Selasa, 02 September 2008

SBY RAGU BUAT KEPUTUSAN?

Sumber : (Koran Sindo-Kamis, 25/10/2007)
*Prayitno Ramelan - Analis Senior Lembaga Studi Indset

Untuk menilai berhasil atau tidaknya sebuah pemerintahan yang sedang berjalan, maka jawabannya bisa diketahui melalui sebuah survei. Siapa yang dianggap bertanggung jawab oleh rakyat? Jawabannya adalah presiden.

Karena itu, yang muncul adalah data berbentuk nilai kepuasan publik pada SBY. Menarik bila disimak kembali hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang dilaksanakan pada 9–14 September 2007 di seluruh Indonesia (33 provinsi). Dari 1.200 orang, tecermin kepuasan publik terhadap SBY 35,3%, turun dari survei tahun 2004 yang berada di atas 80%. Selain itu,hasil survei juga menyebutkan 46,4% menginginkan calon alternatif, 23,7% masih akan memilih SBY. Sebuah survei yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga resmi, hasilnya jelas harus dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, kalau tidak benar akan menghilangkan tingkat kepercayaan masyarakat

Yang terpenting kini adalah bagaimana menyikapi penurunan popularitas mereka yang disurvei. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004,pasangan SBY/JK menang 60,62% (69.266.350 suara) dibandingkan Megawati/ Hasyim Muzadi (39,38%).Suatu nilai fantastis untuk ukuran seorang pendatang baru yang belum lama dikenal konstituen dibandingkan Megawati yang presiden saat itu. Pertanyaannya sekarang, mengapa popularitas SBY turun demikian banyaknya hanya dalam tiga tahun?

Sulitnya Membuat Keputusan

Dalam hidup,yang paling sulit adalah membuat sebuah keputusan.Keputusan harus dibuat setiap saat.Keputusan baik teknis, taktis, ataupun strategis bisa berakibat baik, kurang baik, atau tidak baik. Semua harus dipikirkan karena dapat berdampak terhadap dirinya, keluarga, kelompok,negara,bahkan dunia. SBY menjadi presiden saat proses reformasi dan konsolidasi demokrasi serta penguatan peran sipil sedang berjalan. Dengan latar belakang militer, ilmuwan/ cerdik pandai, birokrat, partai yang bernama demokrat, pengambilan keputusan masa transisi ini dilakukannya dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan.

Kenapa? Politisi atau orang pintar di Indonesia masih trauma dengan kepemimpinan Pak Harto yang purnawirawan jenderal besar TNI, 32 tahun berkuasa, dinilai tidak demokratis (”otoriter”), senyum dan gelengan kepalanya saja saat itu membuat orang tidak berdaya di bawah kendalinya. Itulah yang membuat SBY berhati-hati di alam demokrasi ini. Tidak ingin tergelincir menjadi otoriter, tetap demokrat sejati. Figur SBY dikenal bersih, kepribadian baik, berpengalaman, mempunyai kemampuan, agamais, tegas sebagai pemimpin, serta memperhatikan rakyat kecil. SBY menjadi presiden dengan setumpuk harapan di pundaknya.

Dia diharapkan dapat menolong rakyat dari kesulitan dan akan membuat perubahan besar. Tetapi, dengan sistem birokrasi yang buruk,mental korupsi,kolusi, dan nepotisme yang merajalela, kurang disiplinnya secara umum para pejabat pemerintah, kemudian menjadi hambatan utamanya. Dalam kepemimpinan militer, komando dan rentang kendalinya jelas,kalau panglima memutuskan A, tidak ada bantahan, sampai komandan satuan terbawah pun akan melaksanakan A. Sekali melanggar perintah, akan berhadapan dengan peraturan dan hukum disiplin tentara.

Tetapi sebagai pimpinan nasional di negara yang katanya menganut demokrasi ini, belum tentu keputusan akan berjalan seperti yang diharapkan. Mungkin, perintah presiden baru sampai di second layersaja sudah tersendat. Lihat saja kasus lumpur Lapindo. Presiden sudah jelas memerintahkan segera diselesaikan, tapi sampai rakyat Lapindo menangis-nangis saat ke Cikeas, hingga kini belum beres juga.Yang disalahkan oleh rakyat siapa? Ya Presiden itu. Hal serupa juga terjadi pada beberapa kasus.

Kesulitan minyak tanah (rakyat antre minyak dari pagi sampai sore, tanpa tahu kenapa), kenaikan jalan tol (protes rakyat disikapi enteng oleh pejabat negara), kenaikan harga bensin, upaya mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, pendidikan, semua bola panas biasanya berakhir di tangan Presiden. Presiden sudah dilapori dan sudah setuju, katanya. Liputan di TV, di mana rakyat kecil antre minyak tanah pada era globalisasi ini jelas mempunyai pengaruh terhadap citranya, bukan citra wakil atau menterinya. Akhirnya banyak yang menyimpulkan kalau SBY lamban dalam mengambil keputusan, ragu-ragu, kurang berpihak kepada rakyat.

Satu hal yang mungkin kurang kita simak dari Presiden SBY, pengambilan keputusan juga dilatarbelakangi beban amanah yang diterimanya. SBY menyatakan setiap kesalahan dalam pengambilan keputusan, apabila kemudian mengorbankan rakyat banyak, akan berurusan dengan Yang MahaKuasa di kemudian hari. Karena itu harus hati-hati. Ini sisi religius dari presiden kita,yang orang-orang pintar kadang tidak tahu atau tidak mau tahu.

Bagaimana ke Depan?

Apakah benar penurunan popularitas SBY hanya karena dianggap peragu? Survei Puskapis yang dilakukan 2–17 Juli 2007 menyebutkan Indonesia membutuhkan figur pemimpin muka baru yang berani, tegas, visioner, kapabel, dst.Pasangan presiden dan wakilnya paling cocok diisi oleh pasangan calon yang berlatar belakang militer dan sipil/parpol atau sebaliknya (52%),terutama militer yang matang di birokrasi. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada September–Oktober 2007 menunjukkan, walau popularitas turun, SBY kini masih yang terkuat posisinya.

Rakyat masih cenderung memilih SBY (29%), Megawati (19%), Amien Rais (4%), Wiranto (3%), Sri Sultan HB X (2,5%), Jusuf Kalla (2%), Bang Yos (0,5%) apabila pilpres dilaksanakan kini. Dari beberapa data survei di atas, kecenderungan kurang tegas dalam mengambil keputusan merupakan salah satu penyebab turunnya popularitas SBY sehingga ada keinginan kebutuhan pemimpin baru yang berani dan tegas. Sesuatu yang prinsip dan mungkin terlewatkan diamati adalah pendapat rakyat pada 2004. Saat itu, rakyat mengatakan bahwa masalah paling serius yang dihadapinya adalah masalah ekonomi dan harga yang tidak stabil.

Apakah masalah rakyat yang juga konstituennya tersebut sudah ditangani dan diatasi dan dirasakan rakyat? Ini perlu diteliti karena menyentuh kebutuhan paling mendasar dari konstituen. Penurunan popularitas 45% dalam tiga tahun terbilang rawan dan mengkhawatirkan, rata-rata 15% per tahun. Kalau dibiarkan terus merosot, maka pada 2009 yang tersisa hanya 5–10%. Sangat disayangkan. Mudah-mudahan ini menjadi masukan yang bermanfaat, harus segera dilakukan tindakan penyelamatan, jangan didiamkan atau disikapi secara emosional. Ketegasan memang sering mengundang kritik, tapi kalau demi kemajuan bangsa dan negara, kenapa tidak?(*)

Tidak ada komentar: