Senin, 01 September 2008

SANG TOKOH

Sumber : Seputar Indonesia - Sabtu, 20/10/2007

Tokoh dalam terminologi umum, berarti seseorang yang karena kelebihan, keahlian, kehebatan, peran, kepribadian, dan atau penampilannya disenangi, disukai, bahkan sangat dicintai serta diidolakan oleh seseorang atau sekelompok orang.

idak jarang orang mau membela tokohnya, ada pula yang sampai mau mengorbankan jiwa raga. Di dunia ini selalu terdapat dua sisi yang berlawanan. Ada siang-malam, kanan-kiri, atas-bawah,muka-belakang. Demikian juga ada tokoh jahat dan ada yang baik. Pemilihan seorang tokoh sangat tergantung pada persepsi, kepentingan, serta kebutuhan seseorang.

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, mulai muncul beberapa nama tokoh yang akan maju dalam perebutan kursi pimpinan nasional. Untuk maju sebagai calon presiden (capres), seseorang harus menjadi atau dijadikan tokoh nasional dulu, pantas mewakili partai, kredibel, cukup berpengalaman, punya banyak pendukung, punya dukungan dana yang cukup besar, dan terakhir harus dikenal masyarakat.

Untuk mengenalkan seorang tokoh, dibutuhkan waktu cukup lama, apalagi arus komunikasi dari pusat ke daerah sangat terbatas.Presiden Indonesia dalam pandangan rakyat adalah seorang tokoh yang sesuai kebutuhan psikologis rakyat saat akan dilaksanakan pemilihan.

Pada Pilpres 2004, tokoh SBY muncul memenuhi keinginan dan idealisme konstituen, sebagai simbol pemimpin yang tegas (mantan jenderal TNI), gagah, ganteng (kata kaum wanita saat itu), arif, sayang keluarga, simpatik, berkepribadian baik, pintar, dan cukup berpengalaman. Kesimpulannya, tokoh yang dapat diharapkan. Bertemunya keinginan dan adanya calon yang memenuhi kriteria dari konstituen itu yang akhirnya membuat SBY lebih unggul.

Pada Pilpres 2004,kita semua belajar berpolitik dengan sistem pemilihan presiden langsung,sehingga ada yang membuat ”blunder politik” atau salah perhitungan dalam berkoalisi dan memilih tokoh. Hal ini lebih banyak karena kurang lengkap dan akuratnya informasi dan perkembangan data yang dimiliki, mengabaikan atau bahkan tidak memiliki hasil riset.

Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif, pada Pilpres 2004 tidak mampu mengusung tokohnya ke putaran dua, kalah pada putaran pertama. Pada putaran kedua, Golkar justru berkoalisi dengan PDIP, sedangkan Jusuf Kalla sebagai cawapres SBY, adalah orang Golkar. Ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi petinggi partai besar dan mapan itu.

Meski Jusuf Kalla akhirnya menjadi Ketua Umum Golkar setelah menjadi wakil presiden, sebenarnya akan lebih cantik dan lebih enak bagi Golkar apabila saat itu berkoalisi dengan Partai Demokrat dalam pilpres putaran kedua. Tetapi inilah politik yang sarat dengan kepentingan kelompok, terkadang mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Posisi calon presiden dalam pemilihan presiden secara langsung adalah sentral.

Sementara calon wakil presiden berperan sebagai pendukung, menutup kekurangan, membantu perolehan suara di daerah ataupun di kelompoknya dan membantu mengorganisasi pengumpulan dana. Calon presiden sebagai tokoh sentral harus dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Sang tokoh tidak mungkin memopulerkan dan menjaga citranya sendiri.

Calon presiden harus didukung sistem yang didesain partai. Megawati sebagai capres yang juga mantan presiden,saat ini justru mempunyai posisi bebas dan menguntungkan untuk bergerak jauh lebih awal.Walau PDIP terpecah, posisi Mega sebagai tokoh sentral PDIP tetap kuat dan diperkirakan akan menjadi salah satu pesaing utama SBY. Posisi SBY sebagai presiden saat ini jelas sulit untuk bergerak, tidak mungkin SBY akan bertindak seperti Bang Yos,Megawati,Jusuf Kalla, atau lainnya yang mulai bergerak.

Citra SBY sebagai presiden mudah diserang dengan isu, rumor, bahkan pola pembusukan dari dalam. Indikator turunnya popularitas mulai terlihat dari hasil riset Lingkaran Survei Indonesia. Hal ini yang harus dipelajari, diteliti dan disikapi dengan hati-hati, tidak ”prejudice”. Partai Demokrat sebaiknya memanfaatkan dan menganalisis tiap informasi yang berkait dengan tokohnya, kemudian menyusun saran perbaikan dan ”counter” dengan bijak, matang, terencana, dan terkendali, tidak semaunya.

Hal ini penting karena mendekati 2009 serangan diperkirakan akan semakin gencar. Berita kegagalan pemerintahan di bidang apa pun dapat dianggap masyarakat merupakan kegagalan dari presiden, bukan kegagalan wakil atau menterinya. Inilah risiko ”decision maker” dalam sebuah pemerintahan demokratis yang pembantunya gado-gado.

Masalah akan lebih berat lagi apabila kompetitor menguasai media cetak dan media elektronik. Serangan penurunan citra dalam operasi intelijen dikenal dengan istilah ”Let them think, let them decide!”, rakyat dibuat berpikir dan memutuskan. Begitu opini konstituen terbentuk dan menyimpulkan tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan,habislah sang tokoh.
Para Calon Pemimpin

Walaupun Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PKB, PPP, PAN sebagai Partai papan atas dan menengah belum menetapkan siapa capres dan cawapresnya, diperkirakan tokoh-tokoh yang akan diajukan atau maju adalah SBY, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Abdurrahman ‘’Gus Dur’’ Wahid,Amien Rais,Wiranto,Akbar Tanjung,Sri Sultan HB X,Surya Paloh,Sutiyoso,Agung Laksono, Prabowo Subianto, Ginandjar Kartasasmita, Sutrisno Bachir, Dien Syamsudin, Jimly Asshiddiqie.

Kecuali apabila terjadi suatu perubahan politik yang ekstrem dari hasil Pemilu (legislatif) 2009, posisi calon dapat saja berubah. Yang menarik dan perlu digarisbawahi adalah manuver Bang Yos.Apabila partai besar menetapkan capres dari calon sipil dan situasi akhirnya menghendaki komposisi sipil-militer, maka posisi Bang Yos akan pas dan kuat sekali dilamar menjadi cawapres. Itulah kira-kira gambaran tokoh-tokoh kita saat ini.

Para petinggi partai sebaiknya lebih hati-hati membuat statement, harus lebih dewasa.Jangan terlalu menyerang dan menjelekkan calon lain, terlebih menyerang calon partner karena akan merugikan partai dan tokohnya, walau tokohnya sudah hebat. Rakyat mulai bosan dan tidak suka kepada partai dan politisi yang suka berkelahi, suka ributribut. Walau sebagian besar rakyat itu dinilai tidak pintar,yang jelas lebih berpengalaman dalam dua kali pilpres langsung. Jadi kita harus lebih pintar dan lebih cerdik.(*)


Prayitno Ramelan, Direktur Indset

Tidak ada komentar: