Senin, 01 September 2008

INTELIJEN DAN TEROR BOM, SEBUAH ANALISA

Oleh : Prayitno Ramelan
Jakarta, Oktober 2005


Sebuah renungan dibulan suci Ramadhan............

Terjadinya tiga serangan Bom di daerah wisata Kuta dan Jimbaran Bali pada tanggal 1 Oktober 2005 dirasakan cukup mengejutkan bagi masyarakat Bali pada khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya, dengan serentak mereka mengatakan bahwa serangan tersebut adalah suatu teror yang dilakukan oleh teroris.

Kemudian, setelah media elektronik berlomba-lomba menayangkannya sebagai berita utama, yang menggambarkan kengerian dan keganasan serangan yang terjadi, munculah reaksi masyarakat yang menyalahkan Intelijen dan Kepolisian RI yang dinilai gagal untuk melindungi dan menjaga keamanan masyarakat terhadap serangan bom yang terulang kembali. Reaksi yang muncul tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari kalangan elit politik, bahkan termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyatpun memberikan penilaian yang kurang baik terhadap kinerja Badan Intelijen Negara.

Bom yang terjadi di Kuta dan Jimbaran tersebut adalah yang kedua kalinya terjadi di Bali dan kesekian kalinya terjadi ditanah air. Mencermati beberapa kasus serangan bom ditanah air serta pengetahuan masyarakat awam tentang teror, akan coba disampaikan sebuah analisa hubungan intelijen dan teror bom, agar kita dapat bersama-sama merenung, berfikir dan mudah-mudahan sependapat bagaimana mengantisipasi serta berusaha meniadakan serangan bom yang masih sangat mungkin terjadi lagi dikemudian hari.

Teror dan Sasaran Teror

Menurut Encyclopedia Americana dan Britanica, kata “teror” berasal dari peristiwa pada musim panas Tahun 1793 dimana telah terjadi revolusi Perancis, dan disana terjadi pembunuhan-pembunuhan pada jaman “Reign of Terror “. PBB mendefinisikan bahwa terorisme adalah segala bentuk tindakan atau perbuatan yang membahayakan atau mengambil nyawa orang tak berdosa atau membahayakan kemerdekaan.

Pendapat lain disampaikan oleh William Rodier seorang instruktur di AS yang ahli dalam incident management, bahwa terorisme adalah suatu symbolic act, sehingga bagi teroris, tujuan untuk membinasakan sesuatu bukanlah tujuan utama dan biasanya hal itu tidak begitu penting, berapapun banyak jatuh korban termasuk juga dirinya. Yang dikehendaki adalah terjadinya perubahan yang dituju baik oleh sipenyandang dana ataupun si perencana. Teori ini yang menempatkan teror menjadi alat yang sangat mengerikan.

Organisasi teroris didunia terus mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serangannya dalam menghadapi tindakan counter,sehingga tiap serangan selalu menimbulkan daya kejut dan kengerian yang tidak pernah berhenti. Pada awalnya teror dilakukan dengan pembunuhan perorangan,berkembang menjadi pembajakan pesawat, kemudian berkembang lagi menjadi serangan bom (low or high order explosives), bahkan serangan terahir yang mengejutkan adalah serangan terhadap menara WTC yang diruntuhkan hanya dengan other explosives (bukan bahan peledak).

Serangan teror yang kelihatannya mereka nilai masih efektif dan efisien hingga saat ini adalah dengan pola bom bunuh diri, yang tingkat kegagalannya relatif kecil. Dalam beberapa tahun terahir, AS telah dipusingkan dan disibukkan karena menjadi target utama serangan teror diseluruh dunia, serangan telah terjadi didalam negeri AS, Afganistan, Iraq, Cassablanca, Riyadh,Yaman,Jordania, dan beberapa Negara lain termasuk juga di Indonesia.

Pada masa lalu, saat era perang dingin,didunia ini terdapat 2 blok yang saling berhadapan yaitu Blok Barat (dipimpin AS) dan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet). Setelah era perang dingin selesai dengan keruntuhan blok Timur, kelihatannya hingga kini adalah peperangan antara blok AS dengan blok Teroris. Juru bicara Kemlu Rusia Alexander Yakovenko setelah serangan bom di Bandara Riyadh mengisyaratkan bahwa Rusia berpihak keblok AS dengan mengatakan “bahwa bom bunuh diri di Arab Saudi dan di Chechnya serta ditempat-tempat lain terhubung dalam satu mata rantai, sekarang makin tampak jelas bahwa teroris internasional Al Qaeda, setelah dikalahkan di Afghanistan berusaha untuk bangkit kembali dan menyerang dunia yang beradab”.

Di Indonesia, teror bom dalam 5 tahun terahir terjadi dikota-kota Jakarta, Medan, Ambon, Surabaya,Makassar, Poso dan Bali. Dari hasil penyidikan Polri, serangan bom di Bali dan Jakarta sementara disimpulkan mempunyai hubungan yang sangat sangat erat, dan bahkan sangat patut diduga berkait dengan jaringan internasional, dimana 2 tokoh misterius pakar serangan bom DR Azahari dan Noordin M Toop sebagai otak pelatih, pembuat bom dan perencana serangan yang hingga kini belum tertangkap adalah warga Negara Malaysia. Identitas kedua orang tersebut tidak dengan pasti diketahui, walaupun foto keduanya telah disebarkan Polri kemasyarakat.

Serangan bom dibungkus dengan suatu pesan psikologis, yaitu bukan ditujukan kepada warga negara dan fasilitas Indonesia, tetapi kepada sasaran Warga Negara asing dan fasilitas asing terutama AS dan sekutunya. Di Bali bom pertama yang diledakkan pada tanggal 12 Oktober 2002 mereka akui mempunyai berat 1,5 ton, dimuat dalam mobil L-300, merupakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Arnasan alias Jimi di Sari Club, sementara pada waktu yang hampir bersamaan Isa alias Feri meledakkan bom rompinya (juga bom bunuh diri) di Paddy’s Club, Ali Imron hanya meletakkan bom 5 kg didekat konsulat AS.

Ledakan bom tersebut telah meluluh lantakkan daerah disekitar Sari Club, korban yang tewas sebanyak 202 orang,mayoritas warga Negara Australia tewas dan sekitar 300 orang menderita luka-luka, salah seorang perencana awal serangan bernama Idris menyebutnya serangan tersebut sebagai operasi Jihad. Bom Jakarta dilakukan dihalaman Hotel JW Mariot pada tanggal 5 Agustus 2003, dengan pola yang sama yaitu bom bunuh diri dengan mobil (Asmar Latin Sani), mengakibatkan kerusakan Hotel JW Mariot dan Plaza Mutiara yang cukup parah,11 orang meninggal dan 152 mengalami luka-luka.

Serangan selanjutnya di depan Kedubes Australia Jakarta dengan bom mobil, juga bom bunuh diri, mengakibatkan kerusakan dan kehancuran yang cukup parah di Kedutaan Australia dan bangunan disekitarnya, dengan korban 5 tewas dan ratusan luka-luka. Serangan bom bunuh yang terahir terjadi di Jimbaran dan Kuta (3 sasaran) dilakukan ditempat umum/restaurant, pihak Kepolisian menjelaskan bom bunuh diri tersebut dilakukan 3 orang yang membawa bom didalam tas/ransel yang hingga kini belum diketahui identitasnya, korban tewas 23 orang dan 102 luka-luka, kerusakan lingkungan tidak terlalu parah dibandingkan Bom Bali 2002, ataupun bom JW Marriot dan Kedubes Australia.

Intelijen

Intelijen dapat dilihat sebagai sebuah Organisasi, sebuah Kegiatan atau Ilmu Pengetahuan. Sesuai dengan harfiah katanya, seorang insan intelijen seharusnya seorang yang cerdas, lulus psikotest, terutama kecerdasan dan kadar kesetiaannya, dan harus lulus dari jenjang pendidikan intelijen. Sebagai suatu organisasi maka sebuah Badan Intelijen dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Negara/organisasi pembentuk serta tujuan yang hendak dicapai dan merupakan mata dan telinga Pimpinan Negara ataupun organisasi dibawahnya seperti bidang militer/pertahanan, kepolisian, kejaksaan, imigrasi dll .

Tugasnya adalah melakukan pengumpulan informasi yang kemudian diolah untuk jadikan bahan keterangan ternilai yang disebut sebagai intelijen. Bahan intelijen tersebut hanya diberikan kepada user (pengguna/atasan), mencakup bermacam-macam hal, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan user. Pada pandangan intelijen, ”teror” adalah sebuah pengetahuan yang juga harus terus dipelajari, disamping pengetahuan ekstrim lain seperti sabotase, insurgensi, perang urat syaraf , propaganda dll.

Pengetahuan harus dikuasai, karena bagaimana personil intelijen dapat melakukan counter terhadap teror kalau dia tidak menguasai secara mendalam pengetahuan tentang teror yang terus berkembang. Pada sebuah badan intelijen, dinegara manapun para personil yang dilatih khusus menangani masalah teror biasanya adalah para personil penggalangan (conditioning), mereka dilengkapi dengan para spesialis penyelidikan dan pengamanan. Para personil tersebut terutama adalah mereka yang sudah memiliki pengetahuan dasar intelijen, kemudian dididik dan dimatangkan menjadi spesialis/analis penggalangan dan spesialis anti teror, diantaranya dapat bekerjasama ataupun digabungkan didalam pasukan/satgas anti teror.

Analis intelijen selalu dituntut harus mampu menyampaikan sebuah perkiraan apa kemungkinan yang akan terjadi/kemungkinan serangan akan terjadi, berdasarkan data-data yang ada pada the past and the present. Amerika Serikat sebagai sebuah Negara besar dengan badan intelijen yang tidak diragukan lagi (CIA), selalu melakukan pengumpulan informasi tentang kegiatan dan serangan teror diseluruh dunia dalam rangka meng “counter” kemungkinan serangan terhadap warga negara maupun fasilitasnya.

Operasi intelijen oleh badan-badan intelijen AS terutama CIA telah menghabiskan dana yang sangat besar karena daerah operasinya diseluruh dunia. Setelah serangan WTC, sejumlah anggota kongres dan senat AS mengatakan kasus WTC adalah kegagalan besar sistem intelijen AS, walaupun AS telah menghabiskan sedikitnya 10 milyar dollar dalam membiayai kegiatan intelijen dan anti teroris. Kegagalan tersebut disebabkan karena konsekwensi penerapan faham Hak Asasi Manusia dalam operasi intelijennya.

Pola lama (infiltrasi) yang biasa mereka lakukan kekelompok teroris digantikan dengan sistem pelacak canggih elektronis (signal intelligence) yang lebih mengandalkan kepada teknologi canggih. Disinilah kegagalan mereka, karena para teroris di AS membatasi penggunaan alat komunikasi dan lebih mengutamakan sistem personal meeting.

Indonesia mempunyai cukup lengkap Badan/Satuan Intelijen yang sebenarnya cukup mumpuni, juga bertugas menangani kegiatan anti teror, seperti BIN, Satgas Anti Teror Polri, Gegana, Bais TNI dan Satuan-satuan anti teror TNI(Gultor/TNI AD, Jalamangkara/TNI AL dan Bravo/TNI AU), disamping itu terdapat juga intelijen Kejagung, imigrasi, bea cukai dll. Pada beberapa waktu belakangan ini,secara hukum, yang lebih fokus menangani masalah teror adalah Kepolisian RI, sementara BIN melakukan kegiatan pengumpulan bahan keterangan untuk Kepala Negara, Intelijen TNI lebih dikonsentrasikan kepada kegiatan intelijen pertahanan.

Selain Badan/Satuan Intelijen diatas, di Komando Teritorial juga terdapat pejabat dan satuan intelijen yang dapat dikatakan sudah tertata dengan baik diseluruh wilayah tanah air, baik dalam tingkatan Kodam, Korem dan Kodim, dibawah Kodim terdapat Koramil yang walaupun tidak memiliki intelijen tetapi mampu berperan sebagai early warning, dengan Babinsa (Bintara Pembina Desa) sebagai pelaksana yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Analisa

Teror adalah kegiatan penyerangan yang tanpa belas kasihan menghancurkan sasaran yang telah ditentukan demi tujuan tertentu. Kelebihan pelaku teror adalah bahwa inisiatif serangan berada ditangan mereka, sementara aparat keamanan dan intelijen harus melindungi sasaran yang tersebar luas dibeberapa tempat. Penanganan terhadap kelompok teroris apabila sudah terjadi di suatu Negara tidaklah dapat dilakukan oleh satu atau dua instansi saja, upaya akan tidak efektif, karena yang dihadapi adalah suatu kelompok yang terorganisir, terlatih, terdukung dan nekat.

Dari hasil pemeriksaan beberapa orang dari kelompok teroris di Indonesia yang tertangkap, mereka mengaku pernah mengikuti latihan di Afganistan dan Philipina Selatan dan mereka rata-rata sangat meyakini tujuannya menjadi seorang teroris. Dari beberapa kasus serangan bom di tanah air, maka 4 kasus yang sangat patut diduga mempunyai rangkaian dan berhubungan erat adalah Bom Bali (2 kali/5 bom meledak), JW Marriot (1 kali), dan Kedubes Australia (1 kali). Tiap sasaran diserang dengan tenggang waktu sekitar 10 bulan hingga setahun, terjadi di Bali bulan Oktober 2002, JW Marriot Agustus 2003, Kedubes Australia September 2004 dan terahir Bali oktober 2005.

Tiga sasaran diserang bom mobil dengan daya ledak yang sangat besar, yang terahir sasaran diserang dengan 3 bom yang dibawa oleh pengebom. Keseluruh rangkaian serangan dilakukan dengan pola bom bunuh diri. Pada 3 serangan pertama mereka menggunakan bom mobil dengan jumlah dan berat bom yang sangat besar, sebagai contoh bom Bali yang meledak beratnya tidak main-main hingga mencapai 1500 kg. Setelah Bom 2002, aparat Kepolisian dan Intelijen terus mengejar pelaku dan jaringan teroris.

Walaupun dua serangan gagal diantisipasi, tindakan counter teror kelihatannya mulai berhasil membatasi ruang gerak para teroris, terlihat dari bom terahir yang diledakkan di Jimbaran dan Kuta bukanlah jenis bom besar, tapi relatif kecil dibandingkan 3 bom terdahulu. Kelihatannya persediaan bahan pembuat bom mereka mulai terbatas, karena telah diledakkan di 3 lokasi dalam jumlah banyak. Sejak 2002 aparat keamanan terus melakukan monitoring dan memperketat perdagangan bahan-bahan kimia didalam negeri yang dapat dibuat menjadi sebuah bom seperti potassium florat, belerang dan bubuk aluminium.

Disamping itu tindakan pemeriksaan kendaraan dan pengunjung ke tempat-tempat fasilitas umum, ke hotel, kekantor-kantor yang diperketat juga kelihatannya berhasil membatasi ruang gerak para teroris. Oleh karena itu, dengan keterbatasannya, mereka terahir di jimbaran dan Kuta menyerang sasaran terbuka yang tidak diperiksa aparat keamanan. Jumlah bom kecil tetapi diledakkan di 3 lokasi, dengan harapan efek psikologisnya diharapkan tetap besar.

Tindakan pengeboman selama ini mereka bungkus dalam pesan samar, yaitu dalam rangka menyerang sasaran asing, warga Negara Indonesia dan fasilitasnya bukanlah sasaran. Di Bali mereka mengatakan menyerang club tempat orang asing berkumpul, JW Marriot dikenal sebagai Hotel milik AS, Kedubes Australia adalah fasilitas asing. Jadi dengan demikian mereka menciptakan kondisi agar tidak dimusuhi oleh rakyat Indonesia dan pada kenyataannya demikian hasilnya. Terdapatnya korban Warga Negara Indonesia yang jatuh pada ahirnya akan dimaklumi masyarakat dengan kesimpulan mereka sedang sial saja berada ditempat ledakan terjadi.

Serangan mereka lakukan dengan interval 10-12 bulan, kelihatannya dalam rangka desepsi, pengamanan organisasi dan perorangan kelompoknya, serta menurunkan rasa kecemasan dan ketegangan masyarakat. Serangan yang intervalnya terlalu dekat dapat menyebabkan masyarakat was-was dan takut yang berlebih, lama-lama seluruh masyarakat akan dapat memusuhi mereka, hal ini kelihatannya yang mereka hindari. Mereka memang tidak secara jelas menjelaskan apa motif serangannya, secara tersamar yang terbaca adalah sasaran asing. Hal ini menunjukkan betapa hebatnya si perencana dalam mengkondisikan pola pikir masyarakat kita.

Masyarakat dan bahkan para ahli sosial, psikolog dan analis intelijen hingga saat ini belum dapat menyimpulkan secara pasti motif mereka, motif agama juga bukan, menyerang pemerintah juga tidak , hanya pernah diungkapkan oleh kelompok tersebut bahwa operasi bom Bali adalah operasi Jihad dengan sasaran warga asing. Hal tersebut tidak dibenarkan oleh Prof Dr Syafiii Maarif/Kompas 8 Oktober 2005, yang mengatakan “penafsiran jihad oleh kelompok fundamentalis sebagai kekerasan yang dilegalkan agama adalah bertentangan dengan konsep jihad yang dikenal dalam Islam, fundamentalisme agama yang sering dijadikan pembenaran bagi kelompok-kelompok yang beranggotakan anak-anak muda yang berani mati, dinilai sebagai sebuah gerakan politik yang didasari kepentingan parsial”.

Para pelaku jelas sudah berhasil di “brain wash” oleh pengendali operasi, terlihat dalam pengadilan, pelaku-pelaku yang tertangkap dengan tenang tertawa-tawa saat diadili, walaupun sudah dijatuhi hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati. Suatu hal yang patut segera ditindak lanjuti dengan sangat serius adalah segera menemukan siapa tokoh intelektual yang menjadi pengendali dan penyandang dana serangan-serangan yang terjadi.

Melihat dari organisasinya, kelompok teroris biasanya terdiri dari penyandang dana, pengendali operasi, agen pendukung dan pelaksana (eksekutor). Keberadaan 2 tokoh misterius dan yang selalu lolos dari penangkapan, DR Azahari dan Noordin M Toop, kelihatannya merupakan tokoh kunci serangan bom selama ini dan kemungkinan dapat melakukan serangan susulan bom ataupun serangan teror dalam bentuk lain di Indonesia. Secara jelas kita belum tahu, siapa kedua tokoh ini, kita hanya tahu keduanya sebagai warga Negara Malaysia.

Sedemikian hebatnya kedua orang ini bersembunyi sehingga sudah sekitar 3 tahun belum juga tertangkap, sedangkan foto-fotonya sudah disebarkan oleh Kepolisian RI dimasyarakat sejak lama. Kalau benar mereka masih di Indonesia, maka jaringan pendukung mereka (support agent) dapat dikatakan cukup kuat menyembunyikan mereka (Merujuk yang dikatakan Psikolog Sartono Mukadis Kompas 6 Oktober 2005 “Kalau mau jujur, banyak sebenarnya masyarakat yang bersimpati pada perbuatan mereka, ada yang terang-terangan, ada juga yang secara diam-diam, termasuk beberapa elit politik”).

Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah kedua orang tersebut juga terkait masuk dalam jaringan kelompok teroris internasional, yang menyerang sasaran-sasaran AS dan bloknya diwilayah Indonesia. Berarti wilayah Indonesia sedang dijadikan ajang perang antara blok teroris dengan blok AS. Ataukah kesimpulannya dibalik, serangan bom dilakukan, dibiayai oleh suatu Negara dengan tujuan membuat kacau dan merusak stabilitas keamanan Indonesia, akan tetapi pesan dibungkus seakan-akan penyerang adalah jaringan teroris internasional yang menyerang Blok AS. Memang sulit mengungkap kebenaran kasus ini.

Kedua tokoh teroris luar negeri tersebut jelas bersembunyi/disembunyikan disuatu tempat khusus atau justru bersembunyi/disembunyikan justru ditempat terang. Yang dapat menjawab adalah hanya apabila kita bersama-sama, aparat dan masyarakat bahu membahu mengejar keduanya, ataukah intelijen sudah mampu meng “infiltrasikan” agennya, atau intelijen diberikan biaya besar oleh pemerintah untuk melengkapi pembelian peralatan canggih.

Seruan Presiden SBY pada peringatan HUT TNI 5 Oktober 2005 tentang melibatkan unsur teritorial TNI dalam menangkal teroris kiranya tidaklah perlu diributkan, kita kelihatannya sudah perlu memanfaatkan Komando Teritorial yang sudah tertata dan berpengalaman untuk membantu mengejar kedua sasaran utama dan kelompoknya, sementara kita singkirkan dahulu kecurigaan yang timbul terhadap TNI untuk tujuan penting ini.Yang diperlukan dalam pelibatan unsur teritorial dalam operasi anti teror ini adalah suatu “rule of engagement”.

Kita harus tetap waspada “the future”, dengan segala keterbatasannya, bukan tidak mungkin mereka akan kembali melakukan serangan kecil tetapi jumlahnya banyak, atau mereka merubah pola, dengan melakukan serangan perorangan terhadap sasaran-sasaran personil asing baik di Jakarta, Bali ataupun dimana terdapat kantor-kantor keluarga besar AS di Indonesia. Atau mereka menghentikan/menunda serangan lanjutan karena sasaran pokok sudah tercapai. Kalau kita tidak cepat memutuskan langkah terbaik meng-counter teroris, maka aparat keamanan harus siap-siap untuk kembali dipermalukan oleh mereka.

Selain itu, kalau rencana serangan kelompok teroris ini tetap tidak terdeteksi, maka kita hanya dapat berdoa mudah-mudahan kita ataupun anak,istri, suami, orang tua atau keluarga kita lainnya tidak sedang sial dan menjadi korban karena berada ditempat serangan. Dibutuhkan keseriusan yang tidak main-main dan kerjasama yang sangat erat dalam mengantisipasi mereka, memang sulit menghadapi teroris. Berlaku hukum dimanapun “A Terorist in one side is a patriot on the other”. Mudah-mudahan tulisan dibulan suci ini menggugah dan menyadarkan kita semua.Amin.

Tidak ada komentar: