30 September 2008
Berita menggembirakan tentang pemberantasan korupsi di Indonesia terlihat setelah Transparency International Indonesia (TII) pada tanggal 23 September 2008 meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi Internasional 2008 (Coruption Perceptions Index 2008) di sekretariat TII Jakarta. CPI Indonesia pada tahun 2008 membaik 0,3 poin dari CPI 2007 (2,3) menjadi 2,6. Kenaikkan ini mengangkat Indonesia dari peringkat 143 (th 2007) negara terkorup didunia membaik ke posisi 126. Membaiknya posisi Indonesia tersebut merupakan penilaian nyata atas keberhasilan dan keseriusan Lembaga anti korupsi (KPK) dalam memberantas tindak korupsi. Genderang yang ditabuh pemerintah untuk mengikis korupsi dan diberitakan secara sistematis oleh mass media sejak awal 2008 terlihat jauh lebih berhasil, Indonesia mampu melompati 17 negara.
Walau pemerintah sudah sedemikian rupa menggalakkan pemberantasan korupsi, ternyata beberapa oknum masih saja berani dan nekat untuk berkolusi dan menerima suap. Diawali dengan kasus anggota DPR Al Amien Nasution dan rekannya yang menerima uang pelicin masalah hutan lindung, disusul jaksa Urip yang menerima menerima sogokan USD 600 ribu dari Artalita. Kini kita dikagetkan dengan ditangkapnya Anggota KPPU Mohammad Iqbal oleh KPK karena dituduh menerima uang suap Rp.500 juta dari Presiden Direktur PT First Media Tbk Billy Sundoro. Belum lagi akan diusutnya kasus dugaan suap terhadap 41 orang anggota DPR yang diperkirakan menerima traveller cheque saat pemilihan wakil Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom.
Para ahli banyak yang sependapat bahwa “kebiasaan berperilaku koruptif” ini sangat sulit diberantas karena sudah mendarah daging.
Pendapat tentang Korupsi
Korupsi adalah penyalah gunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok tertentu (Transparency International 1995). Pada korupsi tersangkut tiga pihak, pihak pemberi, penerima dan objek korupsi (Sindhudarmoko,2001). Dalam buku saku KPK berjudul Memahami Untuk Membasmi, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo.UU No.20 Th 2001, dalam pasal-pasalnya dirumuskan 31 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu ”kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit”. Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan.
Sekarang kita menjadi faham kenapa kasus BLBI misalnya sangat sulit dibongkar dan dituntaskan, karena ada kelompok kepentingan dan hegemoni elit terlibat. Mereka mempunyai “bargaining power” yang kuat sehingga sulit disentuh, kemungkinan korban jatuh akan luas dan dapat menyebabkan negara ini bergetar. Disinilah diuji kepemimpinan dari beberapa instansi yang ditugasi menangani korupsi. Dengan prestasinya yang dicapai, mungkin sudah waktunya kini kasus BLBI diserahkan kepada KPK untuk dituntaskan.
Untuk melihat lebih mendalam tentang korupsi, kita simak laporan dari Transparency International sebagai organisasi non pemerintah yang diciptakan untuk memerangi korupsi (1993).
Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi)
Corruption Perceptions Index (CPI) adalah instrument yang dikeluarkan oleh Tranparency International. Nilai CPI merupakan persepsi pengusaha multinasional, jurnalis keuangan internasional dan masyarakat domestik, sangat sulit dimanipulasi karena melibatkan banyak pihak yang diluar kemampuan pemerintahan suatu negara. Nilai CPI menjelaskan posisi ranking persepsi suatu negara dalam hal aktivitas keberadaan korupsi yang diberikan oleh masyarakat internasional.
CPI mempunyai nilai 0-10, nilai 0 untuk yang paling tinggi korupsinya, nilai 10 paling bersih. Dari nilai CPI maka tersusun ranking dari 179 negara didunia yang dinilai. Negara maju dan berkembang umumnya nilai CPI-nya lebih dari 5, Negara terbelakang atau baru berkembang nilainya kurang dari 3.
Mari kita lihat posisi negara kita pada era Pemerintahan Presiden SBY, tahun 2004 CPI Indonesia 2,0 (ranking 137 dunia dari 179 negara). Sebagai pembanding pada 2004 CPI Singapura 9,3 (ranking 5), CPI Australia 8,8 (ranking 9), CPI Malaysia 5,0 (ranking 39), CPI China 3,4 (ranking 71), CPI Philipina 2,6 (ranking 104), CPI Vietnam 2,6 (ranking 106). Tahun 2005 CPI Indonesia 2,2 (ranking 140), Tahun 2006 CPI Indonesia 2,4 (ranking 134), Tahun 2007 CPI Indonesia 2,3 (ranking 143).
Ditingkat regional posisi Indonesia tahun 2007 ranking 25 dari 32 negara, hanya lebih baik dari Bangladesh, PNG, Kamboja, Laos, Afghanistan, Tonga dan Myanmar (terburuk). CPI Indonesia terlihat membaik pada 2006 (dari 2,0 ke 2,2). Pada tahun 2006 juga membaik (dari 2,2 ke 2,4), tetapi pada 2007 justru turun 0,1 poin (dari 2,4 ke 2,3).
Setelah KPK yang dipimpin Antasari Azhar lebih berani membongkar korupsi di badan legislatif,maka pada 2008 CPI Indonesia melonjak menjadi 2,6 dan peringkat naik (membaik)dari 143 keposisi 126 (180 negara). Data diatas adalah sebuah contoh/indikator bahwa korupsi di Indonesia pada awalnya memang sangat sulit diberantas. Tetapi dengan tekad dan keteguhan hati kita bersama, masih sangat mungkin diberantas.
Tahun 2008 ini hasilnya lebih memperlihatkan kemajuan yang sangat baik, seperti apa yang disampaikan oleh Presiden SBY beberapa waktu yang lalu sebelum sidang kabinet. CPI(Coruption Perception Index) ini sangat erat hubungannya dengan PMA (Penanaman Modal Asing), semakin tinggi nilai CPI suatu negara, PMA juga akan semakin tinggi nilainya (Harrison 2002). CPI yang rendah akan menurunkan minat investor asing untuk berinvestasi disuatu negara, mereka sulit memprediksi biaya dan rencana investasi karena adanya biaya tambahan diluar biaya resmi yang harus dibayar (umum disebut biaya siluman). Ini yang harus menjadi salah satu perhatian dari kita bersama.
Jalan lain yang dapat ditempuh bagi Negara yang CPI-nya rendah, tapi menginginkan PMA meningkat mungkin dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh China. Dengan nilai CPI 3,4 (2004), China telah mampu menarik dana PMA dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini disebabkan dan dimungkinkan karena beberapa langkah positif yang dilakukannya, yaitu lingkungan usaha yang kondusif, moral dan komitmen pejabat dan masyarakatnya yang mampu menciptakan aturan-aturan yang masuk akal (transparansi, pemerintahan yang lebih baik, kebijakan yang bisa dimengerti, keterbukaan, liberalisasi investasi dan perdagangan). Dengan demikian maka para investor merasa aman dan mudah untuk berinvestasi di China.
Sebagai penutup, korupsi apabila dibiarkan akan berdampak terhadap makroekonomi, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dalam jangka pendek pengaruhnya belum terlihat, tapi dalam jangka panjang korupsi sangat mematikan pertumbuhan ekonomi (Sindhudarmoko,2001). Dengan demikian maka langkah dan strategi pemerintah yang menggalakkan pemberantasan korupsi dengan mendukung penuh KPK merupakan terapi dan langkah yang tepat.
Masalahnya kita harus mau mengakui apa hasil pemberantasan korupsi dinegara kita dari kacamata luar seperti data yang dikeluarkan oleh Transparency International. Bukan hanya dari kacamata kita yang kadang tidak mau mengakui kenyataan yang ada. Studi kasusnya agak mirip dengan pelarangan terbang pesawat berbendera Indonesia ke Eropa. Terlepas dari unsur bisnis dan politis, data dari luar tersebut kita pergunakan sebagai dasar untuk perbaikan disisi mana kekurangan dan kelemahan kita. Yang terpenting kini semuanya harus dilakukan dengan kejujuran dan keterbukaan seperti yang dikehendaki semangat reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar