Senin, 01 September 2008

SAAT KREDIBILITAS TERANCAM,

Sumber : Koran Sindo, Sunday, 22 June 2008
Oleh : Prayitno Ramelan (Analis Lembaga Indset)

Dua hal yang banyak menjadi fokus pemberitaan media massa dalam beberapa hari terakhir ini adalah kasus ”Madame” Artalyta Suryani dan penangkapan Mayjen TNI (Purn) Muchdi PR.

Artalyta terlibat kasus besar berkaitan dengan BLBI, Syamsul Nursalim dan Jaksa Urip; sementara Muchdi PR yang pernah menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) dan Danjen pasukan elite Kopassus dijadikan tersangka kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

Seperti biasa di negeri ini,walaupun ada term hukum ”asas praduga tak bersalah,” begitu suatu kasus sudah ditangani aparat kepolisian atau kejaksaan, maka beramai-ramai orang, pengamat, politisi, dan mungkin orang yang sok tahu, langsung memvonis pasti bersalah. Mereka menyampaikan informasi di media massa, seakan-akan menjadi yang paling tahu. Padahal, putusan bersalah tidaknya seseorang hanya ditentukan pengadilan.

Sejak bergulirnya reformasi, mulailah bangsa Indonesia memasuki masa transisi. Dari sistem sentralistis yang diatur pemerintah menjadi sistem demokratis. Kekuasaan di tangan rakyat, kekuasaan pemerintah dibatasi, orang bebas berserikat, bebas berkumpul serta bebas mengemukakan pendapat. Pada proses selanjutnya,demokrasi pun diterjemahkan sejumlah elemen bangsa ini dalam beragam aktivitas.

Demo bebas dilakukan,UUD 1945 diamendemen,beragam kasus lama— termasuk kasus HAM—dibuka kembali, profesionalisme polisi dan TNI dikritisi, proses hukum ketat diawasi, bahkan presiden pun tak luput didemonstrasi. Tak ayal,sepuluh tahun alam reformasi berjalan, terkuaklah residuresidu lama seperti yang ditandai dengan mencuatnya kasus Artalyta dan Muchdi PR belakangan ini.

Kedua kasus tersebut sejatinya mengarah pada tindak pidana yang dilakukan perorangan. Namun tak bisa dimungkiri, kasus yang melibatkan seseorang tidak akan terlepas begitu saja dengan institusi di mana dia berada atau pernah berada. Kalau diteliti, sejak era reformasi tercatat beberapa institusi pemerintah yang terindikasi ”terserang” atau akan terjatuhkan kredibilitasnya.

Kasus HAM yang menuduh beberapa bekas petinggi ABRI/TNI an-tara lain Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Wiranto, bukankah juga menyudutkan TNI sebagai suatu institusi? Ada kelompok tertentu yang khawatir jika TNI akan kembali berperan dalam fungsi sospol. Karena itu, TNI harus ditekan, dikondisikan sebagai institusi yang kurang bisa dipercaya.

Tokoh utamanya terus dipermasalahkan terlibat HAM. TNI digiring masuk barak, seakan-akan tidak boleh ”berbuat apa-apa”selain hanya bertugas mempertahankan negara. Institusi kedua yang terserang kredibilitasnya adalah BIN,terutama dalam kaitan kasus Munir. Kini BIN berada di titik berbahaya dengan tuduhan sebagai institusi ”cleaner”, seakan-akan badan intelijen ini sudah divonis sebelum Muchdi diadili.

Sebagai institusi pemberi masukan intelijen kepada presiden, kredibilitas BIN jelas tidak boleh cacat sedikit pun. Sosok Muchdi sebagai purnawirawan mayor jenderal,dapat dinilai masyarakat menjadi sosok yang mewakili beberapa institusi penting pemerintah,yaitu BIN,Kopassus,dan TNI.Terlepas benar tidaknya keterlibatan BIN, kita tentu patut menunggu kejelasan dari putusan pengadilan dengan (sekali lagi) mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Berikutnya, kasus Artalyta sejatinya merupakan ”detonator” yang meledakkan kredibilitas dan kepercayaan rakyat kepada Kejaksaan Agung. Beberapa petingginya seperti Jampidsus, Jamdatun, bahkan Jamintel terus disebut-sebut tersentuh kasus Artalyta yang pada hulunya adalah kasus BLBI.Kejaksaan Agung sebagai instansi yang sebelumnya dinilai demikian mengerikan, kini banyak yang menyebut sebagai institusi yang menggelikan.

Memprihatinkan memang. Selain ketiga institusi tadi, DPR juga merupakan target yang tengah mengalami ”serangan”kepercayaan. Sebagai wakil rakyat yang pada awal reformasi menjadi lembaga dengan ”power” sangat besar, akhir-akhir ini DPR justru seakan terlumpuhkan dan terburukkan dengan kasus korupsi, gratifikasi, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan perbuatan tidak menyenangkan seperti pelecehan seksual. Nah, dari fakta di atas,sebenarnya kita harus sudah sangat prihatin.

Pemberitaan kasus-kasus tersebut jelas akan menimbulkan opini negatif di masyarakat, tidak hanya di dalam negeri bahkan masyarakat internasional. Bisa dibayangkan kalau kepercayaan terhadap beberapa institusi dan lembaga penting negara tadi menjadi hilang, dan bahkan berubah menjadi opini buruk atau negatif.

Selain institusi dan lembaga-lembaga di atas,ada dua ”target”yang kini berpotensi terserang kepercayaannya: Polri dan KPK. Polri yang saat ini bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri, beberapa kali coba dimasukkan dalam killing ground masalah HAM.Namun,para petingginya piawai menyelamatkan institusinya dari jebakan tersebut.

Kemungkinan lain, Polri akan dimasukkan dalam wilayah korupsi, contoh adanya bekas petingginya yang terlibat masalah korupsi bisa dilepaskannya dari institusi, dikategorikan perbuatan dan tanggung jawab pribadi. Sementara itu, KPK juga harus waspada. Sekali saja ada anggota KPK terlibat masalah gratifikasi, hancurlah kredibilitasnya. KPK tidak akan menjadi institusi sandaran kebersihan lagi.

Dengan demikian, kita bersama khususnya mereka yang masih duduk mengemban amanah harus lebih ekstrahati-hati. Bukan berarti takut untuk bertindak dalam melaksanakan tugas yang diembannya, melainkan pikiran yang jernih dan perhitungan yang matang sangat perlu dilakukan. Paradigma lama harus ditinggalkan.

Jaman sudah berubah, ancaman HAM dan tuntutan pidana korupsi harus benar-benar diperhitungkan dan melandasi cara berpikir, karena memang situasi dan kondisi kini menghendaki demikian. Serangan masa kini adalah semacam ancaman intelijen di mana kredibilitas dan pikiran yang menjadi sasaran. Tanpa kepercayaan dan kredibilitas, semua yang dilakukan dalam membangun negara dan bangsa ini untuk terus maju ke depan,jelas akan sia-sia. (*)