pasar modal yang anjlok 54% dibanding tahun lalu, penurunan harga komoditas, serta pelemahan nilai tukar rupiah. Total kekayaan bersih 40 orang terkaya Indonesia anjlok hampir 50% dibanding tahun lalu. Devisa negarapun konon sudah tergerus lebih dari 12 milyar dollar.

Secara perlahan krisis diperkirakan akan semakin berat dan bisa melanda masyarakat luas, bagaimana nanti apabila harga-harga terus naik, sembako menjadi barang mahal, stabilitas harga sulit dijaga?. Bagaimana juga kalau terjadi PHK besar-besaran?. Kondisi ini di perkirakan akan menjadi kerawanan tersendiri dan sangat berbahaya bagi citra dan popularitas SBY dan Demokrat. Kalau krisis menjadi lebih serius dan berada “diluar kuasa” SBY, maka dapat diperkirakan akan menjadi pukulan berat dengan kesimpulan konstituen berkait dengan ”ketidak mampuan”. Artinya konstituen akan beralih dan mencari tokoh alternatif yang mereka nilai jauh lebih mampu dalam mengatasi permasalahan.

Nah, dari apa yang telah disampaikan dan dibahas, dari segi kekuatan dan kemampuan, memang SBY dan Partai Demokrat kini masih berada diperingkat teratas, SBY dapat dikatakan belum “tertandingi”. Yang penting dan harus diperhatikan adalah titik rawan SBY, sebagai ujung tombak, tidak boleh cacat, tidak boleh tercederakan, harus tetap dijaga terus “mengkilap”. Untuk menjaga secara normalpun, imbas krisis diperkirakan akan tetap berat. Tekanan menjelang pemilu dan pilpres akan semakin serius dan berat. Bagaimana kalau ada yang melakukan penyerangan, “black campaign” karena ulah politik di negara ini kadang membuat miris, masih ada yang tega melakukan tindakan “menghalalkan cara”. Semoga informasi ini bermanfaat bagi para elit, yang masih kita percaya akan membawa negara ini menuju cita-cita bangsa yang makmur dan sejahtera. PRAY.

Eep Khunaefi,
— 13 Desember 2008 jam 2:17 pm

Pak De, saya setuju dengan teori “K-3″-nya. Seperti yang terjadi pada Bapak saya, K-2 (kekuatan dan kemampuan) SBY mampu menggelontorkan rasa fanatik ke-NU-an dan ke-Gus Dur-annya. Sedang K-1 (kerawanan) SBY tidaklah terlalu beresiko. Untuk kasus BBM, menjelang pilpres 2009 saya melihat SBY melakukan gebrakan yang cukup bagus yaitu menurunkan harga premium. Saya yakin, ke depan akan ada lagi harga-harga yang diturunkan SBY sebelum perhelatan besar itu terjadi. SBY itu cerdik dan pintar. Ia memimpin dengan hati dan tahu apa yang mesti dilakukannya. Jangan-jangan, saya juga bisa seperti bapak saya nanti, “Pengagum Baru SBY” -meski hingga sekarang belum.
By the way, Pak De nih senang banget ya ngulas tentang SBY. Oya, hobi Pak De ‘kan membaca SBY dan Kompasiana. Satu lagi, Pak De nih -meski sudah uzur tapi ganteng sih, tetap produktif nih menulis. Padahal, Pak De sibuk sekali. Semoga Pak De sehat selalu.

mahendra,
— 13 Desember 2008 jam 3:20 pm

selamat siang pak pray,sby memang mengeluarkan jurusnya diakhir masa jabatannya, tapi kelihatannya berjalan baik2 saja selama ini. dia meracik segala strateginya dengan cerdik dan pintar. mudah 2 an saja tidak hanya “tebar sepona” eh “pesona”. tapi daripada megawati sih mending SBY, tapi saya kok masih krg bisa berpihak kepada sby ya?? seperti masih ada yang mengganjal gt lho? tapi yasudahlah saya juga ga ambil pusing, yang penting sekarang bagaiman bekerja dengan baik agar tidak terkena dampak krisis global. yang terpenting sekarang adalah kenyamanan dan ketenangan dalam bekerja, soal presiden yang terpenting adalah memberi lapangan pekerjaan seluas2nya bagi rakyatnya. pasti rakyat akan suka padanya.salam,mahendra

Andreas,
— 13 Desember 2008 jam 4:03 pm
Salam Pak Prayit,
Saya rangkumkan tanggapan blog Bapak dua sekaligus dengan yang Bapak tulis mengenai Ibu Mega di http://prayitnoramelan.kompasiana.com/2008/11/25/masih-besarkah-peluang-megawati/.
Memang melihat keadaan sekarang ini, kans Pak SBY masih lebih tinggi dibanding Ibu Mega. Saya katakan kans lebih tinggi, bukan mutlak, bukan absolut, bukan pasti. Saya tidak terpengaruh oleh hasil daripada lebaga survei-lembagai survei, tapi murni dari analisa saya. Kebetulan hasilnya lebih kurang sama, walapun jalannya berbeda.
Melihat faktanya, Pak SBY lebih pantas jadi Presiden periode yang akan datang dibanding Ibu Mega. Berikut adalah hal-hal yang menguatkan kans Pak SBY:1. Pak SBY punya rekam jejak yang jelas, latar belakang pendidikan jelas, prestasi jelas. Ketika reformasi sedang hangat tahun 1999, reformasi terjadi ditubuh ABRI (saat itu masih ABRI, belum TNI, Pak Prayit tentu lebih tau sebagai purnawirawan), saat itu dibawah kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab. Oleh Wiranto, SBY ditugaskan menjadi menjadi Kaster ABRI (Kepala Staff Teritori ABRI (mohon dibetulkan kepanjangannya kalau saya salah), muncul tulisan di salah satu majalah international yang bermarkas di NY USA sono dengan judul: “The right man leads ABRI”. Artinya dunia international pun mendukungnya.2. Ketika Gus Dur jadi presiden, SBY diangkat oleh Wiranto sebagai Menteri Pertambangan, walau SBY sendiri masih ingin di ABRI/TNI untuk meneruskan reformasi TNI, namun tetap harus meninggalkan posnya tersebut demi tugas negara yang tidak ada kena-mengenanya dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.3. Ketika pertengahan pemerintahan Gus Dur, Gus Dur ingin mengangkatnya sebagai Menteri Pertama (yang artinya sama dengan perdana Menteri, di mana tidak ada di Indonesia), SBY tidak memberi tanggapan yang berlebihan.4. Masa akhir pemerintahan Gus Dur, Gus Dur memberi semacam supersemar kepada SBY sebagai Menkopolkam untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap suasanya politik yang ribut, namun SBY tidak menggunakannya karena sadar itu adalah tindakan inkonstitusional, SBY memilih Mundur.5. Ketika Ibu Mega terpilih sebagai presiden, SBY kembali jadi Menkopolkan.6. Ketika keinginan kuat jadi presiden makin mengkristal, SBY mendirikan Partai Demokrat untuk jadi kendaraan politiknya, berbeda dengan Wiranto yang tetap ingin bernaung dibawah rindangnya pohon beringin menahan teriknya iklim politik. SBY terlihat percaya diri dengan kemampuannya, sementara, baik Gus Dur dan Ibu Mega mengangkat Pak SBY sebagai presiden lebih sebagai untuk perbaikan citra mereka sendiri. Mereka berdualah yang butuh SBY, bukan SBY yang butuh mereka (walau memang pada hakekatnya SBY juga butuh mereka).
Jika kita membandingkan peer-to-peer, SBY vs Mega, SBY vs Wiranto, SBY vs Prabowo, SBY vs Sutiyoso, SBY vs Sultan, SBY vs siapa saja, maka akan terlihat kemungkinananya sebagai berikut:1. SBY vs Mega: Cukup jelas, SBY mengalahkan Mega dalam Pilpres 2004. Suka tidak suka, rakyat meilih SBY dengan perbandingan yang cukup telak.2. SBY vs Wiranto: Wiranto sudah terbukti bahkan 2 besarpun tidak pada Pilpres 2004, dia masih menggunakan Golkar sebagai kendaraan politiknya, dan suara Golkan masih cukup kuat, pemenang dalam Pemilu 2004. Selain itu, Wiranto pernah harus keluar dari kabinet Gus Dur dengan cara yang tidak terhormat karena tersangkut kasus Timtim jika tidak salah.3. SBY vs Prabowo: Prabowo jelas merupakan figur yang membingungkan. Mungkin dia memang tidak terkait dengan kasus-kasus penculikan dan kasus kerusuhan Mei, tapi banyak orang menganggapnya seperti itu (untuk yang ini, Pak Prabowo sudah dengan tegas mengcounternya ketika menanggapi buku Pak Habibie di Kick Andy Metro TV). Selain itu, apakah nilai positif lain yang telah ditunjukkan oleh Prabowo kalau mau jadi presiden? Apa track recordnya?4. SBY vs Sutiyoso. Sutiyoso bisa dikatakan cukup hebat sebagai gubernur Jakarta, berani babat habis. Namun, dua kali masa pemerintahannya, Jakarta banjir besar. Ada keengganan masyarakat akan memilihnya karena factor X. Di samping itu, Bang Yos ruang lingkupnya masih hanya DKI, dia belum tentu diterima daerah lain.5. SBY vs Sultan. Sultan mungkin punya hati yang tulus dan iklas untuk memajukan negeri ini, tapi dia tidak punya pamor yang cukup untuk maju ke tingkat nasional. Sifatnya yang njawa tidak cocok memimpin negeri ini.6. SBY vs siapa saja: Siapa pun yang mau maju jadi capres, kalau tidak ada track record, tidak akan menang.
Di masa hiruk pikuk kampanye presiden tahun 2004 lalu, saya sering duduk di warung kecil, ngobrol2 dengan tukang warung, ngobrol dengan tukang ojek, dengan poenjuan nasi goreng, dan sebangsanya (maksudnya yang lebih kurang profesinya selevel). Amazing. Pada saat itu, analisa mereka sudah sangat mengena ke inti permasalahan negari ini. Mereka sudah sangat mengerti apa sebenarnya yang dibutuhkan bangsa ini. Saat itu, candidate sudah mengerucut jadi hanya dua, Mega dan SBY, walaupun Pilpres putaran pertama masih belum dilaksakan. Faktor Hasyim Muzadi tidak berpengaruh kepada mereka walaupun di dinding warungnya tergantung sebuah kalender besar NU. Amin Rais, jelas lebih tidak masuk pada hitungan mereka. Wiranto? Mereka sudah tidak suka pada track recordnya, yaitu kasus Timtim dan didepaknya dari kabinet Gus Dur. Hamzah Haz malah seperti tidak ada dalam pikiran mereka.
Apa yang ingin saya katakan di sini, bahwa rakyat kita sudah mengerti siapa sebenarnya yang dibutuhkan untuk memimpin negeri ini. Pemeikiran seperti ini sudah kira-kira masuk ke pemikiran pada umumnya orang di Pulau Jawa dan daerah-daerah yang informasi sudah terbuka. Faktor agama? No way. Seperti saya sebut di atas, Faktor NU tidak berpengaruh kepada pasangan Mega - Hasyim walau mereka adalah pengikut NU. Memang, faktor Agama (gender) ikut mempengaruhi kejatuhan Mega, tapi itu lebih pada memastikan kekalahannya, bukan faktor utama, yang utama adalah masalah kemampuan.
Jadi, kalau SBY vs Mega (atau Mega vs SBY) lagi, saya yakin, rakyat akan memilih SBY. Bagaimana kalau SBY vs yang lain? Sejauh ini, belum ada tokoh yang kira2 mumpuni dibawa ke tigkat international dan diterima rakyat. Belum ada calon yang punya visi yang jelas. Prabowo memang gencar dengan iklannya, tapi dia tidak punya rekam jejak yang jelas, apalagi yang baik. Bagaimana dengan calon dari partai Islam seperti PKS? Mereka adalah partai yang lagi naik daun, tapi tidak punya figur yang bisa dicalonkan memimpin bangsa ini. Mereka mungkin akan mendulang banyak suara legislatif, tapi tidak jika mereka mengajukan sendiri capresnya.
Singkatnya, setuju tidak setuju, kita masih harus bersabar hingga Pilpres 2014 kalau menginginkan presiden yang baru. Saya bukanlah pendukung SBY, saya secara pribadi kurang respek karena kurang tegas, tapi beliaulah yang terbaik yang ada saat ini, tidak ada satu pun emerging fugures. Mungkin analisa bisa salah, tapi saya yakin itulah yang akan terjadi. Atau kalau mau presiden baru, calon yang lain harus merobah strategi jualannya.
Salam.

Prayitno Ramelan,
— 13 Desember 2008 jam 6:39 pm
Mas Eep, terima kasih ya tanggapannya, tolong diperhatikan, dalam menggunakan metoda K-3, justru yang paling harus di waspadai adalah faktor kerawanan subyek. Ini bisa menjadi sebuah mala petaka apabila tidak di cermati, “sebuah kerawanan apabila diexploitir akan menyebabkan kelumpuhan”. Saya tekankan betul yg harus diwaspadai apabila krisis berada “diluar kuasa” SBY, akan menjadi ancaman nyata. Itu kira-kira pesan yg terkandung dan terpenting Mas Eep. Kalau anda mulai seperti bapaknya yg mulai mengagumi Pak SBY ya boleh saja, toh beliau salah satu calon presiden yg akan dipilih bukan. Saya kalau menulis ya tergantung mood kali ya, kebetulan yang saya bahas mereka yang elektabilitasnya sudah agak tinggi, seperti SBY, Bu Mega, Prabowo, Golkar, Partai Demokrat, PKS, Gerindra. Saya sedang mengumpulkan dan mempelajari tentang Hanura dan Pak Wiranto, Hidayat Nur Wahid juga menarik dijadikan bahan penelitian. Gitu ya Mas Eep, saya harus “fair”. jujur tidak boleh memihak, menulis apa kata fakta2 saja. Tentang komentar terhadap saya pribadi, wah terima kasih nih, kan “Old Soldier Never Die”, maksudnya jangan mati semangatnya…gitu ya Mas Eep, terimakasih juga doanya, dan juga doa saya juga kepada anda ya…semoga Allah memberikan nikmatnya hingga andapun juga pulih seperti sedia kala.Amin.Ok, salam Hangat.Pray

Prayitno Ramelan,
— 13 Desember 2008 jam 9:30 pm
Mas Mahendra, Terima kasih tanggapannya, iya saya pikir bagi yg bukan partisan parpol, ikuti saja perkembangan para calon, kan lama2 jadi suka kepada seseorang. Wajarlah Mas, kita putuskan nanti kalau sudah dekat2. Saya setuju sekarang konsentrasi menghadapi kemungkinan terburuk, heran sepertinya pada tenang2 ya, padahal kalau membaca penjelasan para pengamat ekonomi sayapun ikut serem juga. Salam.Pray.
Mas Andreas, wah jadi berturut2 ni menanggapinya, sya berterima kasih sudah dimasukkan blog archive artikel ini ke artikel ttg Bu Mega, tentang pendapat dan analisanya itu…boleh juga isinya…so kenapa tidak membuat suatu ulasan politik, karena beberapa argumennya masuk tuh Mas. Saya kira kalau tidak ada ancaman krisis berat, memang SBY masih susah dilawan, kebijaksanaan pemerintah, dengan dukungan penuh dari lembaga-lembaga pemerintah secara otomatis akan menaikkan pamor SBY. Jadi siapa yg bisa melawan? Sementara parpol2 itu sudah banyak yg senin-kamis nafasnya ya. Gitu ya Mas Andreas. Salam.Pray

Adhy,
— 14 Desember 2008 jam 4:11 pm
“… Singkatnya, setuju tidak setuju, kita masih harus bersabar hingga Pilpres 2014 kalau menginginkan presiden yang baru…. ” - Andreas -
saya setuju dg pendapat anda. pertempuran sengit 2009 bakal terjadi antara golkar, PDIP, Demokrat dan PKS. partai-partai lain sedang krisismacam-macam. PKB pecah, PAN tenggelam seiring tenggelam Amin Rais-nya , PPP monoton manuver politiknya(Gak gaul/gak ngikutin zaman). kalo partai baru kayak HAnura, Gerindra dll bisa jadi partai menengah juga sdh untung banget ditengah masyarakat indonesia sekarang yang sudah jenuh dg PILKADA.
Golkar masih belum PD menyatakan calonnya melihat merosot hasil-hasil PILKADA. mesin politiknya sedang bermasalah.
PKS menunggu hasil legislatif 2009. menarik partai ini. PKS menyadari betul kalo pasar pemilih islam terbatas. walau smua suara partai islam dijumlah, tetep blm bisa melampoi jumlah partai nasionalis (golkar+PDIP). walau pun Indonesia jumlah penganut agamanya mayoritas islam, tp ini realitas politiknya. melihat manuver-manuver terakhirnya, terlihat PKS mulai menyebrang dari “kanan” ke “tengah”. apakah langkah ini bakal berhasil, atau justru malah gagal? kita lihat 2009.
Oleh karena itu peta pertarungan presiden 2009 tinggal menunggu Golkar dan PKS.

prayitno ramelan,
— 14 Desember 2008 jam 7:50 pm

Adhy, boleh juga pendapatnya itu, nah kita sebaiknya terus mengikuti perkembangan situasi dan kondisi tanah air agar kita “terbangun” dan tidak “tertidur”. itulah sebuah realita disini dengan besarnya pengaruh globalisasi.Salam.

Tidak ada komentar: